• Login
  • Register
Sabtu, 30 September 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Film

Opini Feminis, Polemik Kekuasaan, dan Wacana Pembaharuan Pemikiran dalam Islam

Umat perlu berpikir visioner, tidak terus berkutat di polemik kekuasaan semata, apalagi memperdebatkan bahwa semua ideologi seperti feminisme adalah produk barat dan tidak melihat nilai kesamaannya dalam kebaikan

Habibus Salam Habibus Salam
19/09/2020
in Film, Pernak-pernik
0
192
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Beberapa hari lalu review film ‘Tilik’ di salah satu surat kabar ibu kota yang berbahasa Inggris menuai kontroversi. Meski penulisan tersebut menggunakan perspektif feminis, namun banyak pihak yang menilai bahwa opini tersebut kurang memahami konteks budaya Indonesia dan nilai-nilai Islam yang disangkutpautkan.

Dalam artikelnya, penulis yang mengkritisi bagaimana sebagian besar perempuan di truk tersebut menggunakan jilbab kemudian bertanya dengan nada protes, “there is a common consensus that Muslim attire is the indication of a good woman. How shallow, naïve and wrong is that?”

Padahal kita semua tahu bahwa budaya komunal di desa dan bagaimana dinamika Islam masa kini lah yang membuat perempuan di desa lebih banyak mengenakan hijab seperti sekarang.

Menilik bagaimana tulisan bersudut pandang feminisme tersebut tersaji, banyak netizen yang kemudian berkomentar menyalahkan ideologi feminismenya: tidak kompatibel sama sekali dengan Islam, kebarat-baratan dan sebagainya. Padahal bagaimana feminisme dianut dan dipraktikkan sangatlah beragam sekali. Bahkan, bukan hanya feminisme, sosialisme dan liberalisme pun tidak pernah murni dipraktikkan di manapun. Ada batas-batas tertentu yang kemudian mengakibatkan implementasinya disesuaikan dengan kondisi wilayah, agama, dan budaya masing-masing masyarakat.

Yang menarik, perdebatan pemikiran seperti ini selalu berkaitan erat dengan konflik kekuasaan, meski kemudian mendorong berbagai macam ideologi dan cabang pengetahuan baru. Ditilik dari sejarah, kita tentu ingat, hal pertama yang menjadi permasalahan pasca wafatnya Rasulullah, adalah siapa yang akan menggantikan kedudukannya sebagai kepala pemerintahan di Madinah waktu itu.  Pertanyaan tersebut mengantarkan kaum muslimin untuk mengadakan pertemuan di Safīqah (Balai Kota) Bani Saidah, bahkan di saat jenazah Rasulullah belum dimakamkan.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Meneladani Rasulullah dalam Menjaga Tiga Relasi
  • Maulid Nabi Muhammad Saw : Kelahiran Sang Cahaya
  • Maulid Nabi: Meneladani Rasulullah saw; Upaya Menegakkan Misi Utama Kenabian
  • Sudahkan Masjid Ramah Perempuan dan Anak?

Baca Juga:

Meneladani Rasulullah dalam Menjaga Tiga Relasi

Maulid Nabi Muhammad Saw : Kelahiran Sang Cahaya

Maulid Nabi: Meneladani Rasulullah saw; Upaya Menegakkan Misi Utama Kenabian

Sudahkan Masjid Ramah Perempuan dan Anak?

Dalam pertemuan itu, muncul nama Sa’ad bin Ubadah yang diusulkan kalangan sahabat Anṣar sebagai pengganti Rasulullah untuk memegang tampuk kekuasaan tertinggi. Mendengar bahwa ada kaum muslimin yang tengah mengadakan pertemuan, sontak para sahabat Muhājirin, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Abu Ubaidah bin Jarrah, segera menyusul untuk hadir, yang pada akhirnya menghasilkan kesepakatan antara kaum Muhajirin dan Anṣar untuk mengangkat Abu Bakar sebagai pengganti Nabi.

Konflik kekuasaan dan politik seperti di atas terus bergulir sampai pada masa pemerintahan ‘Ali bin abi Thalib dimana konflik antara dirinya dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan mencapai puncaknya, dan berakhir dengan pecahnya perang saudara pertama dalam Islam. Sebagian ahli teologi islam seperti Harun Nasution melihat perang tersebut selain sebagai perang saudara pertama antar umat muslim, juga sebagai titik lahirnya konflik ideologis dalam tubuh Islam.

Implikasinya, kemudian lahir firqah-firqah seperti Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisannya ‘Ali) dan Syi’ah (Orang-orang yang tetap berada di pihak ‘Ali) yang pada era selanjutnya banyak mempengaruhi perkembangan perdebatan teologis dalam Islam.

Namun sebenarnya, faktor utama yang melandasi dinamika pemikiran dalam Islam telah dimulai jauh-jauh hari saat dikeluarkannya keputusan yang disepakati secara tertutup untuk membukukan Al-Qur’an menjadi satu (Mushaf ‘Utsmani) di masa pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan, yang berawal dari krisis penghafal Al-Qur’an, dan mencuatnya ragam gaya bacaan.

Didasari oleh keyakinan bahwa wahyu Tuhan bersifat sempurna dan senantiasa terpelihara, Muṣhaf ‘Utsmani ini pun selanjutnya ditempatkan sebagai sumber asasi Islam yang sakral. Sedangkan wacana yang dilahirkan darinya, yang menurut Muhammad Arkoun hampir menyamai lapisan geologi pada bumi, ternyata ketinggalan jauh dari wacana-wacana lain yang berkembang di luar Islam.

Efek dominonya kemudian membentuk keyakinan umum di kalangan umat bahwa Islam yang hakiki itu yang dikreasikan oleh para pemikir Arab klasik. Wacana Islam Arab adalah sakral, sedangkan tradisi di luar itu dianggap profan dan tidak benar.

Dominasi wacana Islam Arab sebagaimana yang tadi disebutkan lalu mendorong sederet pemikir kontemporer seperti Amin al-Khuli, Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, Abdul Karim Shoroush, Muhammad Syahrur, setra pemikir muda Indonesia seperti Ulil Abshar Abdalla tampil ‘menggugat’, bukan Muṣhaf ‘Utsmani-nya, melainkan hegemoni nalar Arab dalam khazanah intelektual Islam. Dan menurut saya, inilah korpus utama wacana pembaharuan pemikiran Islam.

Namun apakah fenomena ‘pemberontakan’ pemikiran baru muncul sekarang? Jika ditilik lebih jauh dengan membuka literatur klasik lebih luas, sebenarnya gejolak sejenis sudah mulai muncul ke permukaan sejak abad ke-7 H, dengan hadirnya salah seorang ulama Sunni yang terkemuka bernama Abū Ishāq Ibrāhīm Ibnu Mūsa al-Shātibi, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam al-Shātibī.

Ulama berkebangsaan Spanyol ini menawarkan sebuah pendapat yang menurut sebagian orang menjadi akar pemikiran hukum Islam modern. Al-Shātibī secara kritis dan sistematis menuangkan pendapatnya melalui kitabnya: Al-Muwāfaqāt, yang secara tegas menyatakan bahwa kesempurnaan Islam tidak terletak pada keterperinciannya, melainkan pada prinsip-prinsip universalnya. Premis dasar tadi diambil al-Shātiī dari dua ayat yang dipandang mewakili keyakinan akan kesempurnaan dan keterpeliharaan wahyu Tuhan dari perubahan, yaitu al-Hajr: 9 dan al-Māidah: 3.

Sampai di sini, kita bisa melihat bagaimana wacana pembaharuan pemikiran dalam Islam begitu dinamis. Dan menurut keyakinan saya, dinamika tersebut perlu terus dijaga sebagai bagian dari ikhtiar-ikhtiar menuju terwujudnya Islam rahmatan lil ‘alamin di segala bidang. Umat perlu berpikir visioner, tidak terus berkutat di polemik kekuasaan semata, apalagi memperdebatkan bahwa semua ideologi seperti feminisme adalah produk barat dan tidak melihat nilai kesamaannya dalam kebaikan. Wallahu a’lam. []

Tags: feminismeIdeologiislampemikiran
Habibus Salam

Habibus Salam

Alumni Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir STAI Al-Anwar dan Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang, Penulis Lepas, Pegiat Literasi dan Kajian Keislaman, Dewan Pengurus Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren (HEBITREN) Wilayah Jawa Tengah

Terkait Posts

Poligami al-Qur'an

Tidak Ada Anjuran Poligami Dalam Al-Qur’an

30 September 2023
Poligami

Tidak Ada Keutamaan Dalam Perkawinan Poligami

30 September 2023
Poligami

Tidak Ada Tafsir Al-Qur’an tentang Poligami

30 September 2023
Al-Qur'an Poligami

Al-Qur’an Menegaskan Monogami bukan Poligami

30 September 2023
Film Air Mata di Ujung Sajadah

Film Air Mata di Ujung Sajadah: Dilema Ibu Kandung dan Ibu Asuh, Siapa yang Lebih Berhak?

29 September 2023
Nabi Muhammad Saw

Nabi Muhammad Saw: Sosok Sang Pemimpin Besar

29 September 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Al-Qur'an Poligami

    Al-Qur’an Menegaskan Monogami bukan Poligami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dalil Tentang Larangan Berbuat Kerusakan di Muka Bumi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jiwa yang (Seharusnya) Bersedih: Laki-laki yang Tak Boleh Menangis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membincang Misi Sosial Profetik Nabi Muhammad SAW

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ashoka Indonesia Kembali Mengadakan Mitigasi Krisis Iklim Melalui SICI

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Tidak Ada Anjuran Poligami Dalam Al-Qur’an
  • Insecurity Laki-laki dan Strategi Ketahanan Mental Keluarga
  • Tidak Ada Keutamaan Dalam Perkawinan Poligami
  • Muhammad Abduh: Jika Nafsun Wahidah adalah Adam, Maka Adam yang Mana?
  • Tidak Ada Tafsir Al-Qur’an tentang Poligami

Komentar Terbaru

  • Ainulmuafa422 pada Simple Notes: Tak Se-sederhana Kata-kata
  • Muhammad Nasruddin pada Pesan-Tren Damai: Ajarkan Anak Muda Mencintai Keberagaman
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist