Mubadalah.id – Dalam satu bulan ini, media memberitakan setidaknya tiga kabar menyedihkan dari pesantren berupa meninggalnya santri yang disebabkan perkelahian dan pengeroyokan sesama. Dua kabar berasal dari dua pesantren berbeda di Tangerang Banten. Dan satu lagi terjadi di sebuah pesantren besar di Ponorogo Jawa Timur. Tentu peristiwa ini terkait pula dengan sistem pengasuhan di pesantren.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan khas Islam Indonesia yang berjumlah ribuan, para wali santri mengidealkan sebagai lembaga yang bisa terpercaya untuk mendidik anak-anak mereka secara integratif. Mereka berasumsi dan berharap bahwa anak-anak mereka akan mendapatkan pengalaman belajar yang lebih baik daripada jika tetap tinggal di rumah bersama orang tuanya.
Pengalaman hidup dan berinteraksi bersama dengan sesama santri dari beragam latar belakang adalah salah satu alasan utamanya agar anak-anak mereka lebih siap hidup mandiri.
Harapan tentu saja tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Kejadian di atas adalah salah satu contohnya. Saling menunjuk pihak yang harus bertanggung jawab atas kejadian-kejadian sejenis tidak serta merta bisa menyelesaikan persoalan. Maka, evaluasi diri atas sistem pengasuhan, dan segala hal terkait pengelolaan pesantren sangat perlu kita lakukan agar kejadian-kejadian sejenis apalagi sampai menghilangkan nyawa santri tidak boleh terjadi lagi.
Perubahan perilaku
Mendidik ribuan santri bukanlah hal yang bisa dianggap sederhana. Remaja di rentang usia 12 sampai 18 tahun adalah kebanyakan usia santri yang tinggal di pesantren. Pandemi yang lama, arus deras informasi, dan kemajuan teknologi adalah beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya disrupsi pada pola-pola perilaku dan interaksi remaja saat ini, termasuk di pesantren.
Harapan akan santri yang patuh pada guru, taat pada aturan pesantren, dan senantiasa menjaga akhlakul karimah bisa tereduksi karena dipicu hal-hal di atas.
Pandemi yang lama telah memberikan pengalaman pada mereka bahwa rebahan di rumah adalah pilhan aktivitas yang bisa mencegah tertularnya virus corona. Mereka bisa saja menyimpulkan itu baik. Tanpa mempertimbangkan bahwa saat pandemi hampir usai mereka harus kembali menjadi santri yang giat beraktivitas, meluaskan wawasan dan pergaulan. Bahkan, interaksi guru dengan murid yang sangat “disakralkan” di pesantren menjadi tidak sakral lagi karena pola-pola komunikasi selama pandemi.
Di samping itu, mereka juga hampir dua tahun berkawan akrab dengan hal-hal yang mereka sukai dari gawai mereka, termasuk kekerasan. Aplikasi game yang mereka mainkan secara tidak sadar mengajarkan kekerasan. Karena masih remaja, mereka cenderung terinspirasi atau malah meniru untuk melakukan hal yang sama.
Dalam game, emosi pemain bisa terekspresikan seketika memukul, bahkan menembak sampai mati tanpa ada konsekuensi yang harus ditanggung. Jika mereka bosan dengan permainan di game itu, mereka tinggal uninstall, selesai urusan.
Sayangnya, aplikasi game yang berunsur kekerasan berjumlah tidak sedikit dan malah menjadi tren di kalangan mereka. Tidak banyak remaja yang sudah mampu menalar bahwa apa yang mereka alami dalam bermain game berbeda sama sekali dengan dunia nyata yang harus mereka alami sehari-hari.
Jadi, mereka tidak memiliki bayangan bahwa kekerasan-kekerasan yang mungkin saja mereka lakukan akan berakibat fatal. Bahkan sampai hilangnya nyawa sehinga berdampak pada konsekuensi berat yang harus mereka terima.
Memahami Karakter Remaja
Mereka harus paham akan hal-hal tersebut oleh orang-orang dewasa yang membersamainya. Orang tua, guru di sekolah, guru di pesantren, atau pendamping-pendamping remaja harus mampu memahamkan akan hal itu. Kebiasaan impulsif mereka mestinya bisa terkurangi agar mereka menjadi lebih berkesadaran dalam berinteraksi.
Hal yang perlu kita pahami secara mendalam adalah bahwa remaja santri adalah usia yang belum sepenuhnya meninggalkan masa anak-anaknya. Artinya, mereka belum bisa kita anggap dewasa, berpikir ala orang dewasa, dan kita perlakukan sebagai orang dewasa.
Hal itu yang mungkin terlupakan oleh orang tua, guru di sekolah, atau guru di pesantren. Misalkan, seperangkat aturan yang mereka tetapkan dan jalankan tidak berempati pada individu remaja santri dengan alasan mendisiplinkan.
Kadang, seperangkat aturan tersebut tersosialisasikan sekedarnya saja kepada santri tanpa diskusi. Maka, yang mereka rasakan adalah menerima konsekuensi hukuman ketika melanggar tanpa tahu di mana letak kesalahannya. Hal yang seperti ini, makin membuat mereka kebingungan dalam menjalani aktivitas-aktivitasnya di pesantren.
Alih tangan proses pengasuhan
Hal lain yang perlu kita perhatikan dan pahami adalah bahwa setiap individu remaja memiliki sejarah sistem pengasuhan yang saling berbeda dari orang tua atau walinya. Perbedaan pola pengasuhan yang otoritatif, permisif, atau demokratis dari masa anak-anak, akan berpengaruh pada cara berinteraksi remaja santri dengan sesamanya, seniornya, bahkan guru-gurunya di pesantren. Bagaimana mereka mengelola emosinya, sedikit banyak akanteripengaruhi pada hal-hal di atas.
Keragaman latar belakang pengasuhan ini juga harus dipahami sebagai potensi baik atau sebaliknya tergantung bagaimana para pendidik memperlakukannya. Pengasuh atau pengelola pesantren tidak bisa lagi menyusun program secara umum saja, lalu mempercayakan implementasinya pada para santri senior yang evaluasinya tidak mendalam dengan alasan jumlah santri yang sangat banyak
Jangan sampai hanya karena bertujuan mulia ingin menyiapkan para santri senior siap terjun ke masyarakat malah mengorbankan remaja santri. Padahal sebenarnya masih membutuhkan peran orang tua dalam proses pendidikannya. Dalam hal ini, bukan tidak mungkin kekerasan, perundungan, dan senioritas justru para pendamping remaja santri dan santri senior yang melakukan.
Jika pelibatan santri senior tidak bisa kita hindari, maka bekalilah mereka dengan wawasan pengasuhan remaja. Yakni meliputi pemahaman perkembangan remaja secara fisik maupun mental, cara berkomunikasi dengan remaja dengan segala keunikannya, mengekspresikan emosi dan juga psychological first aid. Dan sekali lagi, dengan pemantauan dan evaluasi yang konsisten dan mendalam.
Upaya-upaya tersebut memang bersifat sangat individual dan tidak praktis implementasinya, apalagi untuk pesantren dengan jumlah santri yang sangat banyak. Namun, bukankah pesantren telah menerima amanat dari orang tua atau wali santri untuk bersinergi mendidik anak-anak mereka? []