Mubadalah.id – Pancasila begitu sakti. Demikianlah, sebagaimana tertulis oleh Syaiful Arif “kunci dari titik temu yang melahirkan Indonesia terdapat pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam dasar negara”. Tak berlebihan memang. Sebab, tokoh-tokoh pendiri bangsa berdebat sengit dan panjang soal pencetusan ideologi bangsa, hingga lahirlah Pancasila yang menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas pertama ideologi bangsa dan negara Indonesia.
Akan tetapi, kiranya ada yang luput dari tulisan Syaiful Arif yang terbit di Harian Kompas, 18 Januari 2025, dengan judul “Pancasila dan Polemik Kewajiban Beragama” sebagai respon atas polemik persoalan “kolom agama” KTP yang Raymond Kamil dan Indra Syahputra ajukan.
Adalah, pertama, soal “politik agama” dalam hal pemberian “kolom agama” pada KTP sebagai identitas warga negara Indonesia. Kedua, dalam struktur norma nilai-nilai Pancasila, apakah beragama, bagi warga negara, merupakan sebuah kewajiban atau suatu hak?
Jika jawabannya: hak. Maka, benar apabila mengatakan bahwa putusan MK yang tidak mengabulkan gugatan Raymond Kamil dan Indra Syahputra, dapat kita nilai tak hanya telah melarang warga negara untuk tak beragama, tetapi juga memaksa untuk memeluk agama tertentu.
Polemik Kolom Agama
Lalu, yang menjadi keberatan saya selanjutnya, Syaiful Arif menuliskan, “perspektif Pancasila sering raib dalam perdebatan tentang HAM. Padahal tanpa Pancasila, Indonesia tidak akan pernah terbentuk, termasuk nilai-nilai HAM itu sendiri”. Dengan kata lain, Syaiful telah mengkritik bahwa para aktivis HAM—sebagaimana yang dilakukan Usman Hamid, Direktur Amesty International Indonesia—tidak menitikkan perjuangannya pada dasar negara, Pancasila. Benarkah demikian?
Saya pikir tidak cukup, dan terlalu terburu-buru. Jika hanya dengan mengatakan bahwa hal terpenting dari diskurus ketuhanan dalam negara kita ini adalah signifikansi gagasan ketuhanan yang telah membentuk Pancasila dan melahirkan Indonesia. Kemudian dia mengatakan bahwa para aktivis HAM kita meraibkan “energi” Pancasila dalam arah-arah perjuangannya.
Justru sebaliknya, saya pikir, apa yang para aktivis HAM kita lakukan, termasuk dukungan dan pembelaan mereka terhadap polemik “kolom agama”, merupakan perjuangan yang sangat bernilai Pancasila. Bukankah tujuan akhir dari napas panjang ideologi Pancasila ialah menciptakan negara yang ber-“Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”? Dan, karenanya, perjuangan tersebut harus terus kita berlangsungkan.
Politik Agama
Saya pikir untuk memahami polemik kolom agama di negeri Pancasila ini penting kiranya untuk menyoal tentang “politik agama.” Hal ini sebagai dampak dari rangkaian kontestasi politik yang telah berlangsung sejak masa penjajahan Belanda. Dan itu terus berlangsung, bahkan hingga hari ini.
Mari kita lacak secara historis, akar pembedaan warga negara atas nama agama. Dalam buku Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur Dalam Politik Agama Di Indonesia (2018) yang Samsul Maarif tulis, menjelaskan bahwa kontestasi “politik agama” antara kelompok masyarakat telah terjadi lama. Kondisi ini berkat adanya kebijakan pemerintah Belanda yang membedakan dan mempolarisasi kelompok-kelompok masyarakat jajahan. Selain itu adanya kontestasi sosial pada masyarakat itu sendiri.
Memang, ini terjadi kaitannya perihal isu agama leluhur. Kendati demikian, ada hal penting untuk memahami rentang panjang praktik “politik agama” di negara kita. Ada dua peristiwa di masa kolonial Belanda yang dapat kita lacak sebagai akar ketegangan yang kemudian mendasari upaya-upaya politik dengan menjadikan agama sebagai alat (politik agama).
Pertama, pertentangan Islam vs Adat. Kedua, kontestasi santri vs abangan—yang terus berlangsung hingga menjelang kemerdekaan Indonesia, termasuk pada waktu konstitusi negera sedang terumuskan.
Pertentangan terus berlanjut, sampai kata “agama” dan “kepercayaan” kemudian masuk dalam konstitusi/UUD 1945. Pada masa persiapan kemerdekaan dalam upaya perumusan fondasi negara Indonesia Merdeka, pertentangan tersebut kembali menyeruak. Wacana santri (mewakili kelompok agama/Islam) dan abangan (mewakili kelompok sekuler/non-Islam) direproduksi dalam polarisasi kelompok politik yang bahkan semakin konkrit.
Agama dan Negara
Wacana santri mendukung berdirinya “negara Islam”, sementara abangan menghendaki “negara sekuler”. Bagi kelompok pertama, Islam dan politik tak bisa terpisahkan. Agama dan negara adalah satu dalam Islam. Sedangkan bagi kelompok kedua, meski beberapa di dalamnya juga terdapat pemeluk-pemeluk Islam, lebih bersikap netral terhadap agama. Bagi kelompok ini, agama dapat dan mesti terpisahkan dari negara, karena agama merupakan urusan perseorangan.
Ketegangan dua kelompok yang masing-masing bersikukuh memperjuangkan ideologi politiknya (negara Islam vs negara sekuler) akhirnya terjembatani dengan lahirnya Pancasila. Sebagaimana dalam pidato Soekarno, Pancasila merupakan suatu kompromi. Bahwa Indonesia Merdeka bukan sebagai negara Islam, bukan pula sebagai negara sekuler.
Tepat setelah Pancasila tercetuskan sebagai ideologi bangsa, terbentuklah panitia kecil (ad hoc) beranggotakan 9 orang guna menyusun asas dan tujuan Indonesia Merdeka. Panitia kecil tersebut kemudian menyerahkan hasil kerjanya yang kemudian kita kenal sebagai Piagam Jakarta.
Pada salah asas negara yang termaktub dalam Piagam Jakarta, terdapat 7 kata yang diperdebatkan. Yakni, “… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Setelah perdebatan alot terjadi, akhirnya para tokoh yang terlibat dalam perdebatan tersebut menyepakati untuk menghapus 7 kata tersebut.
Penghapusan tersebut ditengarai oleh keberatan-keberatan yang muncul dari beberapa kelompok, khususnya non-Muslim. Mereka mengancam tidak bergabung dengan NKRI jika Piagam Jakarta (dengan tujuh kata itu) disahkan sebagai konstitusi negara.
Dalam hal ini, jelas, bahwa “kelompok santri” gagal memperjuangkan Piagam Jakarta sebagai fondasi negara (Islam). Akan tetapi, mereka berhasil memasukkan “agama” dalam konstitusi (Pasal 29). Di sinilah awal mula negara terinfiltrasi melalui politik agama (Maarif, 2018). Dengan kata lain, negara (berhasil) dituntut untuk memberikan pelayanan istimewa terhadap (mereka yang mengkategorikan diri sebagai) agama.
Piagam Jakarta
Kegagalan kelompok santri dalam memperjuangkan Piagam Jakarta itu tidak begitu saja membuatnya menyerah. Sebagai “ganti rugi” atas kegagalan tersebut, mereka menuntut pembentukan Departemen Agama (Depag). Tepat sehari setelah penolakan Piagam Jakarta (19 Agustus 1945), dan baru terealisasi pada 3 Januari 1946.
Pembentukan tersebut mereka maksudkan untuk memfasilitasi kepentingan umat Islam sebagai penduduk mayoritas Indonesia. Bagi mereka, bahwa atas nama mayoritas, perlakuan istimewa mereka anggap wajar, bahkan diperlukan.
Dalam konteks Islam, misi Depag adalah bermaksud untuk memudahkan dan mengawasi implementasi hukum Islam, khususnya Hukum Keluarga Islam (Islamic Family Law). Karenanya, tidak mengherankan jika orang-orang non-Muslim melihat Depag hanya sekadar bentuk lain dari kesadaran diam-diam bahwa Islam adalah agama negara Republik ini (Nurcholis, 1995). Karena itu, bisa kita pahami bahwa berdirinya Depag adalah upaya kelompok Islam meng-counter konsep negara yang berdasarkan Pancasila.
Beberapa kalangan juga menilai bahwa Depag sejak awal merupakan “benteng” Islam dan pionir bagi negara Islam. Kita bisa melihat itu bahwa peran Islam di negera Indonesia selalu istimewa. Karena memang “kelompok santri” hendak menginfiltrasi negara dengan menjadikan Depag sebagai instrumen politik. Depag, seperti bisa kita lihat sendiri, kemudian berkepentingan sekali untuk mendefinisikan kelompok warga negara yang beragama dan yang tidak/belum beragama.
Pergulatan terus berlangsung. Hingga akhirnya melalui TAP IV/MPR 1978 telah menegaskan “agama yang diakui hanya 5 (lima) agama”—yang dikenal sebagai kebijakan agama resmi. Artinya, negara hanya mengakui, melindungi dan melayani 5 (lima) agama. Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha. Negara telah menjadikan 5 (lima) agama tersebut sebagai “agama resmi”, dan setiap warga negara wajib memeluk salah satunya.
Selainnya tidak ada lagi agama. Dan sebagai konsekuensi hukum dan politik, penghayat atau penganut agama lain harus berafiliasi dan pindah agama ke 5 (lima) agama resmi—kini telah menjadi tujuh agama resmi negara. Mengapa demikian? Karena hanya dengan berafiliasi atau memeluk agama resmi, seorang warga negara akan mendapatkan pelayanan negara.
Kolom Agama
Kebijakan agama resmi tersebut lalu menjadi sumber rujukan bagi pelayanan negara terhadap warga negara dalam pencatatan sipil: Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), perkawinan/perceraian, tata cara sumpah, kematian/pemakaman, termasuk pelayanan pendidikan (agama). Maka, di semua formulir pencatatan sipil, termasuk sensus penduduk, mesti mencantumkan kolom agama sebagai bentuk implementasi kebijakan agama resmi.
Sudah jelas di sini, bahwa akhirnya setiap warga negara wajib memilih salah satu agama resmi untuk mengisi kolom agama di setiap formulir pencatatan sipil. Mereka yang tidak memilih tidak akan mendapatkan pelayanan sipil sekaligus pelayanan negara (Maarif, 2018).
Artinya, seseorang warga negara yang ingin mendapatkan layanan listrik, misalnya, akan terlayani hanya jika ia memiliki KTP yang kolom agamanya terisi dengan salah satu agama resmi. Segala macam pekerjaan di lembaga negara hanya bisa terakses oleh mereka yang memiliki KTP yang kolom agamanya tercantum agama resmi. Begitulah kira-kira bentuk implementasi kebijakan agama resmi.
Dalam hal ini, penting sekali untuk ditegaskan bahwa “kolom agama” dalam pencatatan sipil, khususnya di KTP, adalah produk dari adanya kebijakan agama resmi tersebut tahun 1978. Sebelumnya, kolom agama tidak tercantumkan di KTP. Sebelum Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan diterbitkan, pengaturan administrasi kependudukan, seperti KTP masih diatur berdasarkan peraturan peninggalan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (Staatsblad) dan setingkat peraturan menteri.
Perubahan KTP di Indonesia
Kita perlu pula tahu, bahwa KTP yang kita gunakan sejak penjajah Belanda sampai sekarang telah mengalami perubahan sebanyak 10 kali. Sebagaimana teruraikan dalam website Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kabupaten Batanghari, bentuk perubahan KTP tersebut adalah:
1) Zaman penjajahan Belanda (sertifikat kependudukan), 2) zaman penjajahan Jepang (KTP Propaganda: tanda kesetiaan terhadap kepemimpinan Jepang di Nusantara), 3) awal kemerdekaan, 4) periode 1967-1970, 5) periode 1970-1977, 6) periode 1977-2002 (KTP Kuning), 7) periode 2002-2004, 8) KTP Darurat Militer Aceh (2003-2004), 9) periode 2004-2010 (KTP Nasional), dan 10) periode 2011-hingga sekarang (KTP elektronik).
Apa yang menarik dari perubahan tersebut kaitannya dengan tema pembahasan tulisan ini: adalah perubahan item identitas yang tercantum dalam KTP.
Setelah kemerdekaan sampai periode ke-4 (1967-1970), elemen identitas yang tercatatkan adalah “bangsa”, tanpa menyertakan agama. Pada periode ke-5 (1970-1977), identitas bangsa dihapus, namun identitas agama belum ditambahkan. Barulah pada periode ke-6 dan seterusnya, identitas agama mulai tercantumkan dalam KTP.
Godly Constitution
Sampai di sini, saya ingin mengatakan, benar bahwa menginginkan kebebasan untuk tidak beragama (tidak bertuhan) adalah bertentangan dengan Pancasila. Sebagai “penjaga konstitusi”, maka putusan penolakan MK terhadap permohonan Raymond Kamil dan Indra Syahputra harus dilakukan karena Indonesia menganut “konstitusi berketuhanan” (godly constitution).
Tapi pertanyaannya: apakah “konstitusi berketuhanan”, sebagaimana termaktub dalam sila pertama Pancasila, adalah berarti instruksi negara untuk mewajibkan warga negaranya harus beragama dengan memilih satu di antara tujuh agama yang diresmikan negara? Tidakkah justru sebaliknya, bahwa Pancasila mengakomodir segala macam keyakinan yang dipilih warga negaranya?
Terkecuali jika “konstitusi ketuhanan” adalah sebuah strategi “politik agama” sebagaimana saya paparkan sebelumnya. Dan Pancasila adalah suatu strategi kompromis yang multitafsir, yang karenanya selalu dapat menjadi senjata ideologis kekuasaan. Persis sebagaimana penggunaan Pancasila dalam gelanggang politik yang dimainkan oleh rezim Orde Baru.
Mengenai polemik “kolom agama” sebenarnya bukan hal baru di negara Indonesia. Apa yang telah terjadi pada kawan-kawan penganut agama leluhur sangat penting untuk kita refleksikan. Terutama dalam cara kita memahami persoalan-persoalan keberagaman yang selalu menuai polemik dan sentimen-sentimen seperti terjadi belakangan ini, juga kaitannya bagaimana negara dengan Pancasilanya menyikapi itu.
Tidakkah perlu dan penting kita renungkan, bahwa sekalipun sebagai dasar negara, Pancasila dan UUD 1945, nyatanya tak benar-benar berhasil menjamin kesetaraan dan kesamaan hak setiap warga negara. Justru tak sedikit warga negara, khususnya kelompok minoritas, yang dibedakan. Negara malah tampak melegalkan diskriminasi terhadap mereka terutama sekali setelah negara berhasil diinfiltrasi oleh kekuatan “politik agama”.
Pemaksaan Kolom Agama
Pancasila sebagai suatu strategi kompromi ideologi negara, seperti telah dituliskan Cak Nur dalam Islam: Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (1995), sesungguhnya menyiratkan adanya suatu ketegangan yang rumit—pun dalam kesepakatannya—antara nasionalis Islam dan nasionalis sekuler. Karenanya, Cak Nur menuliskan, bahwa Pancasila dengan sendirinya, pada akhirnya, menjadi bukan satu-satunya alat yang solutif bagi seluruh problem politik Indonesia dan masalah keagamaan.
Faktanya, justru Pancasila, begitu pun UUD 1945, sering dipolitisasi untuk kepentingan-kepentingan kuasa yang surut ke belakang dalam masalah-masalah keberagaman. Bukankah sepatutnya bahwa hak beragama, kebebasan dalam memilih keyakinan, termasuk untuk tidak memiliki keyakinan (agama), adalah wilayah otonom warga negara sebagai hak privat individu.
Dalam pemikiran Gus Dur, idealnya dan sudah sepatutnya, negara tidak boleh ikut campur dalam wilayah otonom tersebut. Terutama sekali terkait keyakinan pribadi masyarakat. Sebab hal tersebut adalah bagian dari proses sosial yang tumbuh dari interaksi sukarela dan kepercayaan kolektif masing-masing individu, bukan dari paksaan negara.
Dengan demikian, pemaksaan “kolom agama” akan menjadi persoalan dalam wilayah otonom masyarakat. Dalam banyak hal, kita ketahui, negara memang kerap kali menindas atau memonopoli ruang-ruang otonom masyarakat sebagai sebuah “budaya hidup”. Negara suka sekali mengklaim wewenang atas budaya, yang itu justru mematikan kebebasan, kreativitas, dan keragaman berbudaya masyarakat.
Maka, dalam konteks ini, meminjam istilah Gus Dur, saya ingin katakan bahwa kebijakan yang mengharuskan pencantuman agama bisa kita pandang sebagai bentuk “stultifikasi” atau pemiskinan identitas yang memaksa masyarakat untuk tunduk pada definisi formal dari keyakinan yang didiktekan negara (Arif, 2013). Padahal, masyarakat sendiri lebih dinamis dan majemuk dari sekadar klasifikasi agama formal—agama resmi negara.
Solusi Alternatif
Apa yang mesti kita lakukan, mengutip Cak Nur, seturut pemikiran Ahmad Zaki Yamani, yang kiranya cocok bagi fakta materiil keragaman Indonesia. Adalah negara mesti menetapkan hukum-hukum penyelesaian mutakhir untuk masalah-masalah baru. Yakni dengan mengambil cara penyelesaian itu dari prinsip-prinsip umum syariat dan mempertimbangkan kepentingan umum serta kesejahteraan masyarakat.
Maka itu, sebagai solusi alternatif, mengutip butir-butir pemikiran Gus Dur sebagaimana ditulis Syaiful Arif dalam bukunya, Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan (2013). Negara perlu melakukan pendekatan “debirokratisasi” dalam “kolom agama”. Di mana negara mesti mengadopsikan opsi yang lebih inklusif seperti membiarkan kolom tersebut kosong jika seseorang memang memilihnya. Ini bukan berarti negara mengabaikan agama, tetapi justru menghormati otonomi masyarakat dalam menentukan keyakinan mereka.
Pendekatan demikian sekiranya akan memungkinkan negara untuk menghormati keberagaman keyakinan dan orientasi spiritual warganya tanpa mengorbankan prinsip-prinsip kebebasan.
Dengan cara ini, kebijakan negara tidak lagi berfungsi sebagai penentu identitas pribadi warga yang cenderung memaksa, melainkan sebagai fasilitator “kebebasan” yang lebih luas. Hal ini selaras dengan pandangan Gus Dur, tentang negara sebagai pelayan, bukan penguasa.
Hal ini kiranya juga akan mencegah negara dari menjadi instrumen. Alih-alih memajukan kesejahteraan, justru mempersempit kebebasan dan keragaman yang berkembang dalam masyarakat. Kritik akan sangat saya nantikan perihal tulisan ini. Wallahu a’lam []