Mubadalah.id – Kisah peran domestik seorang perempuan lansia (nenek-nenek) begitu lekat di kalangan masyarakat. Fenomena ini sungguh mengusikku untuk menuangkan dalam bentuk tulisan. Yakni tentang gejolak pengalaman domestik perempuan di masa lansia.
Jika kita amati dengan akal dan budi, maka kita akan merasakan bahwa “peran domestik nenek yang berlipat-lipat”. Beberapa Masyarakat menganggap bahwa beban orangtua, terlebih Ibu akan terkikis ketika anak tersayangnya telah menikah. Namun ternyata peran perempuan dalam pengasuhan, perawatan dan pekerjaan rumahtangga tidak berhenti disitu.
Peran domestik tersebut akan terus berjalan hingga perempuan berada di masa lansia.
Dalam pikiran radikal saya, akal ini berkecamuk. Timbullah pertanyaan-pertanyaan paradoks, “apakah tanggung jawab domestik hanya di bebankan pada perempuan hingga masa tua?”. “Tapi bukankah sudah lumrah jika perempuan memberikan kasih sayang berupa perawatan kepada keluarga?”. “Lalu bagaimana menyeimbangkan peran domestik dan peran publik bagi perempuan?”.
Begitulah pertanyaan paradoks yang terlintas dalam pikiran saya.
Perempuan: Perawatan dan Pengasuhan
Saya menemukan satu teori dari sebuah artikel ilmiah yang saya baca lusa lalu. Menurut Ransome (2007), tanggung jawab total dalam pekerjaan rumahtangga dapat disebut dengan istilah “recreational labour”. Pekerjaan domestik atau pekerjaan rumahtangga termasuk dalam kategori pekerjaan yang tidak memiliki nilai material (menghasilkan uang).
Hal ini karena pekerjaan domestik perempuan identik dengan “perawatan dan pengasuhan” yang fondasinya berupa kasih sayang dalam sebuah relasi.
Sekilas pekerjaan ini tidak ada tuntutan pencapaian, namun jika kita melayangkan pertanyaan kritis, “berapa banyak waktu yang telah di alokasikan perempuan untuk perawatan dan pengasuhan anak?.
Di samping itu, yang lebih penting dari pertanyaan tersebut adalah, kekhawatiran seorang perempuan dalam menanggung perkembangan dan kesejahteraan anak. Maka dalam hal ini pandangan masyarakat patriarkis, memberikan beban moral pekerjaan domestik kepada Perempuan.
Dari refleksi dan pertentangan pemikiran tersebut, menandai bahwa pengalaman perempuan dalam masyarakat patriarkis begitu menyesakkan hati, jika tidak seimbang dengan pemikiran dan praktik keluarga yang adil.
Keadilan Hakiki sebagai Titik Temu
Mengutip teori dari Dr Nur Rofi’ah Bil, Uzm, seorang akademisi dan salah satu ulama Perempuan Indonesia yang aktif menyuarakan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender. Beliau mencetuskan teori yang dapat kita ambil sebagai anti tesis dari sistem patriarkal ini, yaitu “Lensa Keadilan Hakiki Perempuan”.
Keadilan hakiki Perempuan berarti memandang 2 pengalaman perempuan sebagai sarana untuk memahami dan menciptakan sistem adil gender, yang muaranya adalah kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Untuk mencapai sistem yang adil gender, poin kunci teori ini adalah Pertama, pengalaman biologis Perempuan, Kedua, Pengalaman sosial Perempuan
Dalam konteks tulisan ini, meminjam teori lensa keadilan hakiki perempuan, maka aktivitas peran domestik perempuan di masa lansia (nenek-nenek) tersebut masuk dalam kategori pengalaman sosial perempuan berupa beban ganda .
Perempuan sebagai sosok makhluk spiritual, makhluk intelektual, makhluk biologis mengalami beban ganda berlapis dalam menjalankan tanggung jawab domestik dan publik. Hal itu tentu berat jika pengalaman sosial terus kita bebankan pada Perempuan.
Melalui konsep dari keadilan hakiki ini memandang bahwa, pengalaman sosial Perempuan harus dihapuskan karena pengalaman tersebut adalah buah dari kontruksi sosial yang tidak adil bagi perempuan. Namun, tentu dalam praktik di akar rumput, beban ganda terhadap perempuan tidak dapat kita hilangkan secara instan. Karena hal tersebut memerlukan strategi khusus, agar masyarakat dapat menerima dengan baik.
Selayang Pandang dan Antitesis “Peran Domestik” Perempuan
Dalam pandangan saya, kita bisa memulainya dari kelurga sendiri. Konsep keluarga dan aktivitas yang perlu dilakukan untuk memberangus beban ganda terhadap perempuan, antara lain:
Pertama, terapkan sitem keluarga kolektif kolegial, yaitu sistem keluarga yang berlandaskan musyawarah dalam mencapai kesepakatan (consent) bersama, yang dirasa memberikan nilai kebaikan kepada seluruh pihak. Dengan demikian peran keluarga baik suami, istri, anak dapat saling kolaborasi satu sama lain.
Kedua, saling berbagi peran, Berbagi peran adalah bentuk praktik dari keluarga maslahah yang paling sederhana. Karna hal ini dapat kita temukan dari aktifitas kecil kehidupan sehari-hari. Berbagi peran berarti menerapkkan prinsip saling bekerja sama dalam ruang privat.
Ketiga, Normalisasi praktik bapak rumah tangga. Tidak perlu merasa malu atas stereotipe bapak rumah tangga. Karna sejatinya ayah / suami yang baik adalah ia yang turut andil dalam pengasuhan anak dan pekerjaan domestik. Seperti halnya yang telah Rasulullah SAW terapkan pada keluarganya. []