Perempuan, memang sering menjadi bahan perbincangan. Perempuan juga ada yang memposisikan sebagai hiburan. Menjadi orang kelas dua. Bahkan perempuan terkadang hanya menjadi pemuas kebutuhan ataupun pelampiasan kemarahan semata. Akan tetapi hebatnya perempuan, meski apapun yang dilabelkan terhadapnya, dia tetap sebagai sosok yang kuat dan tegar serta sosok multi talenta yang tak kan tertinggal walau arus globalisasi terus bejalan cepat.
Banyak sudah contoh-contoh perempuan tangguh di luar sana yang bisa menginspirasi setiap nafas kehidupan. Inspirator baik dari masa sekarang, semisal tokoh-tokoh perempuan yang ada di jajaran Kabinet Kerja II pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, para pejabat daerah juga ada bahkan sosok-sosok millennial perempuan muda juga mewarnai belantika negeri ini.
Sayangnya, gerakan massif untuk perjuangan bagi kaum perempuan untuk kehidupan yang lebih egaliter dan adil ini belum menyentuh hati semua kaum perempuan. Mungkin hanya bagi perempuan yang mengalami ketimpangan sajalah yang kadang baru menyadari bahwa dirinya diperlakukan tidak adil. Padahal masih banyak lagi realitas ketidakadilan terhadap perempuan yang sebagian masyarakatnya (khususnya perempuan) sendiri tidak menyadari akan hal ini.
Subordinasi perempuan adalah dibatasinya perempuan hanya pada aktivitas tertentu dan dibatasinya mereka dengan orang lain yang lebih rendah, diletakkan pada tugas serta posisi sosial yang lain. Anggapan-anggapan lain yang sering berkembang di tengah masyarakat bahwa perempuan tidak perlu bersekolah tinggi karena perempuan pada akhirnya hanya akan melayani suami dan anak-anaknya di rumah. Alasan lain, apabila perempuan memiliki pendidikan lebih tinggi, akan susah mendapatkan jodoh karena tidak banyak laki-laki yang mau dengan perempuan tersebut. Perempuan yang berpendidikan lebih tinggi dianggap akan menguasai kehidupan laki-laki.
Tidak banyak memang perempuan yang memikirkan ‘statusnya’ yang sangat menyedihkan dahulu kala. Semakin tidak banyak lagi perempuan yang memiliki cita-cita mendirikan sekolah khusus yang diperuntukan bagi perempuan. Satu dari perempuan yang sangat sedikit itu ialah Raden Dewi Sartika. Menjadi sosok inspirator di masa lampau yang berjuang melawan ketimpangan gender.
Mungkin sudah banyak yang mengenal siapa itu Dewi Sartika, apalagi bagi kalangan masyarakat Sunda. Nampaknya tak asing dengan sosok tersebut. Mungkin juga ada yang sama sekali tak mengenal siapa sebenarnya Dewi Sartika.
Raden Dewi Sartika adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita. Lahir di Bandung pada 4 Desember 1884 dari pasangan Raden Rangga Somanagara, seorang Patih Bandung dengan Raja Permas, seorang putri Bupati Bandung saat itu, R.A.A. Wiranatakusumah IV. Kal itu, status Uwi, nama kecil Dewi Sartika, terhitung priyayi tinggi di kalangan menak Sunda yang mana membuat dirinya diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1966.
Sebagai seorang gadis yang turut tumbuh dalam barisan perjuangan kemerdekaan, ia terlibat aktif dalam memperjuangkan hak pendidikan perempuan. Ia termasuk golongan priyayi yang paling awal bisa mengenyam pendidikan. Padahal di masa itu menyekolahkan anak, terlebih lagi anak perempuan, masih dianggap hal yang kurang lumrah di kalangan masyarakat.
Ayahanda Dewi Sartika terkenal dengan jiwa nasionalisnya. Karena hal tersebut, menjadi kekhawatiran pemerintah kolonial Belanda. Kedamaian kehidupan keluarga Dewi Sartika tiba-tiba berakhir ketika Ayahandanya dituduh dalam peristiwa pemasangan dinamit oleh pemerintah Kolonial. Tuduhan tersebut menjurus pada percobaan pembunuhan Bupati Bandung R. A.A. Martanegara dan para pejabat Belanda di Kota Bandung.
Akibat hal tersebut, Ayahandanya dihukum dan di buang ke Ternate pada sekitar pertengahan Bulan Juli 1893, sehingga mengakibatkan pecahnya keutuhan keluarga karena Ibundanya R.A Rajapermas ikut menyertai ayahanda ke Ternate.
Setelah insiden tersebut, Dewi Sartika tinggal bersama kakak Ibunya yang berada di Cicalengka, namanya Raden Demang Arya Surakarta Adiningrat. Kehadiraan Dewi Sartika disambut dingin oleh Pamannya. Ia menerima perlakukan kasar dan tidak ramah. Sering kali ia diperlakukan laiknya pembantu. Dewi Sartika memang dibedakan tapi itu tidak menjadi penghalang baginya untuk tidak berkarya.
Berkat kemampuannya membaca dan menulisnya, ia pernah bersekolah di Sekolah Kelas Satu (Erste Klasse Inlandsche School) ketika di Bandung. Yakni sekolah khusus bagi para anak-anak Belanda dan para priyayi. Tak puas sampai disitu, dengan segala kemampuannya ia pun mulai membantu gadis-gadis di sekitarnya agar bisa membaca dan menulis.
Pada 1902, ia memutuskan kembali ke Bandung saat Ibunya pulang dari pengasingan. Kehidupan kolot di Cicalengka dipandangnya tak akan memberi kemajuan apa-apa untuk cita-citanya. Sekembalinya dari Bandung, keinginan Dewi Sartika untuk membuka sekolah bagi gadis-gadis remaja semakin besar. Seperti dikutip dalam hadis Nabi :
اُطْلُبُوا العِلْمَ مِنَ المَهْدِ إِلى اللَّحْدِ
Artinya : “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat”
Sesuai sabda Rasul, menuntut ilmu tidak ada batasannya, Pikirannya tentang kecakapan minimum yang harus dimiliki oleh seorang perempuan, tercermin dari slogannya “Ari jadi awewe kudu sagala bisa, ambeh bisa hirup! (Menjadi perempuan harus mempunyai banyak kecakapan agar mampu hidup)”. Untuk mewujudkan keinginannya itu, Dewi Sartika pergi menemui Bupati Bandung, R.A.A Martanegara meminta izin mendirikan sekolah bagi gadis remaja. Meski semula ragu, Bupati Martanagara akhirnya merestui dan menyarankan agar sekolah itu pertama dibuka di pendopo Kabupaten Bandung.
Maka pada tanggal 16 Januari 1904, didirikanlah Sakola Istri (Sekolah Perempuan). Sekolah ini terletak di Paseban, Kabupaten Bandung sebelah barat yang terdiri dari dua kelas dengan 20 murid dan 3 orang pengajar (Dewi Sartika, Ibu Purma, dan Ibu Uwit). Gadis-gadis yang menjadi murid pertama Sekolah Istri itu berasal dari keluarga biasa, bukan dari kalangan priyayi. Hal ini merupakan prinsip yang dipegang oleh Dewi Sartika, bahwa sekolahnya akan terbuka bagi siapa saja yang membutuhkan. Seolah itu mengajarkan beberapa keterampilan rumah tangga dan juga memberikan pelajaran agama serta bahasa Belanda.
Untuk tenaga pengajar, Sakola Istri belum memiliki tenaga-tenaga yang berwenang untuk mengajar. Akan tetapi, Dewi Sartika berusaha untuk mendapatkan tenaga-tenaga pengajar yang cakap di bidangnya masing-masing. Maka demi keperluan itu, ia meminta tenaga ahli dari RS Immanuel dan berhasil mendapatkan Zuster van Arkel yang akan mengajar P3K dan merawat bayi. Untuk memberikan pelajaran bahasa Belanda dicari di kalangan orang-orang Belanda yang bisa mengajar. Untuk memasak dan menjahit, pelajaran diberikan oleh Dewi Sartika.
Pada tahun 1910, perhatian dari masyarakat dan pemerintah sudah mulai tampak terutama ketika Sakola Istri diganti namanya menjadi Sakola Kaoetamaan Istri. Atas dukungan dari suaminya, Raden Agah Suriawinata yang juga seorang pendidik, Sakola Istri berkembang cukup pesat. Pada 1912, menurut Stuers, Sakola Istri telah memiliki cabang di sembilan Kabupaten di Priangan .
Bersama suaminya yang juga seorang guru, Dewi Sartika mengalami kesulitan dalam pembiayaan sekolah ini. Hingga pada tahun 1929 berdirilah gedung sekolah baru yang dinamakan “Sakola Raden Dewi”, atas simpati pihak Hindia Belanda yang memberikan bantuan. Dalam bukunya De Inlandsche Vrouw (Wanita Bumiputra), Dewi Sartika menghendaki adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Pantaslah jika kemudian Dewi Sartika diganjar medali Orde van Oranje-Nassau oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1939.
Pada tanggal 11 September 1947 tepat di Tasikmalaya, Ia menghembuskan nafas terakhirnya. Kala itu, banyak rakyat yang berduka mendengar kabar duka tersebut. Dewi Sartika dimakamkan di pemakaman Cigagadon desa Rahayu, Kecamatan Cineam, Tasikmalaya. Pada tahun 1950, makamnya dipindahkan ke kompleks pemakaman Bupati Bandung.
Jika jaman dahulu Pahlawan ialah yang berjuang dengan mengangkat senjata, bertempur di medang perang, beda dengan Dewi Sartika. Ia adalah pejuang perempuan yang berjuang gigih dalam dunia pendidikan. Maka, kita semua harus mencontoh apa yang telah diperjuangkan olehnya.
Kalau bukan dari kita sendiri yang mengubah stigma bahwa perempuan itu lemah, perempuan itu payah, perempuan itu hanyalah ini dan itu, maka siapa lagi? Kapan lagi? Sudah saatnya kita perempuan menjadi pendobrak atas segala tindak kekerasan yang kerap menimpa kita. Menjadi pejuang demi hak kesetaraan antar sesame manusia. Jadikan sosok Dewi Sartika sebagai salah satu contoh makna perjuangan.
Perempuan saat ini jangan hanya terlena dengan zona nyaman karena merasa aman. Akan tetapi banyak dari bagian kita di setiap penjuru yang terus berjuang mencari keadilan, mencari perlindungan. Percayalah, hanya diri kita masing-masing yang bisa mengubah image perempuan. Tergantung bagaimana kita membawa diri kita untuk menjadi apa, berperan sebagai apa, berjuang demi apa, ruang mana yang mesti ditempati dan masih banyak lagi lainnya.[]