• Login
  • Register
Rabu, 29 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Film

Pertemuan Mitologi, Ekologi, dan Phallotechnology dalam Film Troll

Adegan proyek pembangunan jalur kereta api yang menembus gunung batu menggunakan bahan peledak menjadi gambaran sisi dominatif manusia atas alam

Miftahul Huda Miftahul Huda
01/02/2023
in Film
0
Film Troll

Film Troll

488
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Percakapan dua insan antara ayah dan anak perempuannya di puncak gunung di Norwegia membawa ingatan mitologi bangsa Skandinavia. “Gunung itu bernapas,” kata Tobias seraya meminta anak perempuannya, Tidemann, untuk memperhatikan secara seksama keberadaan Yang Hidup itu. Percakapan tersebut ada dalam Film Troll. Tentu Tidemann tidak menemukan apa-apa di sana, ia terlalu kecil untuk mengetahui petunjuk yang sangat abstrak dari ayahnya.

Scene awal itu membuka jalan cerita yang mempertemukan mitologi bangsa Skandinavia dengan dunia modern Norwegia. Adalah Troll, makhluk berwujud monster dwarf setinggi gedung kota metropolitan dan hidup di gua-gua pegunungan, menatap kepunahannya di film Troll (2022). Kepada anak-anak, ia dikenalkan sebagai monster pemangsa. Namun di dalam film Troll itu, posisinya sebagai makhluk rentan di dunia berteknologi canggih.

Secara umum, film itu lemah dalam menghadirkan karakter yang kuat setiap tokohnya, termasuk Troll itu sendiri. Penyajian plot yang begitu cepat menjadi faktor utama. Barang kali, yang membuat penonton mengambang di setiap adegan. Saya yakin film ini bukan ingin mengangkat mitologi (dalam arti yang akan saya jelaskan selanjutnya), melainkan berusaha mengapropiasi mitologi untuk menunjukkan kedigdayaan phallotechnology dan mengakhiri takhayul purba.

Saya melakukan decode terhadap code budaya yang hadir di sana. Selanjutnya, saya menaruh banyak curiga terhadap legitimasi kehancuran ekologi, secara simbolik, dengan kematian Troll di akhir film.

Daftar Isi

    • Apropriasi Mitologi, Peminggiran Ekologi
  • Baca Juga:
  • Anak Muda Dalam Menghadapi Permasalahan Ekologi
  • Perempuan Rimba: Simbol Adat dan Keberlanjutan Lingkungan
  • Mengenal Lebih Jauh tentang Green Waqf Sebagai Solusi Penyelamatan Alam Masa Kini
  • Bagaimana Cara Melakukan Pengelolaan Sampah di Pengungsian?
    • Mitologi Troll
    • Berlanjutnya Perseteruan antara Alam dan Phallotechnology
    • Teknologi Menjadi Opisisi Alam

Apropriasi Mitologi, Peminggiran Ekologi

Mitologi atau mitos bukan bualan belaka, melainkan ia hidup dan menghidupkan masyarakat. Synergy between Myth and Local Wisdom in Ecology of Climate Change in Java, Indonesia (2021) menyebutkan empat fungsi mitos bagi masyarakat. Pertama, menyadarkan masyarakat atas kekuatan supranatural yang ada di sekitar mereka. Kedua, menjamin keberlangsungan hidup saat ini. Ketiga, berkontribusi pada pengetahuan masyarakat tentang alam semesta dan makhluk ciptaan Tuhan. Keempat, menata perilaku masyarakat terhadap alam.

Baca Juga:

Anak Muda Dalam Menghadapi Permasalahan Ekologi

Perempuan Rimba: Simbol Adat dan Keberlanjutan Lingkungan

Mengenal Lebih Jauh tentang Green Waqf Sebagai Solusi Penyelamatan Alam Masa Kini

Bagaimana Cara Melakukan Pengelolaan Sampah di Pengungsian?

Peran baik atau buruk makhluk mitologi, seperti Troll, memiliki makna dalam lanskap ekologi. Ini seperti penggambaran kecoa sebagai serangga menjijikkan dan harus dibunuh. Tapi di sisi lain ia memiliki fungsi pengurai dalam ekosistem. Lebih konkrit, misalnya, mitologi Ratu Kidul hidup dalam pikiran masyarakat bahwa ada kekuatan supranatural yang menguasai laut selatan. Dan, larung kepala sapi dalam tradisi petik laut di Pasuruan yang membimbing perilaku syukur masyarakat atas pemberian alam.

Mitologi Troll

Dalam folklore, penggambaran Troll bermacam-macam. Ia bisa memiliki sifat baik hati seperti yang digambarkan dalam film Frozen (2013) sebagai penolong, atau sebagai raksasa penghancur seperti perannya dalam film The Lord of the Rings (2003). Troll dalam Troll (2022) dikonstruksi menggunakan mitologi Skandinavia, yakni hidup di Gua dan berkamuflase menyesuaikan pegunungan batu. Ia muncul di malam hari untuk menghindari matahari, karena akan terbakar jika terkena sinarnya.

Tentu, film ini mengapropriasi mitologi Troll bahkan dengan konstruki karakter yang banyak meninggalkan celah, alias lemah. Sosok Troll hanya sebagai takhayul dalam alam pikir manusia modern. Karena ia makhluk takhayul, kemunculannya dianggap sebagai ancaman kehidupan manusia. Hubungan sosok mitologi itu dengan ekologi tidak banyak tergambar pada alam pikir tokoh manusia.

Barangkali hanya melalui tokoh Tobias yang dapat menjembatani alam pikir bangsa Nordik bahwa Troll menyatu dengan alam, menyesuaikan tubuhnya yang berkulit batu. Atau tokoh Tidemann yang berhasil mengungkap bahwa Troll mulanya tinggal di Gua dan berkelompok, sebelum akhirnya punah karena keserakahan manusia modern. Selain itu semua, hubungan manusia-Troll berwatak sinisme dan melanjutkan tradisi penghancuran yang bukan manusia (non-human).

Berlanjutnya Perseteruan antara Alam dan Phallotechnology

Kecanggihan teknologi lazimnya membantu kehidupan manusia, jika menggunakan nalar kebermanfaatan terhadap manusia per se. Seperti penolakan gagasan phallotechnology oleh Jane Caputi dalam Seeing Elephants: the Myths of Phallotechnology (1988) dan Stacy Alaimo dalam Ecofeminist in Interventions (1994), perlu kita sanggah. Kecanggihan teknologi, dalam gambaran Alaimo dan Caputi, dapat berdampingan dengan alam.

Absennya logika keserakahan manusia modern dan ekspansi kapital dalam gagasan Alaimo dan Caputi membawa bias antroposen. Dalam Troll, teknologi menunjukkan kedigdayaannya, bukan kemanfaatannya. Kecanggihan teknologi digerakkan berdasarkan nalar manusia modern yang serakah dan dominatif. Ini seperti mustahilnya menjaga keseimbangan ekologi dengan mengandalkan teknologi, tanpa memberi kesempatan proses alami human dan non-human.

Adegan proyek pembangunan jalur kereta api yang menembus gunung batu menggunakan bahan peledak menjadi gambaran sisi dominatif manusia atas alam. Rasionalisasi yang kita gunakan adalah pelayanan terhadap kelancaran serta kecepatan mobilitas manusia. Dan, yang tidak digunakan adalah logika alam sebagai entitas yang hidup.

Teknologi Menjadi Opisisi Alam

Alam, melalui simbolisasi Troll, dianggap sebagai non-human yang kontribusinya terukur dengan seberapa bermanfaat mereka terhadap manusia. Atau, dengan kehancurannya itu adalah manfaatnya bagi manusia.

Peledakan gunung batu merupakan awal mula kamuflase Troll yang manusia modern ketahui. Teriakan Troll ketika bom itu meledak melambangkan jeritan alam sekaligus menunjukkan bahwa alam itu hidup dan dapat merasakan sakit. Itu alasan Troll melakukan kamuflase, karena bagi manusia modern ia adalah ancaman kehidupan. Selain itu, kamuflase Troll adalah hasil dari trauma pengusiran dari tempat tinggalnya di gua dan kematian keluarganya karena ekspansi kekayaan manusia.

Teknologi militer, seperti rudal, misil, pesawat tempur, bom, adalah puncak phallotechnology. Sebagai gambaran alam yang tidak bisa mereka kendalikan, Troll menjadi sasaran tembak yang harus mereka matikan demi jaminan kehidupan manusia. Ini membawa pada logika terbalik, bahwa sebenarnya ketidakmampuan manusia mengendalikan hasrat pembangunanlah yang menganggu kehidupan Troll, yakni alam.

Pada akhirnya film ini bergerak pada tradisi masyarakat modern. Dengan kematian Troll, maka kedigdayaan teknologi tetap menjadi oposisi alam, yang sebelumnya Alaimo dan Caputi tolak. Kematian Troll karena sengatan matahari, dan bukan karena phallotechnology, tidak menghilangkan fakta bahwa egosentrisme manusia untuk hidup di alam telah menjebak Troll pada situasi yang mematikan, dus kepunahannya. (berbarengan)

Tags: EkologiFilm TrollLingkunganMitologimodernitas
Miftahul Huda

Miftahul Huda

Peneliti isu gender dan lingkungan.

Terkait Posts

Maple Yip

Maple Yip, Perempuan di Balik In the Name of God: A Holy Betrayal

15 Maret 2023
Pelecehan Seksual

Sekte JMS Korea Selatan: Lakukan Pelecehan Seksual Berkedok Agama

13 Maret 2023
Kekerasan Seksual Berkedok Agama

Kekerasan Seksual Berkedok Agama dalam Film In The Name Of God: A Holy Betrayal

11 Maret 2023
Drama The Red Sleeve

Drama The Red Sleeve: Ketika Perempuan Memilih Berdaya

10 Maret 2023
Serial Mendua

Serial Mendua dan Ragam Pengalaman Sosial Perempuan

25 Februari 2023
Film Noktah Merah Perkawinan

Melihat Relasi Pernikahan Menurut Buya Hamka dalam Film Noktah Merah Perkawinan

6 Februari 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Sittin al-‘Adliyah

    Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Pada Awalnya Asing

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Imam Malik: Sosok yang Mengapresiasi Tradisi Lokal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kewajiban Orang Tua Menjadi Teladan Ibadah bagi Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Berikan Ruang Anak Muda Dalam Membangun Kotanya
  • Pendirian Imam Malik Menghargai Tradisi Lokal
  • Kewajiban Orang Tua Menjadi Teladan Ibadah bagi Anak
  • Islam Pada Awalnya Asing
  • Jalan Tengah Pengasuhan Anak

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist