Siapa yang dapat menolak perasaan yang Tuhan berikan? Tentu saja tidak ada. Termasuk aku yang harus jatuh cinta kepada seorang lelaki yang sudah memiliki istri. Dia adalah atasanku. Posisinya cukup tinggi di kantor. Sebagai salah satu anggota divisi yang ia pimpin, aku sering bersamanya baik di kantor maupun saat bertugas di luar kantor.
Mungkin karena terlalu sering bersama, entah mengapa aku merasa nyaman saat sedang dengannya. Terlebih sikapnya yang sangat lembut kepadaku, berbeda sekali dengan saat ia menghadapi rekan kerja yang lain. Beberapa kali ia mengajakku makan malam bersama saat sedang lembur di kantor. Namun kebanyakan dari ajakannya aku tolak baik-baik. Bukan tidak mau, tentu saja aku sangat ingin berlama-lama dengannya. Namun aku ingat, ia telah memiliki keluarga.
Suatu hari di tengah perbincangan kami di WA, dia menyampaikah hal yang tidak pernah kusangka sama sekali.
“Nirina, menikahlah denganku.”
“Tidak mungkin.” Jawabku singkat.
“Mengapa?” Balasnya.
“Kamu sudah punya istri”
“Memang itu masalah?”
“Tentu saja”
Dia tidak langsung membalas pesan terakhirku. Namun beberapa menit kemudian Hpku kembali berbunyi.
“Kalau kamu mau memberiku waktu, aku akan berusaha menghilangkan masalah itu!”
Aku menarik nafas panjang membaca pesan darinya. Sisi lain hatiku sangat ingin menerima lamarannya. Namun hati nuraniku terus mengelak mengingat dia sudah beristri.
“Jangan bodoh!” Hanya itu pesan yang aku kirim kepadanya. Setelah itu sambungan internet kumatikan.
Esok harinya saat makan siang di kantor, dia sama sekali tidak membahas apa yang kami bicarakan pada malam harinya. Kami hanya mengobrol seputar pekerjaan.
***
Desas desus tentang kedekatan kami pun lama-lama diketahui oleh orang kantor. Berawal dari seorang rekan kerja yang memergoki kami sedang makan malam berdua di sebuah kafe. Aku sudah menjelaskan bahwa kami hanya sedang membahas pekerjaan. Namun tentu saja mereka tidak percaya karena hampir setiap hari kami selalu bersama, makan siang berdua, bahkan seringkali aku pulang-pergi ke kantor bersamanya.
Sepertinya kabar kedekatan kami pun telah sampai di telinga istrinya. Hal itu dapat kurasakan saat ia tak lagi menghubungiku setiap setelah pulang kerja. Sejak itu, kami hanya bertemu dan berbicara di kantor. Saat sedang di rumah, ia tak pernah menghubungiku kecuali soal pekerjaan yang bersifat penting. Itu pun hanya dengan kata-kata yang singkat. Mungkin istrinya mulai curiga dan mengawasinya dengan ketat.
Keadaan seperti itu sebetulnya membuatku lega. Ia jadi tidak leluasa untuk mengungkapkan kata-kata cintanya kepadaku, dengan begitu aku berharap perasaan yang keliru di antara kami lama-lama akan hilang. Namun keadaan itu juga membuatku sangat rindu. Biasanya sebelum tidur dia selalu menemaniku dengan kata-kata manisnya. Namun kemudian aku merasa kehilangan meskipun kami tetap akan bertemu di kantor.
***
Suatu hari kantor mengadakan kegiatan Family Gathering sebelum libur akhir tahun. Aku tahu dia datang bersama istrinya. Aku melihatnya di parkiran saat mereka turun dari mobil. Rasa sakit tiba-tiba memenuhi hatiku. Namun aku segera menampiknya. Saat sampai di lobi kantor, tiba-tiba istrinya berjalan ke arahku yang sedang berbicara dengan resepsionis. Sedangkan dia berjalan menuju lift.
“Halo, kamu Nirina yah?” Dia mengulurkan tangannya.
“Iya” Aku pun menjabat tangannya.
“Perkenalkan, aku Sabrina, istrinya pak Jundi. Suamiku sepertinya sering sekali menghubungi kamu.” Dia sengaja mempertegas identitasnya.
“Kebetulan kami satu divisi di kantor” Jawabku seramah mungkin.
“Oh, rekan kerja yah!” Tanggapnya dengan nada sinis. Aku mencoba untuk tetap tenang.
“Permisi bu, saya harus menemui Pak Direktur.” Aku pun meninggalkannya.
Kantor memfasilitasi kami dengan 2 bus mewah. Family gathering kali ini akan kami rayakan di luar kota. Dan lagi-lagi aku bertemu dengan istrinya saat aku akan naik ke dalam bus. Saat itu aku sedang bersama Anggi, teman kantor yang akan duduk bersamaku di dalam bus.
“Eh, Nirina. Ketemu lagi!”
Aku hanya tersenyum kepadanya.
“Kebagian bus berapa Nirina?”
“Bus satu Bu.” Jawabku tenang.
“Wah, aku dan suamiku juga di bus satu loh!” Tanggapnya antusias. Aku hanya tersenyum.
Di tengah perjalanan, dia kembali datang ke kursiku, menyapaku yang sedang asik memandang pemandangan sepanjang jalan. Sedangkan Anggi asik menonton drama Korea di Hpnya.
“Nirina!” Sapanya.
Aku yang sedang asik memandang ke luar jendela otomatis menengoknya. Anggi menekan tombol pause di Hpnya.
“Ada apa bu?” Tanyaku ramah.
“Ini, tadi di rumah aku bikin pancake untuk suamiku. Sengaja bikin agak banyak soalnya buat kamu juga. Rasanya tidak terlalu manis kok, sesuai dengan selera suamiku.” Dia menyerahkan sebuah kotak makanan berisi pancake. Anggi segera menerimanya.
“Wah, terimakasih Bu!” Ucap Anggi.
“Tidak usah repot-repot Bu!” Aku segera merebut kotak makanan itu dari tangan Anggi untuk kuserahkan lagi kepadanya.
“Tidak, tidak repot kok. Aku sangat suka bikin pancake karena itu adalah salah satu makanan favorit suamiku!” Aku yakin ia sengaja menjalaskannya di hadapanku.
Dia menolak menerima kembali kotak itu lalu pergi meninggalkan kursiku.
“Ngapain ditolak sih, Na? Ini kelihatannya enak banget loh!” Anggi merebut kembali kotak makanan itu dari tanganku.
“Kamu tahu sendiri kan?”
“Iya sih. Ya sudah, kalau kamu gak mau biar aku yang makan!” Anggi membuka kotak makanan itu dan menikmati pancake yang entah seperti rasanya.
Pada suatu waktu makan malam, bus perhenti di salah satu rumah makan. Aku dan Anggi duduk bersama pegawai yang lain di salah satu meja bundar. Saat aku sedang asik menikmati makan malam sambil berbincang dengan yang lain, tiba-tiba dia menghampiriku lagi.
“Hai Nirina. Halo semuanya!” Dia menyapa semua orang dengan ramah. “Aku boleh duduk disini?”
Semua orang yang ada di sekitar meja memandang ke arahku, seakan-akan hanya aku yang berhak memutuskan apakah ia boleh bergabung dengan kami atau tidak. Tentu saja mereka bersikap seperti itu karena tahu bahwa aku rivalnya. Dan sialnya, yang kosong hanyalah kursi yang berada di sampingku.
“Silakan Bu!” Aku mempersilakannya seramah dan setenang mungkin.
Semua orang meneruskan aktivitas masing-masing. Aku kembali asik makan sambing ngobrol dengan Anggi. Tiba-tiba dia menaruh potongan kentang di piringku.
“Aku kurang suka kentang, buat kamu ajah yah!”
Aku hanya mengangguk.
“Suamiku sangat suka kentang, tapi aku tidak. Kalau sedang makan makanan yang ada kentangnya biasanya aku berikan ke suamiku. Kamu suka kentang kan?”
Aku mengangguk lagi.
“Wah, sama yah dengan suamiku. Sama-sama suka kentang!”
Teman-teman yang mendengar perbincangan kami menahan tawa. Mereka pura-pura tidak memperhatikan padahal mereka begitu menikmati pemandanganku bersamanya.
“Oh iya, jangan panggil aku Ibu lagi yah. Kok terdengarnya seperti tua sekali, padahal aku belum terlalu tua loh. Suamiku bilang kalau aku selalu terlihat muda seperti saat kami pertema bertemu.” Ucapnya santai namun terdengar menggelikan.
Anggi menahan tawa saat mendengar ucapannya. Salah satu dari kami bahkan tidak tahan untuk tertawa.
Tiba-tiba sound rumah makan memutar lagu dengan judul ‘Sang Penggoda’ yang dinyanyikan oleh Tata Janeeta.
Ku pernah jadi yang tersayang
Ku pernah jadi yang paling kau cinta
Mungkin kau lupa
Dan di saat sang penggoda datang
Dia hancurkan istanaku
Sekarang
Kau lupa aku ratumu
Dia pun ikut bernyanyi dan mengucapkan kalimat ‘Sang Penggoda’ dengan lebih tegas. Lagi-lagi tingkahnya ini membuat yang lain menahan tawa. Aku tatap fokus makan. Tapi tiba-tiba dia bicara.
“Lagu ini tuh kalau dihayati ternyata menyakitkan sekali. Bagaimana yah rasanya kalau tiba-tiba sang penggoda itu datang di tengah-tengah kehidupan suami istri dan menghancurkan istana yang telah lama mereka bangun hingga si suami lupa kalau ratunya itu adalah istrinya, bukan si penggoda itu.”
Aku dapat merasakan matanya yang melirik ke arahku.
Semua yang ada di sana terdiam. Aku menghentikan gerakan sendokku, menyembunyikan raut wajahku yang terkejut karena mendengar ucapannya. Aku ingin sekali pergi. Namun jika aku pergi, artinya aku terpengaruh oleh ucapannya, artinya aku kalah.
“Itu cuma lagu kan, Bu. Eh, Mbak. Gak usah dibaperin juga kali!” Ucap Anggi membela perasaanku.
“Loh, kamu tahu kan siapa pencipta lagu ini? Bukannya dia memiliki kisah hidup yang persis dengan lagu ini? Ditikung!”
Aku mulai geram mendengan ucapannya.
“Iya, tapi kan lagu cuma lagu Mbak. Gak semua orang ngalamin kisah hidup seperti lagu ini!” Anggi semakin panas. Aku semakin geram.
“Kalau kebetulan kehidupan kamu persis seperti lagu ini menurut kamu gimana?” Dia menantang Anggi. Aku yang ada di tengah-tengah mereka semakin tersudut.
“Kok Mbak jadi curhat sih?” Anggi berkata sinis.
Semua orang yang ada di sekitar meja menyaksikan perdebatannya dengan Anggi. Ada yang semakin menahan tawa ada juga yang memandang prihatin.
“Udah Nggi, udah.” Aku mencoba menenangkan Anggi. Meski sudah didebat ngotot oleh Anggi, dia tetap tidak beranjak dari kursinya.
Satu persatu dari kami meninggalkan meja setelah selesai makan. Tinggallah aku, Anggi dan dia. Anggi masih geram. Dia mengajakku pergi, tapi aku memilih untuk menetap karena aku harus segera mengakhiri semua ini. Akhirnya Anggi meninggalkan kami berdua.
“Mbak, aku mau bicara” Aku memberanikan diri membuka pembicaraan.
“Yah, silakan” Jawabnya ketus.
“Saya rasa mbak sudah tahu apa yang terjadi di antara saya dan suami mbak.”
Dia diam menyimak. Raut wajahnya terlihat sekali sedang menahan emosi.
“Tapi Mbak tidak usah khawatir. Saya tidak akan benar-benar merebut Pak Jundi dari anda.”
Dia pun pergi.
***
Tiga hari setelah acara Family gathering itu, sebuah pesan WA masuk ke Hpku. Dari nama yang sangat aku kenal.
“Nirina, maksud kamu apa sih bilang begitu ke Sabrina?”
Baru saja aku akan membalasnya, tiba-tiba dia sudah mengirim pesan lagi.
“Apa kamu tidak pernah serius tentang kita?”
Aku tidak jadi membalas.
“Apa kamu masih tidak percaya padaku, Na?”
Aku jadi malas membalas.
“Kumohon, sabar sedikit. Biar aku selesaikan satu per satu urusanku dengan Sabrina!”
Aku matikan sambungan internet Hpku.
Beberapa hari setelah Family Gathering, aku masih harus berurusan dengannya untuk menyelesaikan laporan akhir tahun divisi kami. Namun kemudian direktur menyampaikan bahwa setelah libur tahun baru, aku akan dipindah tugaskan ke kantor cabang perusahaan yang berada di luar kota karena di sana tenagaku lebih dibutuhkan. Aku pun berpisah dengannya. Aku juga akan berpisah dengan perasaan yang keliru ini. []