Mubadalah.id – Siapakah sosok Rasyid Nikaz yang berani melawan Prancis sendirian demi memperjuangkan hak wanita Muslimah bercadar di Prancis?
Beredar sebuah unggahan di media sosial Tiktok dan Facebook sebagai trending topik yang menjadi viral. Video ini telah ramai diperbincangkan di berbagai media sosial dan mendapat banyak komenan positif.
Video itu memperlihatkan seorang pria Muslim asal Prancis yang tak segan-segan mengeluarkan 17 miliar untuk membayar denda bagi Wanita bercadar yang tertangkap petugas. 17 miliar bukan nominal yang sedikit, namun Rasyid Nikaz rela mengeluarkan uang tersebut secara sukarelawan.
Latar Belakang Rasyid Nikaz
Melansir dari media Narasi Bangsa, Rasyid Nikaz atau biasa dipanggil Rasyid merupakan pengusaha asal Prancis dari keturunan Aljazair. Dia memiliki kekayaan lebih dari 150 triliun rupiah dan juga pemilik sebagain saham klub bola ternama Paris Saint Germant (PSG).
Dengan pendapatan sebanyak itu, tentu saja Rasyid Nikaz bisa mengeluarkan uang sebanyak 17 Miliar. Hal ini bukan semata karena uang 17 Miliar merupakan nominal yang mudah bagi seorang miliyarder.
Namun perkara kebaikan hati Rasyid Nikaz yang ringan tangan membantu wanita bercadar membayar denda. Yang konon katanya, denda wanita yang memkai cadar di tempat umum senilai 150 euro atau setara dengan 2,4 juta rupiah. WOW, denda sebanyak itu hanya untuk seorang wanita bercadar.
Mengapa Wanita Muslimah di Larang Bercadar?
Negara prancis sudah mengeluarkan undang-undang tentang larangan bagi wanita yang menggunakan cadar atau burqo dari tahun 2011. Hal ini berawal dari banyaknya wanita prancis yang berduyun-duyun mengenakan cadar, terutama di tempat umum.
Sebelumnya, satu kelompok feminis Prancis terkemuka mendesak ECHR untuk menegakkan larangan tersebut dengan alasan untuk membebaskan Perempuan (BBC News Indonesia).
“Jilbab yang menutupi seluruh wajah benar-benar mengubur tubuh dan wajah, merupakan penghapusan sejati identitas wanita sebagai individu di depan umum”, kata kepala Liga Internasional untuk hak-hak Perempuan, Annies Sugier, dalam sebuah surat kepada pengadilan.
Negara Prancis adalah negara yang memiliki masyarakat minoritas Islam terbesar di Eropa Barat yang berjumlah sekitar 5 juta orang, atau hampir 8% dari populasi. Sebagian besar berasal dari wilayah bekas koloni Prancis di Afrika Utara.
Undang-undang pelarangan menggunakan cadar sah oleh pemerintah dengan bukti pemecatan seorang asisten direktur penitipan anak milik swasta yang menolak untuk melepas jilbab di tempat kerja.
Para pendukung undang-undang ini mengatakan bahwa Islam tidak mewajibkan pemeluknya untuk mengenakan cadar.
Alasan Rasyid Nikaz Mengeluarkan Uang Percuma
Semenjak berlakunya undang-undang larangan mengenakan cadar bagi wanita Muslimah Prancis, Rasyid Nikaz menyediakan dana kekayaannya khusus untuk membayar denda bagi wanita bercadar.
“Pakailah cadar sesuka hati kalian, jika terkena denda sayalah yang akan membayarnya”. Subhanallah, begitu gigihnya Rasyid ingin membela hak para wanita bercadar sampai merelakan hartanya.
Bahkan yang lebih mencengangkan lagi, Rasyid Nikaz memiliki lebih dari 10 panti asuhan di Prancis. Ada 1000 lebih anak yatim piatu yang diasuhnya. Yang lebih mengagumkannya lagi sebagian besar anak-anak itu sudah hafal 30 Juz Al-Qur’an. Semua itu berasal dari uang dana pribadinya.
Beberapa media memperlihatkan foto milarder itu bersama istrinya yang ternyata juga seorang wanita bercadar. Foto itu memperlihatkan Rasyid dan istrinya yang baru saja keluar dari kantor polisi dengan kepala yang tegak, Rasyid baru saja membayarkan denda dua muslimah yang ditangkap petugas.
Rasyid mengaku melakukan itu semua bukan sebagai bentuk kesombongan atas harta yang ia miliki, melainkan sebagai bentuk perlawanan kepada pemerintah Prancis. Ia juga mengatakan bahwa walau seluruh hartanya habis untuk membayar denda, semoga menjadi amal ibadahnya.
Ia ingin syariat Islam buat kaum Muslimah di Prancis tetap terjaga sebagaimana Muslimah di negara lain. Rasyid merasa berdosa di hadapan Allah SWT, jika ia diam ketika syariat Islam bagi kaum Muslimah hilang di Prancis
Atas perannya itu, Syekh Al-Khuwainy mengibaratkannya sebagai “satu orang yang mengalahkan satu negara.” []