Mubadalah.id – Kamis, 8 September lalu, dunia terkejut dengan berita duka meninggalnya Ratu Elizabeth II yang merupakan penguasa kerajaan terlama dalam sejarah Monarki Britania Raya. Berpulangnya Ratu Inggris tersebut tak hanya meninggalkan duka mendalam bagi warga Inggris saja, tapi juga beberapa warga negara lain yang bersimpati pada keluarga kerajaan. Di Nusantara sendiri, kita pernah punya Ratu Aceh Sultanah Safiatuddin yang juga cakap sebagai pemimpin
Lalu di tengah membanjirnya ucapan bela sungkawa kepada Kerajaan Inggris, beberapa pihak melihat kepergian sang ratu seharusnya menjadi pertanda bahwa sistem monarki, terutama di Inggris Raya tak lagi relevan karena sepanjang kepemimpinan Sang Ratu, ia tak berhasil memanfaatkan privilege kekuasaan yang ia punya untuk membantu mencegah konflik peperangan, dan bahkan wabah paceklik, yang salah satunya terjadi di negara tetangga Inggris, Irlandia.
Situasi tadi kemudian mendorong sejumlah warganet berkomentar agar masyarakat tak berlarut-larut membanggakan Ratu Elizabeth II, sebab di antara pemimpin perempuan yang ada, termasuk di Indonesia, juga tak kalah berjasanya semasa hidup. Bahkan, di antara sekian banyak nama pemegang tahta kerajaan perempuan, mayoritas nama besar mereka justru tenggelam akibat budaya patriarki yang lebih banyak kita warnai oleh tokoh laki-laki dibandingkan perempuan.
Masa Kepemimpinan Sultan Iskandar Muda
Satu dari pimpinan perempuan tersohor itu bernama Sultanah Safiatuddin. Menurut rujukan sejarah, ia merupakan perempuan pertama yang memegang pucuk jabatan tertinggi sebagai Ratu Aceh di Kesultanan Aceh Darussalam. Ia sendiri lahir dengan nama asli Putri Sri Alam yang merupakan anak sulung dari Sultan Iskandar Muda, yang pernah menjadi raja di Kesultanan Aceh Darussalam. Ketika hidup, Putri Sri Alam mendapatkan gelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul Alam Syah Johan Berdaulat Zillu Ilahi fi’I Alam.
Jejak besarnya memimpin Aceh tidaklah semulus yang kita bayangkan meski ia berdarah bangsawan. Justru sebelum meraih tahta, ia menghadapi dilema dan pertentangan dari tokoh masyarakat waktu itu yang tidak setuju dengan kepemimpinan perempuan.
Waktu itu, pada masa terakhir kepemimpinan ayahnya, Sultan Iskandar Muda, kondisi kesehatannya yang terus menurun membuat sang raja tak dapat produktif. Sultan sakit selama berbulan-bulan hingga akhirnya wafat pada tahun 1636. Keberlanjutan kepemimpinan oleh Sultan Iskandar Tsani yang merupakan menantu dari Sultan Iskandar Muda atau suami Sultanah Safiatuddin.
Sayangnya, dibandingkan dengan kinerja pendahulu atau mertuanya, ia kurang cakap dalam pemimpin pemerintahan yang memunculkan distabilitas politik dalam pemerintahan. Hal tersebut membawa Kesultanan Aceh dalam posisi darurat di tengah gencarnya kolonialisme Bangsa Eropa.
Dukungan Syekh Nuruddin Ar-Raniri
Kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani berakhir hanya dalam kurun waktu selama 5 tahun. Beliau meninggal di usia 30 tahun tepatnya tahun 1641 M tanpa meninggalkan seorang ahli waris untuk meneruskan tahta. Karena ia dan sang istri belum mempunyai keturunan.
Kekosongan tampuk pimpinan, jelas membuat Kesultanan Aceh dirundung duka sekaligus dilema. Meski istri Sultan Iskandar Tsani memiliki peluang untuk memimpin. Namun jejak historis masa dulu memperlihatkan bahwa tidak pernah ada perempuan yang menduduki tahta utama.
Melihat gonjang-ganjing ini, salah satu ulama yang paling berpengaruh di Kerajaan, Syekh Nuruddin Ar-Raniri, mengadakan musyawarah. Yakni menentukan siapa yang berhak menduduki tahta untuk menjadi Sultan berikutnya. Setelah proses musyawarah berlangsung, keputusan bulat telah mereka menentukan bahwa pemimpin selanjutnya yaitu Puteri Safiatuddin untuk menjadi Sultanah.
Para ulama menunjuk beliau atas dasar seorang perempuan boleh menjadi pemimpin asal memenuhi syarat- syarat keagamaan, akhlak, serta ilmu pengetahuan (Hasymy, 1977). Pengangkatan pemimpin wanita pertama dalam sejarah Kesultanan Aceh tersebut menjadi peristiwa besar bukan hanya di Aceh tapi juga kerajaan-kerajaan nusantara. Putri Sri Alam menjadi salah satu ratu bijak yang namanya harum meski tak banyak tersebutkan dalam buku-buku sejarah.
Kiprah Sultanah Safiatuddin Menjadi Pemimpin Perempuan Pertama
Bahkan, menilik dari data historis, Sultanah Safiatuddin dinobatkan menjadi pemimpin perempuan pertama dengan masa kepemimpinan paling lama yaitu 34 tahun. Lantas hal ini menjadi babak baru dalam sejarah Kesultanan Aceh Darussalam.
Meskipun saat ia naik tahta, masih saja kepemimpinannya menuai berbagai kritikan dari berbagai pihak karena ia perempuan. Walau begitu, alih-alih merespon omongan buruk yang datang padanya. Sultanah Safiatuddin memiliki karakteristik dan strategi tersendiri dalam memimpin Kerajaan Aceh Darussalam.
Ratu Aceh ini tercatat menorehkan sejumlah kebijakan yang mengangkat kesejahteraan rakyat Aceh, termasuk kelompok perempuan. Di antara program yang ia jalankan yaitu: membentuk kelompok-kelompok kajian ilmu, menyusun aturan tentang hak ibu tunggal agar tetap memperoleh santunan ketika tak lagi memiliki suami, membentuk pasukan perang yang tak hanya melatih pasukan laki-laki tapi juga perempuan, hingga mengefektifkan zakat untuk keluarga-keluarga kurang mampu (Lestari, 2021).
Kiprah Sultanah Safiatuddin tentu menunjukkan bahwa seorang perempuan bisa memenuhi kriteria sebagai Ratu Adil. Bahkan sempat saya sebutkan di awal. Bila seseorang tersebut memiliki kapasitas mumpuni dan dapat bertanggung jawab atas amanah yang ia emban. Maka kemudian hari ia mampu membuktikan bahwa ia dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya mementingkan diri dan keluarganya saja. []