Mubadalah.id – Peringatan hari ibu adalah momentum bersejarah bagi kita semua, karena bertepatan dengan hari tersebut dilaksanakan Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22-23 Desember 1928. Kongres tersebut tergelar di Pendopo Joyodipuran, Yogyakarta.
Fakta ini menjadi bukti penting bahwa para perempuan terdahulu turut berkontribusi dalam langkah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sekaligus langkah pembebasan para perempuan dalam cengkeraman budaya patriarki yang sangat melekat pada perempuan waktu itu.
Kongres tersebut diinisiasi oleh tujuh organisasi yakni Wanita Utomo, Wanita Taman Siswa, Jong Java bagian Wanita, Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling, Wanita Katolik, Putri Indonesia dan Aisyiyah. Hingga akhirnya pada Kongres tersebut terdapat sekitar 30 organisasi perempuan Indonesia yang ikut terlibat.
Isu yang terangkat dalam kongres tersebut yakni mengenai pendidikan, perkawinan anak, dan perlindungan bagi perempuan dan anak-anak. Karena pada waktu itu perempuan hanya disiapkan untuk dikawinkan. Lalu perempuan dianggap hanya sebagai makhluk domestik seperti berperan sebagai istri, ibu, dan pengurus rumah tangga. Setelah itu, perempuan hanya pasrah menjadi pelayan bagi keluarga beserta suaminya.
Maka dengan adanya gerakan perempuan melalui Kongres Perempuan tersebut adalah tombak dari perjuangan perempuan untuk lepas dari cengkeraman budaya feodal dan patriarki.
Oleh sebab itu, presiden pertama Indonesia yakni Ir. Soekarno meresmikan hari pelaksanaan kongres perempuan pertama sebagai peringatan hari ibu. Yakni melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1953, sekaligus sebagai tanda langkah juang para perempuan dalam meraih kemerdekaan dirinya.
Jangan Konotasikan ‘Ibu’ sebagai Makhluk Domestik
Namun sayangnya, pemaknaan hari ibu hari ini kian bergeser maknanya. Yang pantas mendapatkan apresiasi hari ibu hanyalah perempuan yang melahirkan dan mengurus anak.
Padahal tidak semua perempuan menjalankan takdir untuk memiliki anak. Misalnya sebab karena keterbatasan ekonomi, kesehatan dan lainnya. Kendati demikian, peringatan hari ibu mestinya pantas kita sandangkan bagi siapa saja tanpa terkecuali, sebab semua perempuan adalah ibu.
Maka berkaca pada sejarah perjuangan perempuan tempo dulu. Mestinya kita refleksi hari ibu sebagai langkah perjuangan kita dalam meraih kesetaraan. Tidak menempatkan ‘ibu’ sebagai makhluk domestik sebagaimana makna ibuisme yang sering kita lekatkan pada seorang perempuan.
Merayakan Semua Perempuan
Setiap perempuan adalah ibu, dan setiap ibu sudah pasti seorang perempuan. Maka ‘ibu’ adalah gelar yang melekat pada diri seorang perempuan, tanpa memandang status dan perannya. Karena secara psikologis, perempuan memiliki sifat alami yang melibatkan peran mendukung dan merawat. Baik dalam hubungan keluarga, persahabatan, pekerjaan, atau komunitas.
Perempuan sering menjadi sosok yang memelihara dan memberikan rasa aman kepada orang-orang di sekitarnya. Maka, siapapun yang memiliki jiwa welas asih, penyayang dan pelindung bagi sekitarnya ia adalah ibu.
Ibu adalah sumber kehidupan. Ia tidak hanya melahirkan manusia, tetapi juga menciptakan ruang bagi tumbuhnya cinta, empati, dan kehangatan. Namun, menjadi ibu tidak selalu berarti melahirkan secara biologis. Seorang perempuan yang mengasuh, membimbing, dan mencintai dengan tulus dapat kita sebut sebagai ibu, meskipun ia tidak memiliki anak secara fisik.
Dalam momentum refleksi hari ibu ini, kita menghargai perempuan berarti mengakui peran mereka sebagai ibu dalam berbagai aspek kehidupan. Kita merayakan kekuatan, kasih sayang, dan pengorbanan yang mereka berikan, terlepas dari bagaimana mereka menjalankan peran tersebut.
“Semua perempuan adalah ibu” mengingatkan kita bahwa esensi keibuan hadir dalam hati setiap perempuan, menjadi pengingat bahwa kasih sayang dan kepedulian adalah pondasi yang membangun dunia. []