Mubadalah.id – Kemanusiaan kita tersayat melihat pembunuhan terhadap perempuan yang terjadi hampir setiap hari. Pembunuhan ini melibatkan penganiayaan, pemerkosaan, hingga mutilasi. Sadisme ini bukan kriminal biasa, inilah Femisida. Yakni pembunuhan terhadap perempuan yang basisnya kebencian, dendam, ataupun penaklukan terhadap perempuan. Membincang femisida ini mencerminkan kegagalan sistem hukum dalam melihat dan mengatasi akar masalah yang berhubungan dengan ketimpangan gender yang ada dalam masyarakat.
Salah satu penyebab utama femisida adalah dominasi sistem patriarkal yang sudah mendarah daging dalam budaya tertentu. Dalam banyak masyarakat, menganggap perempuan lebih rendah dan lebih lemah daripada laki-laki. Pada tataran keluarga, laki-laki sering kita anggap sebagai pemegang otoritas penuh. Sementara harapannya pada perempuan untuk selalu patuh, bahkan dengan pengorbanan diri yang tidak sedikit.
Ini mengarah pada persepsi bahwa kekerasan terhadap perempuan dapat dibenarkan, terutama dalam hubungan suami-istri. Di mana pemahaman yang salah terhadap ajaran agama mengenai kewajiban perempuan untuk taat pada suami dapat menjadi justifikasi atas kekerasan yang terjadi. Di sini, sistem hukum harus melakukan pembaruan dan klarifikasi agar tidak ada celah yang membenarkan kekerasan tersebut.
Menurut laporan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2020, femisida tidak bisa kita kategorikan sebagai pembunuhan biasa. Kasus-kasus ini melibatkan ketimpangan gender yang mendalam, serta elemen dominasi, agresi, dan penindasan terhadap perempuan. Tidak jarang, pelaku kekerasan tersebut adalah orang-orang terdekat korban, seperti suami, pacar, teman, atau kerabat.
Kondisi ini adalah cerminan nyata dari ketidaksetaraan relasi gender yang membentuk norma dan perilaku dalam kehidupan sosial. Menurut Andi Yentriyani, salah seorang komisioner Komnas Perempuan, masalah ini memiliki akar pada ketidaksetaraan hubungan gender yang berlangsung dalam konteks relasi personal. Kekerasan terhadap perempuan seringkali dianggap sebagai hal yang wajar, yang telah dinormalisasi dalam berbagai hubungan interpersonal.
Stigma terhadap Korban Perempuan
Fenomena ini semakin diperburuk oleh stigma sosial terhadap perempuan yang menjadi korban. Bahkan keluarga perempuan yang melapor sering kali mendapatkan stigma negatif, bahkan diabaikan. Sehingga banyak korban yang akhirnya memilih diam daripada mencari keadilan. Dalam pandangan hukum, ini adalah bentuk ketidakadilan yang menghalangi akses perempuan terhadap haknya untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan.
Kedudukan perempuan dalam hukum harus diperkuat melalui pembangunan sistem sosial yang adil gender. Dalam kerangka keadilan hakiki, penting untuk memperhatikan pengalaman biologis dan sosial perempuan, seperti menstruasi, kehamilan, melahirkan, dan menyusui, yang membutuhkan fasilitas dan perhatian khusus.
Selain itu, pengalaman sosial berupa stigmatisasi, subordinasi, marginalisasi, dan kekerasan harus dapat dihindari. Sistem hukum yang mengakomodasi keadilan ini berfungsi untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik bagi perempuan, di mana laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara sebagai subjek hukum.
Pendekatan hukum yang lebih peduli pada perempuan harus mampu mengidentifikasi bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan hanya sekadar tindakan kriminal. Melainkan sebuah dampak dari sistem yang menganggap perempuan sebagai entitas yang dapat dimiliki, dikendalikan, atau bahkan dihancurkan oleh pihak lain.
Pentingnya Perlindungan pada Hak-hak Perempuan
Penegakan hukum yang berpihak pada perempuan seharusnya menekankan pada pentingnya perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Di antaranya menciptakan keadilan yang setara, dan menghentikan normalisasi kekerasan dalam hubungan personal.
Dalam konteks ini, pendekatan hukum harus mengutamakan perlindungan yang lebih ketat terhadap perempuan. Selain itu memastikan bahwa mereka mendapatkan akses yang adil untuk keadilan serta perlindungan hukum yang memadai.
Selain itu, perlu ada perubahan struktural dalam pemahaman dan penanganan kekerasan berbasis gender. Di mana penyelidikan terhadap setiap kasus femisida harus mendalami faktor-faktor ketimpangan gender dan kekuasaan yang melingkupi tindakan kekerasan tersebut.
Dengan pendekatan hukum yang berfokus pada keadilan gender, kita harapkan masyarakat bisa menanggapi masalah ini dengan lebih serius dan bertanggung jawab. Selain itu memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku kekerasan, sekaligus menciptakan ruang aman bagi perempuan untuk hidup tanpa rasa takut akan kekerasan.
Penting juga untuk menegakkan hukum secara tegas terhadap pelaku kekerasan dan memberikan dukungan yang maksimal bagi korban. Layanan psikologis, perlindungan hukum yang kuat, serta kampanye untuk mengubah stigma sosial terhadap korban adalah langkah-langkah penting yang harus kita lakukan.
Dengan begitu, kita harapkan para korban merasa aman untuk melapor. Sementara pelaku akan menghadapi hukuman yang setimpal dan sanksi sosial yang memberikan efek jera. Hanya dengan cara ini, kita dapat mengurangi dan akhirnya menghapus fenomena femisida yang semakin merajalela di Indonesia. []