Mubadalah.id – Tahun ini Hari Kartini dan Idulfitri datang bersamaan membawa spirit kemenangan. Spirit kemenangan ini persis seperti penggalan lirik lagu Selamat Hari Lebaran karya Ismail Marzuki.
Minal aidin wal faidzin
Maafkan lahir dan batin
Selamat para pemimpin
Rakyatnya makmur terjamin
Di balik gegap gempita hari kemenangan dengan lagu-lagu andalannya, terselip pertanyaan, apakah rakyat betul-betul terjamin? Siapa yang sesungguhnya sedang merayakan kemenangan? Apa kabar pahlawan devisa nun jauh di sana? Di Hari Kartini yang bertepatan dengan momen Idulfitri ini, tidak ada salahnya kita berkenalan dengan para Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang mayoritas adalah perempuan. Tidak ada salahnya kita melihat potret pahlawan devisa yang negara ini elu-elukan. Lalu, kenapa pekerja migran kita sebut pahlawan devisa?
Remitansi yang mengalir deras dari keringat pekerja migran Indonesia pada tahun 2022 naik sebesar 6,01% dari pada tahun sebelumnya. Dari remitansi tersebut, Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa pada tahun yang sama, pekerja migran menyumbang devisa sebesar US$9,71 miliar. Tingginya devisa yang dihasilkan ini telah memposisikan pekerja migran sebagai penyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor migas.
Setiap tahunnya pekerja migran menyumbang devisa sebesar Rp 159 triliun. Kondisi ini menggambarkan bahwa pekerja migran memberikan kontribusi yang besar terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Secara tidak langsung, perempuan lagi-lagi berkontribusi pada penghasilan negara. Lalu, sebagai pahlawan devisa apakah pekerja migran telah meraih kemenangan seperti para pemimpin?
Menilik Potret Perempuan Pekerja Migran
Banyak orang menduga bahwa pekerja migran bukan kelompok rentan. Pasalnya, mereka dianggap memiliki gaji yang tinggi dari pada bekerja di dalam negeri. Namun, jika kita melihat lebih dalam wajah-wajah pekerja migran yang didominasi perempuan ini, maka kita akan menyadari bahwa mereka termasuk dalam kelompok rentan. Tidak jarang, pekerja migran berasal dari keluarga pra sejahtera.
Kemiskinan adalah salah satu faktor pendorong bagi masyarakat untuk bekerja ke luar negeri. Perempuan pekerja migran mayoritas bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan sektor domestik lainnya. Walaupun sebagai PRT, gaji yang mereka terima lebih tinggi daripada gaji sebagai PRT di Indonesia. Ironisnya, setelah 19 tahun mandek, Rancangan Undang Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) baru DPR tetapkan sebagai RUU inisiatif DPR.
Sebuah kemajuan yang perlu kita kawal agar Indonesia menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan praktek perbudakan modern, sekaligus menjadi tonggak perjuangan untuk memanusiakan PRT migran. Sebuah ironi ketika Indonesia menuntut negara lain untuk memanusiakan PRT pekerja migran, namun negaranya sendiri tidak bisa memberikan perlindungan terhadap PRT di negeri sendiri.
Gaji sebagai pekerja migran terbilang besar jika dibandingkan di Indonesia. Namun bagi orang-orang yang dekat dengan komunitas pekerja migran, tentu paham bahwa gaji sebesar itu tidak hanya keluarga inti yang menikmati, namun juga keluarga besar. Menafkahi banyak mulut dalam satu keluarga tentu tidak akan cukup jika hanya bekerja sebagai PRT atau buruh pabrik di Indonesia dengan jaminan sosial yang rendah.
Menjadi pekerja migran adalah sikap ekonomi rasional bagi keluarga pra sejahtera yang di dalamnya ada anggota keluarga kategori rentan. Seperti anak perempuan, penyandang disabilitas, dan lansia.
Kerentanan yang Dihadapi Pekerja Migran
Potret inilah yang menggambarkan bahwa pekerja migran tidak selalu indah seperti nominal gaji yang dijanjikan. Banyak kerentanan yang pekerja migran hadapi. Terutama perempuan pekerja migran. Indramayu adalah salah satu kantung pekerja migran terbanyak yang tak pernah keluar dari peringkat 3 besar. Berdasarkan data terbaru dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), per bulan Maret 2023, Indramayu menduduki posisi kedua setelah Lombok Timur sebagai wilayah yang banyak mengirim pekerja migran, yakni total sebanyak 4.736 jiwa.
Sekilas, jika melihat kondisi Indramayu, tampaknya kesetaraan yang dicita-citakan oleh R.A Kartini telah tecapai. Namun, siapa sangka ketika kita menyelami lebih dalam, kondisi perempuan pekerja migran di Indramayu masih dianggap sebagai objek. Posisi perempuan pekerja migran pada umumnya rentan mengalami eksploitasi dan ragam kekerasan termasuk seksual mulai dari pra keberangkatan, penempatan, dan pasca bekerja.
Di Indramayu, perempuan menjadi pekerja migran merupakan budaya yang sulit kita ubah. Namun, sayangnya perempuan pekerja migran di Indramayu cenderung dipandang sebagai mesin pencetak uang bagi gold digger. Di mana, tak jarang merupakan orang terdekat, seperti orangtua hingga suami sendiri. Di wilayah asal, perempuan pekerja migran memikul banyak tuntutan sebagai anak, istri, dan ibu yang menafkahi banyak kebutuhan dan keinginan. Perempuan pekerja migran tidak hanya menanggung double burden (beban ganda), namun banyak beban.
Apakah Perempuan Pekerja Migran Sudah Merdeka?
Di dunia kerja, perempuan pekerja migran rentan mengalami kekerasan berbasis jender. Mengutip dari Media Indonesia, Komnas Perempuan mencatat terdapat 813 kasus kekerasan terhadap perempuan pekerja migran sepanjang tahun 2016-2011. Kekerasan yang paling banyak perempuan pekerja migran alami adalah kekerasan seksual.
Kondisi ini menggambarkan bahwa perempuan pekerja migran dianggap sebagai objek seksual. Ironisnya, Konvensi ILO NO.190 (KILO 190) sebagai upaya penghapusan kekerasan berbasis gender di dunia kerja belum pemerintah ratifikasi.
Di sisi lain, perempuan pekerja migran rentan mengalami kekerasan berlapis ketika menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Mengutip dari Laporan Tahunan Perdagangan Orang Kedutaan Besar dan Konsulat AS di Indonesia, pada tahun 2021 Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menangani 391 kasus WNI korban TPPO yang dieksploitasi di luar negeri, dan sebanyak 256 pengaduan perdagangan orang melalui portal Kemenlu.
Ragam kekerasan dan eksploitasi yang perempuan pekerja migran alami, tidak jarang menyebabkan trauma, kecacatan, hingga meninggal dunia. Kondisi kerja layak masih belum terwujud bagi pekerja migran. Kecelakaan kerja dan kekerasan yang pekerja migran alami berpotensi membuat pekerja migran menjadi penyandang disabilitas baru. Tidak jarang perempuan pekerja migran pulang sebagai difabel mental atau Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODDP). Akibat depresi yang tidak banyak kita ketahui penyebabnya.
Menyoal Pekerja Migran Difabel
Pekerja migran difabel tidak mendapat dukungan dan bantuan sosial memadai. Masyarakat masih memandang disabilitas yang pekerja migran alami dari sudut pandang karitatif. Di mana disabilitas tersebut dianggap sebagai bentuk kesialan yang perlu kita kasihani. Tidak jarang masyarakat menganggap sebagai aib dan bentuk kegagalan pekerja migran sebagai tulang punggung keluarga.
Purna pekerja migran difabel mental, khususnya perempuan kerap mengalami pengabaian oleh keluarganya sendiri. Bahkan tidak jarang ditinggal suaminya untuk menikah lagi. Padahal, ketika perempuan pekerja migran masih banting tulang di luar negeri, pihak keluarga bergantung padanya, hingga mampu membangun rumah sebagai tempat berlindung keluarga.
Namun, ketika perempuan pekerja migran pulang dalam kondisi difabel mental, Ia ‘mental’ dari orang-orang yang ia sebut sebagai keluarga. Lalu, rumah yang ia bangun dengan keringat dan nyawanya. Demikian adalah potret perempuan pekerja migran yang masih belum mendapat perlindungan maksimal dari pemerintah dan masyarakat sekitar.
Lantas, bagaimana caranya rakyat jelata di wilayah kantung pekerja migran menikmati devisa? Apakah perempuan pekerja migran telah mencapai kesetaraan gender? Sudahkan pahlawan devisa menerima piala kemenangan yang sesungguhnya? []