• Login
  • Register
Minggu, 28 Mei 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas

Hidup sebagai minoritas di Indonesia memang tidak mudah. Tidak banyak orang yang mampu merasakan ketidakadilan yang mereka terima

Rezha Rizqy Novitasary Rezha Rizqy Novitasary
21/03/2023
in Personal
0
Menjadi Minoritas

Menjadi Minoritas

617
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Salah satu siswa saya ada yang beragama Kristen. Dalam satu angkatan, yang beragama Kristen ada tiga orang. Tentu saja mereka adalah golongan minoritas di sekolah. Saya akui, sekolah belum cukup memberikan fasilitas bagi mereka yang minoritas. Jangankan tempat ibadah, libur khusus hari raya mereka saja hanya terbatas pada tanggal merah yang ditetapkan secara nasional.

Padahal, kami sebagai muslim mendapat jatah libur hari raya Idulfitri lebih dari seminggu. Meskipun tanggal merah yang ditetapkan hanya dua hari saja. Siswa-siswi tersebut juga tidak memperoleh fasilitas guru agama Kristen. Jadi, selama KBM mereka tidak mendapatkan materi sama sekali. Hanya pada saat ujian semester saja, sekolah memfasilitasi soal yang telah terpesan ke Bapak Pendeta sebelumnya.

Hidup sebagai minoritas di Indonesia memang tidak mudah. Tidak banyak orang yang mampu merasakan ketidakadilan yang mereka terima. Para pimpinan dan atasan juga tak ambil pusing jika ada hak yang tidak mereka terima.

Daftar Isi

    • Pengalaman Menjadi Minoritas
  • Baca Juga:
  • Sedekah Kepada Biksu Thudong: Upaya Pererat Tali Persaudaraan Antar Umat Beragama
  • Islam dan Kemerdekaan
  • Membaca Buku Daughter of Abraham: Mencari Spirit Feminisme dalam Tiga Tradisi Agama
  • Festival Satu Hati Merawat Toleransi, Menjaga Indonesia tetap Lestari
    • Melatih Kepekaan dan Rasa Empati
    • Negara Menjamin Kebebasan Beragama
    • Toleransi antar Umat Beragama

Pengalaman Menjadi Minoritas

Saya sendiri pernah mengalami hidup sebagai minoritas. Salah satunya saat menempuh pendidikan di salah satu kampus negeri di Bali. Saya cukup kaget saat melihat tidak ada satu pun Masjid maupun musala di kampus tersebut. Jika hendak sholat, para mahasiswa biasanya menggelar sajadah di ruang kelas yang sudah kosong.

Untungnya ada satu ruangan sempit dekat perpustakaan jurusan Kimia yang dimodifikasi jadi musala. Meskipun kami masih kerepotan karena harus berwudhu di toilet, namun saya merasa sudah cukup beruntung. Dalam hati ada rasa nelangsa. Masa’ sih kampus negeri tidak menyediakan masjid atau musala?

Baca Juga:

Sedekah Kepada Biksu Thudong: Upaya Pererat Tali Persaudaraan Antar Umat Beragama

Islam dan Kemerdekaan

Membaca Buku Daughter of Abraham: Mencari Spirit Feminisme dalam Tiga Tradisi Agama

Festival Satu Hati Merawat Toleransi, Menjaga Indonesia tetap Lestari

Selain itu libur di saat Idulfitri dan Iduladha juga pendek. Hanya sesuai tanggal merah yang tersedia. Lain halnya dengan libur di saat hari raya Saraswati, Galungan, Kuningan dan Nyepi.

Namun, saya menyadari apa yang saya alami di sana sebagai minoritas, itu pula yang dialami kawan minoritas di Jawa. Atau kawan yang beragama Hindu, Kristen, Katolik, Budha, atau Konghucu di lingkungan muslim.

Misalnya saja di salah satu kampus negeri yang juga menerapkan hal yang sama. Dalam kampus negeri itu tidak ada Gereja, Vihara, maupun Pura yang tersedia. Padahal agama-agama tersebut telah diakui di Indonesia.

Di kampus itu, hari libur buat hari raya agama selain Islam pun juga pendek. Umumnya hanya satu hari saja. Tak lebih dari tanggal merah yang ditetapkan secara nasional.

Saat saya melaksanakan PPL di Singaraja, saya amat terkejut ketika tahu bahwa sekolah-sekolah negeri di Bali juga melarang siswinya berjilbab. Padahal jilbab merupakan salah satu syariat Islam. Mengenakannya adalah hak bagi pemeluk Islam.

Melatih Kepekaan dan Rasa Empati

Mengalami sendiri pahitnya menjadi minoritas membuat saya jadi lebih peka. Saya jadi bisa membayangkan betapa tertekannya siswa-siswi saya yang beragama Kristen di sekolah yang mayoritas guru dan muridnya beragama Islam.

Sehari sebelum Natal, mereka harus tetap masuk untuk mengikuti class meet yang diselenggarakan sekolah. Mereka juga tak mendapat guru agama. Kadang, mereka juga tak punya kesempatan untuk mengajukan diri sebagai ketua kelas apalagi ketua OSIS.

Dalam lingkup masyarakat yang lebih besar, kesenjangan antara pemeluk agama mayoritas dan minoritas tampak semakin nyata. Seorang kawan saya yang beragama Islam, kebetulan serumah dengan ayah ibunya yang beragama Kristen. Waktu itu, ibu dan komunitasnya hendak mendirikan gereja di desa tempat mereka tinggal.

Mereka ingin mendirikan gereja di tanah warisan salah satu nenek moyangnya. Secara hukum tentu saja mereka berhak melakukan hal tersebut. Tanah itu milik mereka, dan mereka berhak mempergunakannya sebaik mungkin.

Namun, ibu kawan saya itu justru didemo oleh para warga yang beragama Islam. Sebagian pendemo datang sambil membawa tongkat. Kegaduhan terjadi di depan halaman rumah kawan saya. Para pendemo menolak pendirian gereja dengan alasan akan mengganggu ketenangan hidup bermasyarakat.

Menurut mereka, adanya gereja akan menganggu keimanan para warga yang mayoritas muslim. Mereka bersuara nyaring sambil memekikkan takbir bersahutan. Sangat wajar jika muncul kedongkolan di hati ibu kawan saya. Semenjak peristiwa itu, ia merasa sangat benci kepada pemeluk agama Islam. Bisa kita bayangkan bukan bagaimana kesenjangan yang tercipta antara kawan saya dan ibunya yang tinggal serumah?

Negara Menjamin Kebebasan Beragama

Pada akhirnya, gereja gagal mereka dirikan. Komunitas Kristen itu akhirnya hanya berhasil mendirikan rumah yang difungsikan sebagai tempat berkumpul dan beribadah saja.

Mengapa setiap pemeluk agama bersikap eksklusif terhadap kelompoknya? Seolah-olah hanya kelompoknyalah yang penting dan paling layak hidup di dunia. Padahal, negara telah menjamin kebebasan warga negaranya untuk memeluk agama dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya itu.

Orang bersikap eksklusif berharap mendapat pengakuan dari pemeluk agama lain bahwa agama dialah yang paling benar. Bahwa kelompoknyalah yang paling kuat.

Mungkinkah dengan bersikap eksklusif dan intoleran akan membuat pemeluk agama lain kagum? Tentu tidak. Yang ada justru kebencianlah yang akan mengakar di hati mereka.

Mengapa kita seolah-oleh membenci pemeluk agama lain? Membenci orang yang berbeda pilihan dengan kita. Padahal, Allah yang menciptakan perbedaan ini. Andai Allah berkehendak, Dia akan menciptakan semua manusia sama.

Toleransi antar Umat Beragama

Perlu kita ingat pula, salah satu ciri mukmin yang baik dan beriman kepada hari akhir adalah memuliakan tetangga. Tetangga adalah orang yang tinggal di dekat rumah kita. Apapun agama dan kepercayaannya mereka tetap tetangga kita.

Bersikap toleran kepada pemeluk agama lain tidak akan mengurangi kadar keimanan kita. Justru hal itu akan memperkuat rasa persaudaraan antar masyarakat.

Masing-masing pemeluk agama akan merasa nyaman tinggal di rumah dan menunaikan ibadah menurut caranya masing-masing. Tak ada kecurigaan, tak ada kekhawatiran. Semua orang bisa hidup dengan damai. Indonesia rumah bersama, sepertinya harus selalu kita gaungkan dalam setiap acara-acara kemasyarakatan.

Para tokoh agama harusnya jadi orang pertama yang selalu mengingatkan pentingnya toleransi antar umat beragama. Bukan malah jadi provokator jika ada umat agama lain yang hendak beribadah sesuai kepercayaannya.

Terakhir saya ingin mengutip salah satu kalimat Gus Dur. Beliau pernah ditanya apa tanda-tanda kerasnya hati? Gus Dur menjawab, “Saat melihat Gereja, Kau takut imanmu runtuh. ‘Tapi saat membaca Al Quran, tak sedikit pun hatimu tersentuh.” []

Tags: agamagerejamasjidmayoritasMinoritasPerdamaiantoleransi
Rezha Rizqy Novitasary

Rezha Rizqy Novitasary

Guru Biologi SMA, tertarik dengan isu perempuan dan kesetaraan gender. Rezha merupakan peserta Kepenulisan Puan Menulis Vol. 1.

Terkait Posts

Nilai Perempuan

Bergantung pada Status, Nilai Perempuan Lebih dari Itu Part I

27 Mei 2023
Fenomena Fast Beauty

Perempuan dan Masalah Lingkungan dari Fenomena Fast Beauty

26 Mei 2023
Bersikap Adil

Mengapa Kita Harus Bersikap Adil?

26 Mei 2023
Konsep Cinta

Memahami Konsep Cinta Erich Fromm

24 Mei 2023
Kasus Perceraian Artis

Mengambil Hikmah dari Kasus Perceraian Artis

23 Mei 2023
Rasa Sakit

Mengatakan Rasa Sakit Bukan Sesuatu Hal yang Tabu

23 Mei 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Nyaman dengan Ibu

    Mrs. Chatterjee vs Norway: Ketika Anak Lebih Nyaman dengan Ibu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 5 Refleksi Memperingati Hari Lahir Pancasila

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Inara Rusli dan Apresiasi Nabi Saw Kepada Perempuan Pekerja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kehidupan Pilu yang Dialami Perempuan Korban KDRT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rembuk Perempuan: Ruang Berbagi Kekuatan dan Merayakan Kepemimpinan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Beragama, Tapi Hanya Memikirkan Dunia
  • Perseteruan Antara UU Pornografi dan Korban Revenge Porn
  • Islam dan Masalah Kesehatan Perempuan
  • Mariam Al-Ijliya : Astronom Perempuan Abad Ke-10
  • Inara Rusli dan Apresiasi Nabi Saw Kepada Perempuan Pekerja

Komentar Terbaru

  • Ainulmuafa422 pada Simple Notes: Tak Se-sederhana Kata-kata
  • Muhammad Nasruddin pada Pesan-Tren Damai: Ajarkan Anak Muda Mencintai Keberagaman
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist