Acara kemarin bagi aku sangat responsif gender banget. Misal, dari awal lomba #KuisNgajiIhya (inikan bagian dari rangakain HBH yah) Mbak Admin Ienas Tsuroiya sangat gusar karena peserta perempuan dalam keikutsertaan kuis sangat minim, walhasil santri ubres perempuan angkatan muhajirat dipepet terus oleh Mbak admin untuk ikutan kuis, akhirnya beneran kepepet, dan menulislah dalam keadaan kepepet, makanya wajar kalau gak ada yang menang.
Demikianpun ketika proses persiapan HBH di group panitia, tidak hanya panitia ‘dikuasai’ perempuan dalam hal jumlah, tapi dalam hal perspektif, kami juga menguasai. Seolah-olah sedang praktik analisis gender melalui poster, poster awal yang disodorkan CM aka Masykurudin Hafidz yang notabene laki-laki, langsung dibantai oleh master notulensi pelatihan gender pada masanya, Mbak Jannet Nur Jannah.
“Cak bisa gak karikaturnya jangan santri laki-laki semua, ada santri perempuannya.”, tanpa ba-bi-bu, CM langsung ngibrit, meresponnya dengan cepat, “Siap!”. Dan ini yang aku bilang salah satu bentuk responsif gender ; karena si kritikus ini tidak hanya mengidentifikasi isu gender, tapi langsung menawarkan jalan ke luar.
Sreeet, kemudian foto santri-santri perempuan yang sedang mengajipun terkirim. Foto santri-santri perempuan dianggap masih kurang mewakili gambaran ngaji online, diapun mengirimkan lagi foto teks kitab ihya dalam gadget. Dan Menurutku foto-foto tersebut belum mewakili adil gender, maka aku langsung sigap, mengirimkan foto laki-laki dengan tampang urban tetapi solih sedang fokus ngaji ihya di gadetnya. “Biar ada santri putranya.” tambahku singkat.
Perdebatan isu gender belum selesai sampai di sini. CM kemudian mengirim poster alternatif dengan desain yang berbeda. Semuanya memukau, Walaupun di mata para perempuan yang mengimajinasikan diri sebagai analist gender selalu ada saja yang kurang.
“Cak kenapa fotonya krop-kropan, yang sudah bersatu jangan dipisahkan, kalau mau misah dengan foto lainnya…”, “Cak, kenapa Mbak Admin di urutan terbawah? Jangan lupa Mbak Admin itu memegang peran penting dalam Ngaji Ihya Online ini, bisa nggak dipindah posisi biar juga tidak membelakangi suami?”, untung nggak diteruskan komentar, ‘nanti dilaknat malaikat sampai pagi’… (Itupun ternyata dilematis karena ternyata pas terpasang di tengah membelakangi Abah, padahal kalau turun lagi ke bawah enggak deh).
Perdebatan, lebih tepatnya ‘propaganda’ sih, tentang gender semakin memanas bercampur isu lainnya, entah isu ‘kecemburuan’ atau etika pesantren, “Cak, aku sepakat yang santri putra dipisah, sudah duduk gak pake satir, tampak ndusel-ndusel di santri putri pula.”
Beruntung CM sangat responsif mengakomodir suara kami. Duh, CM ini sudah minoritas memiliki daya tawar tinggi tetapi sangat hormat dan melayani kebutuhan eh keinginan mayoritas. Sungguh akhlak terpuji, Gusti Allah ingkang ngajeni
Kentalnya pengaruh responsif gender dalam HBH #NgajiIhya tidak hanya tergambar melalui perdebatan poster, melainkan dari berimbangnya laki-laki dan perempuan pengisi acara, kecuali special guests penyedia teks kitab Ihya, yang memang dari sononya laki-laki semua.
Pemberi testimoni perwakilan SO dari 12 peserta terdiri dari 6 perempuan dan 6 laki-laki. Padahal kalau mau memakai representasi SO NgajiIhya yang kalau dilihat dari tayangan FB, sebenarnya SO putri hanya kurang dari 13%. Itu seenggaknya dari hitungan kasar yang ngasih emoticon love di salah satu tayangan NgajiIhya, dari 253 pemberi tanda love hanya 29 yang disinyalir akun milik perempuan. Padahal itu sudah mengandaikan pemberi emoticon love biasanya perempuan.
Sebenarnya angka 12% keikutsertaan perempuan dalam #NgajiIhya online sangat menggembirakan. Mengingat di dunia pesantren, kitab ihya merupakan kitab yang sangat ‘maskulin’. Kitab yang biasanya diajarkan kepada santri putra, pun yang sudah level atas. Makanya keberadaan #NgajiIhya online ini benar-benar memberikan ruang bagi perempuan (santri) untuk menikmati kitab klasik karya laki-laki istimewa, Imam Ghazali.
Oleh karenanya tidak salah, jika perempuan diberi kesempatan yang sama persis secara angka (50:50) dalam memberi testimoni mewakili SO pada HBH kemarin. Karena toh ternyata pengalaman perempuan dalam mengikuti #NgajiIhya lebih beragam; dari urusan sinyal (Helli – Landak Kalbar), domestik (Luluk, Sidoarjo), pekerjaan profesional (Icha), spiritual (Uswah),sampai keingintahuan perempuan dalam meluaskan cakrawala pengetahuan (Dahlia). Pengalaman – pengalamn tersebut memiliki kekhasannya tersendiri yang mungkin hanya dirasakan oleh perempuan.
Yang paling menyenangkan dari HBH NgajiIhya yang diselenggarakan secara online adalah memungkinkan siapa saja bisa ‘duduk’ di tempat yang sama. Kalau biasanya Ngaji offline perempuan duduk di belakang, atau di samping tapi dibalik satir dan tidak bisa melihat dengan gamblang para pembicara, di Ngaji Ihya online kita semua sama ; bahkan sama posisinya dengan para pembicara ketika beliau-beliau sedang tidak berbicara.
Pun, kita semua merasa diperlakukan sama oleh Poro Alim, mereka menyampaikan ekspresi yang sama memasuki rumah-rumah kita bahkan kamar kita, entah rumah kontrakan, maupun kamar kos-kosan, semuanya mendapatkan keberkahan yang sama. []