• Login
  • Register
Kamis, 19 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Serba-Serbi Memasak; Bukan Catatan Resep

Masithoh Azzahro Lutfiasari Masithoh Azzahro Lutfiasari
02/08/2020
in Featured, Keluarga, Personal
0
244
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Berapa kali dalam seminggu Anda memesan makanan melalui aplikasi ojek online? Mungkin ada orang-orang yang melakukannya hingga lebih dari sepuluh kali dalam seminggu, apapun alasannya. Bisa jadi karena mereka memang loyal terhadap warung langganan, atau karena ada niat murni untuk membantu kesejahteraan para driver. Alasan lain yang juga sering muncul adalah karena memasak makanan sendiri bukan keahlian yang dikuasai, sehingga membeli makanan jadi merupakan jalan keselamatan agar tidak keracunan sebab tidak bisa menakar bumbu.

Terkait alasan terakhir di atas, pembahasan tentang keahlian masak-memasak itu sendiri tidak pernah sederhana. Isu masak-memasak bisa jadi sangat rumit ketika jatuh pada bahasan tentang bagaimana majikan memperlakukan juru masaknya dan seberapa pantas gaji yang harus diberikan.

Bahasan lain yang juga bisa jadi sangat rumit adalah tentang peran istri atau ibu di dapur yang sering tidak dianggap sebagai faktor penentu kesuksesan suami di tempat kerja atau prestasi anak-anak di sekolah, sehingga tidak wajib diapresiasi. Sudah dituntut bisa memasak, eh, ketika bisa pun dianggap remeh karena katanya sudah qodrati.

Mengenai tuntutan perempuan bisa memasak, beberapa hari yang lalu seorang teman membagikan cuplikan percakapan Whatsapp dua sejoli yang sedang viral, yang membicarakan rasa dari masakan yang dibuat oleh pihak perempuan, yang kemudian diantar ke rumah pihak laki-laki. Pihak laki-lakinya berkata bahwa sang ibu berpesan agar pihak perempuan tidak usah lagi mengirimkan makanan buatan sendiri ke pihak laki-laki, karena rasanya tidak enak. Pihak laki-laki pun lanjut berkata, “Makanya belajar masak, biar aku yakin buat ngelamar kamu.”

Gagasan patriarkal ini terus beredar, seolah tak lekang oleh waktu. Padahal sudah banyak sekali pemuka agama dan cendekiawan Islam yang menantang serta membongkar salah kaprahnya gagasan ini. Contoh dari “pembongkaran” ini bisa dibaca di sebuah artikel yang berjudul “Memasak dan Mencuci Bukan Kewajiban Istri” di situs NU Online.

Baca Juga:

Tastefully Yours : Membongkar Konstruksi Sosial dari Dapur

Perkawinan Bukan Perbudakan: Hak Kemandirian Perempuan dalam Rumah Tangga

Ibnu Khaldun sebagai Kritik atas Revisi Sejarah dan Pengingkaran Perempuan

Jangan Rampas Hak Perempuan Memilih Pasangan Hidupnya

Artikel tersebut mengibaratkan istri sebagai “objek penderita” karena adanya tuntutan-tuntutan patriarkal dalam relasi berumah tangga yang tidak setara, salah satunya tuntutan perdapuran. Sementara jika kita boleh memaknai nafkah suami untuk istri secara kaku, nafkah pangan itu bukan termasuk kewajiban istri untuk mengolahnya; istri berhak mendapatkan nafkah pangannya dalam bentuk siap santap di meja makan. Adalah suatu kerelaan jika seorang istri bersedia mengolah pangan di rumah, maka seharusnya tidak ada tuntutan atasnya.

Sayangnya, meski pencerahan-pencerahan seperti ini sudah bukan hal yang baru lagi, tetap saja ada segolongan masyarakat yang terus melanggengkannya. Mungkin karena mereka belum terpapar informasi tersebut, yang disebabkan oleh terbatasnya jumlah ulama arus utama yang membawa topik ini dalam bahasan tausiyahnya. Selain itu, mungkin saja mereka yang perempuan sudah menginternalisasi patriarki dalam diri, dan yang laki-laki memang sudah telanjur menikmati buaian patriarki ala Indonesia.

Mengapa saya menyebutnya patriarki ala Indonesia? Karena di belahan dunia lain, kemampuan memasak dianggap sebagai genderless survival skill. Seorang teman laki-laki saya yang menempuh pendidikan S-2 di sebuah kota di negeri kincir angin pernah menceritakan pengalamannya diolok-olok teman-teman kuliahnya karena tidak bisa memasak. Mereka betul-betul heran, bagaimana bisa seorang mahasiswa rantau tidak bisa memasak.

Salah satu dari mereka bertanya, “So, you have takeouts all the time? Wait, are you, like, super rich or something?” Sejak saat itu, teman saya ini mengubah cara pandangnya terhadap keterampilan memasak. Kini dia sering mengunggah hasil kreasi masakannya di insta story.

Memasak adalah suatu keterampilan yang bisa dipelajari dan dikuasai lewat praktek, tidak ada bedanya dengan kemampuan membetulkan rantai motor bebek yang lepas dari geriginya di tengah perjalanan. Baik perempuan maupun laki-laki tentu bisa menguasainya, sebab tidak ada batasan qodrati yang menghalangi siapapun untuk memiliki keterampilan itu.

Jadi, keahlian memasak sudah sepantasnya dinormalisasi sebagai suatu kualitas seseorang terlepas identitas gendernya. Sementara kita masih belajar menciptakan masakan yang aman dan lezat untuk dikonsumsi, banyak Mas-mas atau Mbak-mbak, akang atau teteh ojek online yang siap mengatasi kelaparan kita, bahkan saat tengah malam. []

Masithoh Azzahro Lutfiasari

Masithoh Azzahro Lutfiasari

Terkait Posts

Lelaki Patriarki

Lelaki Patriarki : Bukan Tidak Bisa tapi Engga Mau!

19 Juni 2025
Perbedaan anak laki-laki dan perempuan

Jangan Membedakan Perlakuan antara Anak Laki-laki dan Perempuan

17 Juni 2025
Ibu Rumah Tangga

Multitasking itu Keren? Mitos Melelahkan yang Membebani Ibu Rumah Tangga

17 Juni 2025
Kesalehan Perempuan

Kesalehan Perempuan di Mata Filsuf Pythagoras

16 Juni 2025
Pesantren Disabilitas

Sebuah Refleksi atas Kekerasan Seksual di Pesantren Disabilitas

16 Juni 2025
Tanggung Jawab Perkawinan

Tanggung Jawab Pasangan Suami Istri dalam Menjaga Perkawinan

15 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Sister in Islam

    Doa, Dukungan dan Solidaritas untuk Sister in Islam (SIS) Malaysia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Berproses Bersama SIS Malaysia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nelayan Perempuan Madleen, Greta Thunberg, dan Misi Kemanusiaan Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dr. Nur Rofiah Tegaskan Pentingnya Mengubah Cara Pandang untuk Hentikan Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nabi Tak Pernah Membenarkan Pemukulan Terhadap Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Tastefully Yours : Membongkar Konstruksi Sosial dari Dapur
  • Perkawinan Bukan Perbudakan: Hak Kemandirian Perempuan dalam Rumah Tangga
  • Ibnu Khaldun sebagai Kritik atas Revisi Sejarah dan Pengingkaran Perempuan
  • Jangan Rampas Hak Perempuan Memilih Pasangan Hidupnya
  • Lelaki Patriarki : Bukan Tidak Bisa tapi Engga Mau!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID