Mubadalah.id – Pilkada 2024 saat ini telah memasuki masa kampanye dan debat antar calon kepala daerah mulai dari Gubernur hingga Bupati.
Ada beberapa debat antar calon kepala daerah yang menjadi sorotan, seperti debat calon Gubernur Jakarta dan debat calon Gubernur Provisi Banten misalnya.
Saat debat tersebut muncul guyonan seksis yang menyerang calon pemimpin perempuan dengan merendahkan kemampuan perempuan sebagai pemimpin.
Ada juga calon kepala daerah yang memberikan solusi tidak konkrit dan malah melanggengkan stigma terhadap janda.
Kampanye Seksis
Pada masa kampanye Pilkada 2024 banyak calon kepala daerah yang melakukan kampanye tidak berkualitas. Pada baliho-baliho yang terpampang di sepanjang jalan banyak jargon seksis yang menyerang identitas gender tertentu.
Seperti yang sempat viral di media sosial, paslon Bupati dan Wakil Bupati Sleman nomor urut 2 Harda Kiswaya-Danang Maharsa yang menyertakan kalimat seksis di balihonya.
Baliho tersebut kemudian viral setelah terunggah di salah satu akun media sosial Instagram @politicaljokesid. Postingan itu berisi foto baliho bergambar pasangan Harda-Danang. Sedangkan di bagian bawah terdapat tulisan dalam Bahasa Jawa ‘Milih Imam (Pemimpin) Kok Wedok. Jangan Ya Dik Ya! Imam (Pemimpin) Kudu Lanang’.
Jika kita terjemahkan ke Bahasa Indonesia, arti tulisan itu adalah ‘Memilih imam (pemimpin) kok perempuan. Jangan ya dik ya! Imam (pemimpin) harus pria’.
Tidak cukup sampai di situ, pada 16 Oktober lalu, KPU mengadakan debat kandidat Cagub dan Cawagub Provinsi Banten.
Ada dua kandidat pemilihan cagub dan cawagub Provinsi Banten yaitu pasangan nomor urut satu yaitu Airin Rachmi Diany-Ade Sumardi. Sedang nomor urut dua: Andra Soni-Dimyati Natakusumah.
Saat sesi Tanya jawab, pasangan nomor urut 1 bertanya kepada pasangan nomor urut 2 terkait penanganan kasus kekerasan seksual. Cawagub Dimyati Natakusumah malah menjawab bahwa perempuan itu harus mendapat perhatian, maka kita harus melindungi perempuan dan memuliakannya dengan enggak ngasih beban berat jadi gubernur. Pernyataan itu ia arahkan kepada Airin yang jadi kandidat cagub perempuan Banten satu-satunya.
Tidak Berpihak Pada Kelompok Rentan
Jejak digital calon kepala daerah di Pilkada 2024 ini juga sempat menjadi sorotan. Beberapa waktu lalu jejak digital ketiga calon Gubernur Jakarta ramai jadi perbincangan warganet.
Dharma Pongrekun misalnya, banyak potongan video saat dia hadir di berbagai sinear yang kemudian terunggah ulang oleh beberapa akun di media sosial.
Salah satu pernyataan Dharma Pongrekun yang viral adalah ketika ia berpendapat bahwa guru-guru perempuan sengaja ditempatkan di sekolah TK untuk menyiapkan anak-anak menjadi bagian dari komunitas LGBT sejak dini.
Tak hanya Dharma Pongrekun, Ridwan Kamil juga kerap membuat cuitan di media sosial X berupa candaan yang menempatkan perempuan sebagai objek dan komentar bernada misoginis.
“Kawasan Mangga Besar Jakarta itu seperti Azhari Sisters: Gak jelas dan suka bikin kehebohan menggelinjang.” Itu merupakan salah satu contoh cuitan mantan Gubernur Jawa Barat di media sosial X. Masih banyak cuitan bernada seksis lainnya, walaupun ia sempat minta maaf baru-baru ini setelah cuitannya tersebut viral.
Pramono Agung juga kerap membuat cuitan bernada seksis di media sosialnya. “Kesamaan LOKET dan TOKET.. Kalau pengen tahu sama2 DIINTIP.. #nyantai ah…” “Cewek berbaju seksi itu aneh, dilihatin dibilang kita kurang ajar, kalau kita cuekin dibilang kita homo #Nyantai ah.” Itu beberapa contoh yang pernah Pramono Agung tulis di media sosial X miliknya.
Cuitan-cuitan para calon Gubernur Jakarta tersebut membuat warganet khawatir. Bagaimana nasib masa depan Jakarta dan perempuan di tangan Kepala Daerah yang seksis dan tidak berpihak kepada kelompok rentan.
Langgengkan Stigma
Masih segar di ingatan bagaimana debat calon Gubernur Jakarta yang kedua beberapa hari lalu. Ada satu jawaban yang terlontarkan cawagub nomor urut 1 Suswono yang menjadi sorotan.
Saat itu ia membahas program kartu anak yatim. Ia bercerita bahwa ada seorang warga yang bertanya terkait kartu janda.
“Waktu dialog ini, ada yang bertanya ‘Pak, ada kartu janda nggak’? Saya pastikan kalau janda miskin pasti ada. Tapi masa janda kaya minta kartu juga? Saya sarankan janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur. Setuju ya,” kata Suswono.
Warga yang sedang menyaksikan secara langsung acara tersebut memberikan respon tertawa saat kelakar tersebut Suswono lontarkan. Suswono juga memberikan contoh dengan kisah Nabi Muhammad SAW dengan Siti Khadijah.
Sontak saja kelakar tersebut mendapat kritikan dari publik. Selain melanggengkan stigma terhadap janda. Suswono juga dinilai merendahkan Nabi Muhammad SAW karena menyamakannya dengan pemuda pengangguran.
Padahal dalam konteks yang Suswono bicarakan, kisah Nabi Muhammad SAW dengan Siti Khadijah sangatlah berbeda.
Suswono mengunggah permintaan maaf setelah pernyataannya viral. Namun ia minta maaf karena membawa Rasullulah Nabi Muhammad SAW dalam konteks tersebut. Ia tidak minta maaf kepada para janda yang telah ia jadikan objek candaan dan stigmatisasi.
Pernyataan Suswono juga dinilai tidak relevan, karena hal tersebut bukanlah sebuah solusi untuk ketimpangan sosial maupun kemiskinan di Jakarta.
Politik Misoginis
Fenomena-fenomena tersebut mengingatkan kita bahwa Pilkada 2024 masih diwarnai dengan politik misoginis.
Calon kepala daerah laki-laki tidak memandang perempuan dengan setara melainkan hanya sebagai manusia kedua. Sehingga mereka menggunakan kampanye seksis untuk meminggirkan keterwakilan perempuan di dunia politik.
Perempuan politisi sering menghadapi kampanye kotor dan bias gender karena kontestasi politik di Indonesia masih didominasi politik dinasti dan bersifat maskulin.
Banyak calon pemimpin laki-laki yang membawa tafsir agama yang tidak kontekstual sebagai bentuk upaya peminggiran terhadap perempuan.
Calon pemimpin yang misoginis masih terbelenggu oleh pemikiran patriarki sehingga akan sulit untuk maju dan berkembang. Selain itu, jika kepala daerahnya masih misoginis dikhawatirkan akan muncul kebijakan yang tidak inklusif. []