Mubadalah.id – Sound horeg, yang sesuai dengan namanya “horeg” itu akhir-akhir ini sedang diguncangkan oleh fatwa haram dari forum bahtsul masail di Pondok Pesantren Besuk Pasuruan Jawa Timur. Dalam forum bahtsul masail tersebut menetapkan sebuah hukum haramnya sound horeg disebabkan potensi ikhtilatnya kaum adam dan kaum hawa. Selain itu berpotensi mengganggu dari frekuensi bunyi yang dihasilkan.
Bahkan, bertebaran video berdurasi pendek di reels Instagram atau media massa Tik Tok yang menunjukkan sound horeg dengan frekuensi dan getaran suaranya yang “megah” dapat meruntuhkan atap rumah warga.
Namun, pengeluaran fatwa haram tersebut tentu saja menuai banyak pro dan kontra dari kalangan masyarakat. Mereka merasa sound horeg adalah bentuk hiburan dan ekspresi kebebasan. Bahkan, Kyai Muchib Aman Aly selaku mushahih dari forum bahtsul masail ini mendapatkan protes habis-habisan dari masyarakat.
Hal ini mengingatkan saya pada lagu dangdut yang juga menjadi hiburan dan konsumsi masyarakat dan sarana ekspresi kebebasan. Rhoma Irama misalnya, dengan lagunya yang berjudul “Judi.” Di mana ia mengkritik perilaku sosial masyarakat yang telah teracuni judi dengan lagu tersebut.
Adapun lagunya yang berjudul “Indonesia” dengan lirik yang lebih pedas daripada kritikan lagu Iwan Fals, “Yang kaya makin kaya/ Yang miskin makin miskin/ Indonesia bukan, milik golongan, dan bukan milik perorangan”. Begitupun sound horeg, tidak serta merta muncul begitu saja dan menjadi tradisi. Ia lahir karena sebab, dan kebiasaan menjadikannya budaya. Tapi, bagaimana musik bisa menentukan status sosial seseorang?
Musik dan Penggolongan Kelas Sosial
Adapun musik dapat kita kelompokkan dalam kelas sosial tertentu. Musik jazz dan pop contohnya, di Indonesia kedua musik ini anggapannya sebagai selera musik masyarakat kelas atas. Sedangkan dangdut anggapannya sebagai selera musik masyarakat kelas bawah. Hal ini bahkan sangat terlihat di tempat publik seperti mall atau departement store.
Mall atau departement store tergambarkan sebagai tempat belanja orang-orang kelas atas sehingga lagu-lagu yang disetel adalah lagu-lagu yang masuk dalam musik lift, atau musik-musik yang terputar di ruang-ruang yang terkunjungi oleh banyak orang seperti toko baju, toko buku, mall maupun restoran.
Pemilihan lagu yang mereka gunakan tentu sangat kontras dengan penggunaan lagu-lagu di pasar tradisional ataupun pasar loak dengan kanan-kiri jalan terpenuhi tukang becak dan kang ojek yang sibuk menawarkan jasanya.
Kemunculan Sound Horeg dan Perkembangan Teknologi Sound System
Sound horeg muncul sebagai bentuk berkembangnya teknologi sound system di Indonesia. Sound system mengalami kemajuan yang pesat seiring dengan evolusi teknologi audio secara global. Sistem tata suara pada awalnya hanya termanfaatkan untuk acara-acara besar seperti konser musik dan teater.
Berikut yang bisa menyewanya hanyalah orang-orang kalangan atas saja, alias masyarakat berduit saja yang mampu menggunakan sound system di acara-acara mereka. Namun, saat ini sound system merambah hingga ke masyarakat kalangan bawah.
Hingga terciptalah berbagai kegiatan masyarakat baik skala besar maupun kecil menggunakan sound system. Dari sinilah muncul bentuk baru penggunaan sound system dengan kekuatan bass yang sangat tinggi, yang terkenal dengan sebutan sound horeg.
Awalnya, sistem ini hanya menghasilkan suara dengan volume sedang. Namun seiring waktu sistem tersebut mengalami pergeseran budaya dan kebiasaan masyarakat. Sound horeg kemudian berkembang menjadi tradisi penggunaan sound system berdaya besar yang menghasilkan dentuman bass kuat dan getaran intens.
Penggunaan sistem ini ada dalam berbagai acara publik seperti pawai, karnaval, mberot, selawat, dan kegiatan seremonial lainnya.
Meskipun tujuan utamanya adalah menciptakan suasana meriah dan membangkitkan semangat audiens, keberadaan sound horeg juga menimbulkan persoalan, khususnya dalam hal kebisingan lingkungan. Menghasilkan getaran dan suara yang kerap menimbulkan gangguan pendengaran, serta menciptakan ketidaknyamanan bagi masyarakat sekitar.
Sound Horeg: Hiburan Murah Masyarakat Bawah dan Potensi Kebathilan yang Dihasilkan
Beberapa waktu lalu, sempat viral di Tik Tok video tentang battle sound horeg di tengah laut. Entah siapa yang memulai ide seperti ini. Namun, saya rasa kegilaan seperti ini dapat menuai kegilaan pula bagi sekitarnya. Video berdurasi 40-60 detik di Tik Tok tersebut menampilkan kapal-kapal nelayan dengan sound horeg dan diikuti banyak penumpang.
Perahu tersebut berhenti di tengah laut hanya untuk menyetel sound dengan suara yang melebihi desibel telinga manusia, lalu para penumpang mengikutinya dengan berjoget ria terbawa alunan musik yang berdentum keras.
Sekilas, video tersebut mengingatkan saya pada scene film Penyalin Cahaya yang dibintangi Shenina Cinnamon. Pada scene di mana Suryani dan Amin berusaha menciptakan vibes pesta diskotik ala-ala untuk mengingat kejadian yang sedang mereka selidiki.
Satu hal yang menjadi sorotan saya adalah musik yang mereka gunakan untuk dugem ala-ala tersebut. Musik yang mereka gunakan adalah musik dangdut, bahkan sesekali di mix DJ. Sebuah cara menyenangkan diri dengan budget minim, sebut saja begitu.
Sound horeg memang menawarkan harga yang mahal untuk penyewaannya. Namun bagi masyarakat sound horeg tersebut adalah alternatif hiburan murah yang bisa mereka dapatkan. Apalagi, kalau tidak ada penarikan tiap kepala anggota yang ada di rumah oleh Ketua RT seperti keluhan warga yang berseliweran di Tik-Tok itu. Akan sangat menyenangkan jika hiburan tersebut pure dari dana pribadi panitia yang menyelenggarakan.
Masyarakat tinggal berdiri berkerumun di sekitar sound, sambil menikmati musik yang dentumannya sama sekali tidak digubris. Padahal bisa membahayakan kesehatan diri sendiri. Bahkan, seringkali diikuti dengan nyangking minuman oplosan yang mereka taruh di gelas plastik bekas air mineral, seperti yang terjadi di karnaval-karnaval yang ada. Sekali lagi, ini upaya menyenangkan diri dengan budget yang minim.
Sound Horeg dalam Kacamata Islam
Pengeluaran fatwa haram terhadap penggunaan sound horeg ini tentu saja menuai kecaman dari masyarakat. Mereka juga sibuk menanyakan alasan keharamannya, toh sound horeg hanyalah hiburan semata di mata masyarakat. Namun, dalam kajian fiqih perkara yang menciptakan ketidaknyamanan masyarakat menimbulkan hukum haram.
Mempertimbangkan penggunaan sound horeg yang ada di berbagai acara masyarakat, dan telah berhasil menuai banyak kontroversi ini salah satunya adalah getaran keras dari suara berintensitas tinggi. Di mana sering kali menyebabkan kerusakan properti warga, seperti kaca rumah yang retak hingga genteng yang longsor. Seiring dengan maraknya parade sound horeg, keluhan warga terus meningkat. Terutama menyangkut gangguan kesehatan, kenyamanan, dan ketentraman lingkungan.
Dalam pandangan Islam, menjaga keseimbangan alam serta menghindari perusakan lingkungan merupakan prinsip yang sangat mendasar. Islam mengajarkan bahwa kehidupan di dunia tidak hanya milik manusia semata, tetapi juga mencakup makhluk hidup lainnya seperti hewan, tumbuhan, serta bumi sendiri yang memiliki hak untuk kita jaga.
Oleh karenanya, penting bagi manusia untuk mengembangkan sikap saling menghormati dan menjaga harmoni dengan seluruh makhluk ciptaan, agar kelestarian dan keseimbangan alam tetap terpelihara.
Sound horeg sebagai fenomena sosial keagamaan, dalam praktiknya seringkali identik dengan syiar fussaq. Sebagaimana pendapat Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy‘ari dalam al Tanbihat al Wajibaat. Meskipun dalam praktiknya digunakan pada seremonial keagamaan, apabila tercampuri dengan berbagai kemungkaran seperti campur baur antara laki-laki dan perempuan, musik, joget, serta pakaian tidak pantas, maka seluruh rangkaian acara tersebut menjadi haram. []