• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Buku

Spirit Keperempuanan Masa Orde Baru dalam Cerpen Bawuk

Perempuan pada masa Orde Baru sangat rentan. Perempuan pada masa itu kerap mengalami pembatasan dalam bergerak dan berpikir

Adila Amanda Adila Amanda
12/02/2024
in Buku
0
Cerpen Bawuk

Cerpen Bawuk

691
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sudah bukan rahasia lagi bahwa Gerakan 30 September (Gestapu/Gestok/G30S) menjadi istilah yang mengingatkan setiap insan manusia. Hal seiring dengan munculnya konflik antara Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi kambing hitam sebagai pengkhianat negara.

Setelah peristiwa tersebut, pemerintah berusaha memberantas PKI dan para simpatisannya. Pembasmian ini juga berdampak pada istri dan anak simpatisan PKI yang terpaksa harus pindah ke tempat lain agar tidak tertangkap. 

Salah satu karya yang berlatar tahun 1965 dan pengalaman para korban G30S adalah cerpen berjudul Bawuk (1975) oleh Umar Kayam. Dalam cerita ini, Bawuk adalah nama istri seorang simpatisan PKI. Ia juga menjadi korban pembasmian PKI. Ia dan anak-anaknya terpaksa berpindah-pindah tempat tinggal agar tidak tertangkap.  Mereka terpaksa berpisah dengan suaminya, Hasan, sembari terhantui oleh masa depan yang menakutkan. 

Cerpen Bawuk dapat menjadi representasi represi oleh pemerintah Orde Baru terhadap para simpatisan PKI, khususnya pada tahun 1965 setelah meletusnya tragedi G30S. Umar Kayam berhasil menjadikan kisah ini tidak hanya menyoroti korban fisik dari tragedi G30S, melainkan juga korban yang terdampak secara mental. Salah satu korban yang terdampak secara mental ialah perempuan yang menjadi istri dari para simpatisan PKI.

“Pada saat itu, bila malam telah larut, anak-anaknya telah tidur dan diskusidiskusi telah selesai, Bawuk sering memikirkan perjalanan yang telah ditempuhnya selama ini. Perjalanannya bersama Hassan yang penuh dengan busa ideologi, kegairahan untuk mereguk kehidupan hingga dasarnya bersama dengan keyakinan itu.”

Baca Juga:

Herland: Membayangkan Dunia Tanpa Laki-laki

Kartini Tanpa Kebaya

Falsafah Hidup Penyandang Disabilitas dalam “Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati”

Laki-laki yang Menjelma Hujan

“Di S Bawuk dan anak-anaknya tinggal berpindah-pindah. Dicobanya mencari kontak dengan suaminya. Sisa kawan-kawannya yang berada di S kebanyakan bukan dari lingkungannya yang lama. Mereka yang sebelum Gestapu dekat dengan Bawuk dan Hassan sudah pada menyingkir, kebanyakan ikut ke T.” 

Perlawanan Bawuk adalah Semangat Keperempuanan

Perempuan pada masa Orde Baru sangat rentan. Perempuan pada masa itu kerap mengalami pembatasan dalam bergerak dan berpikir, serta bertempatkan pada ruang-ruang domestik yang membuatnya tidak berdaya.

Domestikasi perempuan, menurut Asyraf (2020), merupakan praktik oleh pemerintah melalui ideologi ibuisme negara, yang merupakan perpaduan antara konsep domestikitas borjuis Belanda dan ibuisme priyayi Jawa. Konsep ibuisme negara menghasilkan gagasan subordinasi (nomor dua) posisi perempuan di bawah laki-laki dan harus selalu melayani laki-laki sejak Orde Lama hingga Orde Baru.

Bawuk adalah seorang perempuan dan seorang istri. Kehormatannya sebagai perempuan tidak serta merta menunjukkan kerentanannya sebagai seorang istri. Dalam cerpen Bawuk ini, Bawuk adalah perempuan dan istri yang berdaya.

Suaminya, Hasan, memberikan ruang untuk berjuang, mendukung pergerakannya, termasuk menimba ilmu. Hasan bahkan mengajak Bawuk untuk memperjuangkan ideologi mereka bersama, mengizinkannya membantu Gerwani dan bersosialisasi dengan rakyat jelata.

“Sedang Hassan dan kawan-kawannya sibuk mengatur itu semua, Bawuk bersama isteri kawan-kawan Hassan mendapat tugas sendiri. Mereka berkewajiban menggarap para pimpinan Gerwani di kecamatan T itu yang sebagian terbesar adalah isteri-isteri pimpinan masyarakat desa kecamatan T.

Ini merupakan pengalaman baru buat Bawuk. […] Bawuk tahu banyak tentang Gerwani, tentang Lekra, tentang anak organisasi PKI lainnya. Suaminya selalu memberitahukannya tentang perkembangan organisasi itu, mendorongnya untuk ikut berpikir secara aktif, mengajak berdiskusi dan memberinya bacaan yang cukup banyak.”

Kuasa Perempuan dalam Kehidupan Berkeluarga

Bahkan dalam kehidupan keluarganya, Bawuk menunjukkan perlawanannya sebagai seorang perempuan. Ia memiliki kekuatan untuk bersuara. Bawuk memiliki kemampuan untuk membujuk orang tuanya dengan segala bentuk perlawanan. Kemandirian Bawuk sebagai perempuan juga ditunjukkan melalui kebebasannya dalam berpikir.

Dalam mengambil keputusan, siapapun tak bisa memaksanya. Bahkan pilihan untuk membela suaminya yang komunis pun merupakan kesadarannya sendiri. Ia tidak takut dengan anggapan-anggapan yang menghalanginya untuk membela ideologi yang ia yakini.

“Tiduran di bale-bale dengan seorang bediende, main-main dengan anak desa di belakang kandang kuda adalah bukan kebiasaan yang baik buat seorang anak onder yang diusahakan mengecap pendidikan europeesch yang baik. Tetapi tiap kali ayah-ibunya berusaha menegor Bawuk tentang hal ini, selalu saja dengan cara yang khas-Bawuk, Bawuk berhasil menyakinkan orangtuanya bahwa apa yang dikerjakannya itu tidak apa-apa.

Dan anehnya, ayahnya yang bisa begitu keras terhadap bawahannya bahkan juga terhadap kakak-kakak Bawuk, seringkali harus banyak mengalah kepada anaknya yang bungsu ini.”

“Tapi mas-mas, mbak-mbak, mammie-pappie, itu lah dunia pilihanku. Dunia abangan yang bukan priyayi, dunia yang selalu resah dan gelisah, dunia yang penuh ilusi yang memang seringkali bisa indah sekali. Karangrandu kita, onderan kita, Concordia kita, kanjengan kita, sinterklaas kita, ayam hutan kita, kuda dan dokar kita, hilang menguap di dalam duniaku itu. Dunia Mas Hassan.”

Bawuk dengan semangat feminitasnya merupakan wujud keberdayaan dirinya sebagai perempuan dalam potret sejarah Orde Baru. Setelah meninggalkan anak-anaknya, ia berpamitan kepada keluarganya untuk melanjutkan perjuangannya. Ia mencari dan menolong suaminya, serta memperjuangkan rakyat jelata.

Cerita berakhir dengan keberadaan Bawuk yang masih dipertanyakan. Di mana ia menjadi representasi para korban kerusuhan G30S yang tidak pernah kembali ke rumah, tidak meninggalkan jasad. Sebagai penutup, kisah ini merupakan gambaran bagaimana perempuan dalam semangat feminitasnya dapat memberdayakan diri dan tak kalah terhadap represi yanang menimpa dirinya. []

Tags: BawukbukucerpenfemininitasG30S PKIOrde Baruperjuangan perempuanSastraUmar Kayam
Adila Amanda

Adila Amanda

Senang ber-fafifu dengan topik-topik sastra, lingkungan, pergerakan, filsafat, dan apa saja. Lebih suka menulis karena ia tak lebih berat daripada merindu.

Terkait Posts

Herland

Herland: Membayangkan Dunia Tanpa Laki-laki

16 Mei 2025
Neng Dara Affiah

Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah

10 Mei 2025
Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati

Falsafah Hidup Penyandang Disabilitas dalam “Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati”

25 April 2025
Buku Sarinah

Perempuan dan Akar Peradaban; Membaca Ulang Hari Kartini Melalui Buku Sarinah

23 April 2025
Toleransi

Toleransi: Menyelami Relasi Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keberagaman

23 Maret 2025
Buku Syiar Ramadan Menebar Cinta untuk Indonesia

Kemenag RI Resmi Terbitkan Buku Syiar Ramadan, Menebar Cinta untuk Indonesia

20 Maret 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version