• Login
  • Register
Sabtu, 12 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Standar Kesempurnaan Perempuan, dan Bagaimana Mencintai Diri Sendiri

Mela Rusnika Mela Rusnika
06/05/2020
in Personal
0
(sumber foto pixabay.com)

(sumber foto pixabay.com)

136
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Apakah kamu pernah merasa insecure menjalani hari-hari sebagai perempuan?! Entah itu disebabkan oleh standar kecantikan dari luar, standar menjadi istri solehah, standar menjadi perempuan yang bisa mengurus urusan domestik, maupun standar lainnya yang mengarah pada kesempurnaan perempuan.

Memenuhi standar-standar tersebut pastinya bikin kamu cape. Meskipun kamu sudah berusaha menerima diri kamu apa adanya, sudah mengingatkan diri untuk ­self-love, tapi kamu tetap merasa terkungkung dengan standar yang telah lama tumbuh di masyarakat.

Ketika kamu berlatih untuk tidak insecure, mencoba untuk percaya diri, tapi kamu tetap merasa tidak seperti orang lain itu merupakan perasaan yang wajar dan valid. Maka dari itu, mari kita bahas satu per satu tentang standar-standar yang mengekang perempuan di masyarakat yang tidak perlu kamu penuhi jika tidak tertarik dengan standar tersebut.

Pertama, standar kecantikan perempuan yang dikonstruksi lewat iklan, lewat media, dan lewat film yang tentu saja berpengaruh terhadap kehidupan perempuan. Mulai dari kulit, rambut, bentuk badan, sampai yang berbau agama, semua tentang diri perempuan selalu ditentukan oleh pihak-pihak dari luar dirinya.

Standar kecantikan ini pun terus berubah-ubah seiring perkembangan zaman. Selama ini kita juga melihat standar kulit ideal versi iklan selalu bergeser. Mulai dari kuning langsat, kuning mangir, putih bersinar, putih susu, hingga putih glowing.

Baca Juga:

Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga

Pentingnya Menempatkan Ayat Kesetaraan sebagai Prinsip Utama

Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan

Perbedaan Biologis Tak Boleh Jadi Dalih Mendiskriminasi Hak Perempuan

Referensi ras yang dianggap cantik juga terus berubah-ubah. Mulai dari kecantikan bule Belanda, wajah yang kearab-araban, sampai sekarang perempuan kulit Asia yang berkiblat ke korea-koreaan. Referensi inilah yang kemudian berhubungan bagaimana perempuan disuruh membeli sabun mandi, sampo, body lotion, dan make up yang sesuai dengan kepentingan pasar.

Jika kita mengamati standar kecantikan masyarakat atau standar kecantikan menurut pasar kosmetik tentu akan berubah-ubah. Mungkin sebagian dari kita bisa memenuhinya dan sebagian lagi tidak karena keterbatasan yang dimiliki. Mungkin akan lebih baik juga ketika kamu memiliki standar kecantikan sesuai dengan apa yang kamu inginkan.

Kedua, standar menjadi istri solehah dengan referensi konten-konten dari media sosial. Banyak konten yang membahas kriteria menjadi istri solehah berkaitan dengan urusan rumah tangga dan pahala melayani pasangan.

Untuk kriteria urusan rumah tangga seperti bisa memasak, bisa menyapu, bisa memotong sayuran, dan masih banyak lagi. Begitupun dalam urusan melayani pasangan, misalnya harus melayani hubungan seksual untuk mendapatkan pahala.

Bagi perempuan yang tidak bisa melakukan semua hal itu tidak perlu memaksakan diri. Kalau pun mau berusaha jangan sampai insecure dengan kehidupan yang kamu jalani. Standar kesalehan yang dibuat oleh Tuhan melalui agama tidaklah seperti itu, tetapi diukur dari ketakwaan kepada-Nya.

Ketiga, standar terlahir sebagai perempuan yang dikonstruksi harus bisa mengurus rumah tangga meskipun belum berkeluarga. Untuk hal ini saya akan menceritakan pengalaman pribadi yang menimpa diri saya sendiri. Mayoritas perempuan di lingkungan saya sewaktu remaja harus bisa mengurus urusan domestik, salah satunya memasak.

Untuk saya sendiri memasak bukanlah hal yang saya sukai. Namun, saat itu saya tetap berusaha mengejar standar tersebut dengan belajar memasak. Saya pernah memasak untuk sekumpulan orang, tetapi tidak seorang pun memakan masakan tersebut, hingga makanan itu berjamur.

Peristiwa itu pun membuat saya insecure dan tidak percaya diri jika harus memasak untuk orang lain. Saya merasa takut peristiwa itu terjadi lagi dalam kehidupan saya. Saya ingin sekali keluar dari standar tersebut agar emosi dan mental saya tidak mudah tersulut jika membicarakan perihal memasak.

Saya menyadari sebaiknya saya menjadi perempuan versi saya sendiri. Ketika saya tidak menyukai dunia dapur bukan berarti saya tidak utuh menjadi seorang perempuan. Bagi saya, permasalahan dapur hanyalah bagian dari ketertarikan.

Nilailah diri kita dengan standar yang bisa kita jaga dan ukur kualitasnya. Fokus dengan potensi yang bisa kita kembangkan dan fokus menjadi pribadi yang menyenangkan. Sudah pasti standar kecantikan dari wawasan dan kepribadian itu tidak akan berubah.

Kita sudah diberikan role model untuk menjadi perempuan terbaik versi dirinya sendiri, seperti Siti Khadijah, Aisyah, Kartini, dan Najwa Shihab. Mereka tidak memperkenalkan standar menjadi perempuan harus cantik dengan kulit putih glowing, harus melayani suami setiap waktu, dan bisa memasak.

Karakter yang mereka perlihatkan justru memiliki kecerdasan intelektual dan kreativitas yang tinggi yang tentunya membuat mereka lebih percaya diri. Kepercayaan diri yang dimiliki itulah yang membuat kecantikan mereka semakin terpancar. Dengan karakter itulah mereka menjadi orang yang hebat dan berpengaruh.

Kita pun bisa sehebat mereka kalau kita mengutamakan self-love. Pahami sejauh mana kita mencintai tubuh dan jiwa kita sendiri?! Ketika kita sudah tahu ingin menjadi perempuan yang seperti apa, maka tidak akan semudah itu menuntut diri memenuhi standar-standar perempuan yang dianggap sempurna.

Kesempurnaan menjadi seorang perempuan itu kita sendiri yang mencipatakannya. Artinya kesempurnaan itu milik kita sendiri. Jadilah perempuan yang bisa menghargai dan menghormati dirinya sendiri. []

Mela Rusnika

Mela Rusnika

Bekerja sebagai Media Officer di Peace Generation. Lulusan Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Part time sebagai penulis. Tertarik pada project management, digital marketing, isu keadilan dan kesetaraan gender, women empowerment, dialog lintas iman untuk pemuda, dan perdamaian.

Terkait Posts

Harapan Orang Tua

Kegagalan dalam Perspektif Islam: Antara Harapan Orang Tua dan Takdir Allah

12 Juli 2025
Berhaji

Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji

11 Juli 2025
Ikrar KUPI

Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan

11 Juli 2025
Life After Graduated

Life After Graduated: Perempuan dalam Pilihan Berpendidikan, Berkarir, dan Menikah

10 Juli 2025
Pelecehan Seksual

Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang

9 Juli 2025
Pernikahan Tradisional

Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

8 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Isu Disabilitas

    Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Negara Inklusi Bukan Cuma Wacana: Kementerian Agama Buktikan Lewat Tindakan Nyata

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam dan Persoalan Gender

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tauhid: Kunci Membongkar Ketimpangan Gender dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Laki-laki dan Perempuan adalah Manusia yang Setara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga
  • Pentingnya Menempatkan Ayat Kesetaraan sebagai Prinsip Utama
  • Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan
  • Perbedaan Biologis Tak Boleh Jadi Dalih Mendiskriminasi Hak Perempuan
  • Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID