• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Sunat Perempuan dalam Perspektif Moral Islam

Mencegah sunat perempuan bukan sekadar urusan medis. Ini adalah keputusan moral yang selaras dengan nilai-nilai inti Islam.

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
02/05/2025
in Hukum Syariat, Rekomendasi
0
Sunat Perempuan

Sunat Perempuan

1.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Visi besar Islam adalah menyempurnakan akhlak mulia dan membangun peradaban yang penuh kasih sayang, keadilan, dan kemaslahatan. Ketika Nabi Muhammad Saw menyatakan bahwa misinya adalah “menyempurnakan akhlak mulia”, berarti setiap tindakan kita wajib melalui pertimbangan dengan prinsip moral yang luhur. Di antara prinsip-prinsip itu: akhlak kerahmatan, fitrah kesucian, keadilan, kemaslahatan, keteladanan, dan solidaritas keummatan.

Salah satu praktik yang sudah turun-temurun di banyak komunitas Muslim dan kini perlu kita tinjau ulang adalah sunat perempuan. Praktik ini, dalam banyak kasus, melibatkan tindakan melukai atau memotong sebagian organ kelamin perempuan—yang berisiko merusak fisik maupun psikis. Mari kita cermati kembali praktik ini dengan lensa prinsip-prinsip moral Islam tersebut, dengan penuh kesadaran dan keimanan.

1. Akhlak Kerahmatan

Visi Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, kasih sayang bagi seluruh makhluk. Perempuan, sebagai bagian dari umat manusia, memiliki hak yang sama untuk memperoleh kasih sayang, dengan hidup sehat dan bermartabat.

Rasulullah Saw menegaskan, “La dharar wa la dhirar”—tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh saling membahayakan (HR Ibnu Majah). Jika sunat perempuan terbukti menimbulkan luka dan trauma, bagaimana mungkin ia bisa kita anggap sebagai tindakan kasih sayang?

Pencegahan sunat perempuan adalah bentuk nyata dari cinta dan kepedulian kita kepada bayi-bayi perempuan. Islam mengajarkan: menyayangi bukan dengan melukai, mencintai bukan dengan menyakiti. Maka, menolak praktik ini adalah wujud konkrit dari akhlak rahmah yang Nabi Saw. ajarkan.

Baca Juga:

Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

2. Prinsip Fitrah Kesucian

Dalam Islam, tubuh manusia bukan sekadar milik pribadi; ia adalah titipan, amanah yang Allah SWT berikan kepada setiap insan. Allah menciptakan tubuh manusia dalam bentuk yang paling sempurna (QS. At-Tin: 4). Kesempurnaan itu adalah fitrah yang suci, yang harus terjaga dan kita hormati. Bukan diubah atau kita rusak tanpa alasan yang sah.

Maka, ketika kita berhadapan dengan praktik sunat perempuan—yang hakikatnya adalah tindakan melukai, memotong, dan menyakiti bagian tubuh yang diciptakan Allah dengan sempurna—pertanyaannya menjadi sangat mendasar. Logiskah kita menjaga kesucian tubuh perempuan dengan cara yang justru mencederai kesucian itu sendiri?

Lebih dari itu, bagaimana mungkin kita, sebagai hamba yang dititipi amanah agung ini, berani mengubah ciptaan-Nya tanpa ada perintah yang tegas dan maslahat yang jelas? Padahal Allah sendiri berulang kali memperingatkan untuk tidak merusak atau mengubah ciptaan-Nya (QS. An-Nisa: 119). Bukankah melukai tubuh perempuan tanpa kebutuhan yang syar’i adalah bentuk pengubahan yang tidak kita benarkan?

Oleh karena itu, menolak praktik sunat perempuan bukan hanya soal memilih yang aman secara medis. Tetapi adalah bentuk nyata ketakwaan kita kepada Allah dalam menjaga fitrah ciptaan-Nya. Islam mengajarkan prinsip tegas: menjaga lebih utama daripada memperbaiki yang telah rusak. Maka, menjaga keutuhan tubuh perempuan adalah bagian dari penjagaan atas kesucian hidup itu sendiri—dan itu adalah kewajiban moral yang luhur.

3. Meneladani Nabi Saw

Nabi Muhammad Saw adalah uswah hasanah—teladan paripurna dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam konteks sunat perempuan, fakta sejarah berbicara: tidak ada satu pun riwayat sahih—bahkan riwayat yang lemah pun sangat langka—yang menyebutkan bahwa Nabi Saw pernah mengkhitan putri-putri beliau. Padahal beliau memiliki beberapa putri yang hidup hingga dewasa.

Lebih dari itu, Rasulullah Saw juga menegaskan pentingnya merujuk kepada ahli di bidang masing-masing. Dalam konteks kesehatan dan anatomi tubuh, para ahli medis adalah pihak yang paling berkompeten. Ketika ilmu kedokteran hari ini menegaskan bahwa sunat perempuan tidak memiliki manfaat dan justru berisiko berbahaya, mengikuti panduan medis adalah wujud dari kesetiaan kita pada ajaran Nabi yang mendahulukan maslahat dan mencegah mafsadat.

Jika kita benar-benar mencintai Rasulullah Saw, maka cinta itu harus kita wujudkan dalam ketaatan yang berbasis teladan dan prinsip moral. Menolak sunat perempuan, dalam konteks ini, adalah bagian dari ittiba’ Nabi yang hakiki. Mengikuti ajaran beliau dengan ilmu, kesadaran, dan fondasi moral.

4. Prinsip Keadilan dan Keseimbangan

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi prinsip keadilan. Salah satu makna populer dari keadilan adalah menempatkan segala sesuatu pada posisi yang tepat, sesuai dengan hakikat, kebutuhan, dan maslahatnya. Di sini, ada kekeliruan nyata yang memandang: demi “kesetaraan,” perempuan juga harus kita sunat karena laki-laki disunat. Isu ini harus kita lihat secara adil, seimbang, dan proporsional.

Secara medis, anatomi laki-laki dan perempuan berbeda secara fundamental. Sunat laki-laki kita lakukan pada kulup (preputium) penis, yang secara medis terbukti memiliki manfaat, seperti memudahkan kebersihan dan mengurangi risiko infeksi. Oleh sebab itu, sunat laki-laki memiliki landasan maslahat yang jelas baik secara syariat maupun medis.

Namun, pada perempuan, tidak ada bagian anatomi yang secara fungsional dan struktural serupa dengan kulup penis laki-laki. Memotong atau melukai bagian mana pun dari organ kelamin perempuan. Meskipun hanya sedikit—berisiko tinggi, karena area tersebut memiliki jaringan saraf yang kompleks yang sangat penting untuk fungsi reproduksi dan kenikmatan seksual.

Jika laki-laki diuntungkan secara kesehatan melalui sunat, maka demi prinsip keadilan, perempuan justru harus terjaga keutuhannya agar dapat menikmati hak yang sama dalam kesehatan reproduksi dan kenikmatan seksual secara halal. Rasulullah Saw pernah mengingatkan: “Sesungguhnya tubuhmu punya hak atasmu” (HR Bukhari), yang mencakup hak tubuh perempuan untuk sehat, aman, dan terhindar dari keburukan.

5. Hak untuk Terbebas dari Bahaya

Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (QS. Al-Baqarah: 195), adalah sebuah pesan universal bahwa perlindungan jiwa dan kesehatan adalah kewajiban yang tidak bisa kita tawar. Dalam kaidah fiqh menyebutkan: “Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih”—mencegah kerusakan harus kita dahulukan daripada meraih kemaslahatan.

Ini berarti, jika sebuah tindakan mengandung potensi bahaya, maka wajib kita cegah, bahkan jika ada klaim maslahat kecil yang belum jelas manfaatnya. Sunat perempuan, yang oleh para pakar medis telah dinyatakan tidak memiliki manfaat dan justru berbahaya, secara tegas bertentangan dengan maqasid syari’ah yang bertujuan menjaga jiwa, tubuh, dan martabat manusia.

Ketika kita melindungi perempuan dari praktik yang berbahaya, kita sedang mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dan menegaskan bahwa tubuh manusia adalah amanah yang harus terjaga dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, perlindungan dari bahaya bukan hanya hak perempuan, tetapi juga kewajiban kolektif umat yang beriman, peduli dan bertanggung jawab.

6. Moral Keummatan

Allah menyeru kita untuk menjadi khairu ummah—umat terbaik yang mewujudkan hal-hal baik dan mencegah hal-hal buruk. Sebuah umat yang peduli tidak akan membiarkan anggotanya—terutama yang paling rentan, seperti bayi perempuan—mengalami tindakan yang menyakitkan tanpa manfaat. Menolak sunat perempuan adalah wujud loyalitas kita pada prinsip-prinsip Islam yang melindungi, bukan mencederai.

Mencegah sunat perempuan bukan sekadar urusan medis. Ini adalah keputusan moral yang selaras dengan nilai-nilai inti Islam: keimanan dan kerahmatan. Dengan mencegah sunat perempuan, kita sesungguhnya sedang menanamkan kasih sayang, menjaga kesucian tubuh, meneladani Nabi Saw, menegakkan keadilan, melindungi dari bahaya, dan membangun solidaritas keummatan.

Pada saat yang sama, kita juga sedang menjalankan misi besar Islam. Mewujudkan kebaikan-kebaikan, yaitu kehidupan yang sehat, adil, dan bermartabat. Ulama, orang tua, dan masyarakat memiliki tanggung jawab bersama untuk memastikan bahwa setiap bayi perempuan tumbuh tanpa luka yang tidak perlu, dalam naungan cinta kasih dan perlindungan rahmah sejati Islam. []

Tags: akhlakFondasi MoralislamkemanusiaanMoralitasPemotongan Pelukaan Alat Genetalia PerempuanSunah Nabisunat perempuan
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Perempuan Fitnah

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

15 Mei 2025
Pendidikan Seks

Pendidikan Seks bagi Remaja adalah Niscaya, Bagaimana Mubadalah Bicara?

14 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version