Mubadalah.id – Secara paradigmatik, tafsir maqashidi yang berbasis keadilan gender meniscayakan bahwa konsep-konsep kemaslahatan yang telah para ulama klasik tegaskan. Yaitu harus menyasar kebutuhan-kebutuhan perempuan.
Begitu pun konsepsi mengenai maqashid asy-syari’ah yang lima harus kita rumuskan ulang untuk memastikan kebutuhan perempuan menjadi integral dari kebutuhan-kebutuhan dasar manusia dalam konsepsi tersebut.
Yaitu, apa yang kita kenal dengan “adl-dlaruriyyat al-khams,” perlindungan hak hidup (hifdh an-nafs) dan hak beragama (hifdh ad-din).
Lalu, ada juga hak berpendidikan dan budaya (hifdh al-‘aql), hak berkeluarga (hifdh an-nasI), dan hak ekonomi (hifdh al-mal). Dengan berbagai levelnya yang sudah ulama klasik sebutkan: primer (adl-dlaruriyyat), sekunder (al-hajiyyat), maupun tersier (at-tahsiniyyat).
Mengutip pandangan yang sangat menarik dari Ibn Qayyim al-Jauziyah, ahli hukum bermazhab Hanbali dalam bukunya yang terkenal ath-Thuruq al-Hukmiyyyah fi as-Siyasah asy-Syar’iyyah:
“Sesungguhnya Allah SWT mengutus Rasul-Nya dan menurunkan Kitab Suci-Nya agar manusia menegakkan keadilan yang karenanya bumi dan langit berdiri tegak. Jika keadilan telah tampak nyata dengan jalan apa pun ia dihasilkan, maka di situlah hukum dan agama Allah. Jalan apa pun yang bisa menghasilkan keadilan, itulah agama Allah, tidak bertentangan dengannya.”
Keadilan di sini tentu saja harus semua manusia rasakan, tanpa perbedaan jenis kelamin, laki-laki atau perempuan. Begitu pun kemaslahatan publik dan segala jenis kebaikan-kebaikan hukum, pendidikan, sosial, budaya, politik dan ekonomi harus perempuan rasakan, sebagaimana sudah laki-laki rasakan. []