Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir tentang ayat kepemimpinan, maka, mungkin perlu mengecek ulang pemahaman atas al-Qur’an surat al-Nisa (4): 34.
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ
Artinya: Para laki-laki (suami) adalah qawwam (pemimpin/penanggung jawab/pengayom), karena Allah memberikan kelebihan kepada sebagian dari mereka atas yang lain, dan karena mereka memberikan nafkah dari harta-harta mereka. (QS. al-Nisa (4): 34).
Jika kita membacanya lebih utuh, ayat ini sesungguhnya mengandung syarat siapa laki-laki yang menjadi pemimpin. Yaitu ketika laki-laki tersebut memiliki kapasitas (kelebihan) dan ketika mereka memberikan nafkah dari harta mereka.
Artinya, kepemimpinan itu soal tanggung jawab orang yang berkapasitas dan mampu memberi nafkah, bukan karena jenis kelaminnya.
Jika syarat atau kondisi yang disebutkan ayat tersebut dianggap penting, maka sesungguhnya kepemimpinan rumah tangga ini bukan soal jenis kelamin.
Namun, soal kapasitas yang dimiliki dan kepemilikan harta yang tersedia untuk dinafkahkan bagi kepentingan keluarga.
Pandangan Imam Malik
Imam Malik (w. 174 H), ulama abad kedua hijriah dan pendiri Mazhab Maliki, memiliki strategi pemaknaan menarik untuk ayat yang serupa dengan ayat QS. al-Nisa (4): 34 ini, yaitu ayat tentang para ibu yang sebaiknya menyusui anak mereka selama dua tahun.
وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ
Para ibu itu menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh, bagi orang yang ingin menyempurnakan (masa dan kualitas) persusuan ini. (QS. al-Baqarah (2): 233.
Jika kita amati, struktur kalimat dalam ayat ini sama dengan QS. al-Nisa (4): 34 menggunakan kalimat berita dan serta kondisi atau syarat tertentu.
Pada QS. al-Nisa (4): 3 kita menyebutnya: para suami itu pemimpin perempuan, sementara di QS. al-Baqarah (2): 232 adalah para ibu itu menyusui anak mereka.
Kondisi pada QS. al-Nisa (4): 34 adalah kapasitas dan nafkah harta, kondisi pada QS. al-Baqarah (2): 233 adalah kehendak menyempurnakan persusuan.
Nah, menurut Imam Malik, jika ada perempuan yang tidak ingin menyusui anaknya, lalu memilih mencari perempuan lain untuk menyusui anaknya, maka boleh dan tidak bertentangan dengan QS. al-Baqarah (2): 233.
Hal ini karena yang utama dalam ayat tersebut bukan seorang ibu harus menyusui. Tetapi seorang bayi harus mendapat susu, dari mana saja susu tersebut.
Jika kita analogikan dengan QS. al-Baqarah |2|: 232. Maka pada QS. al-Nisa |4|: 34 perempuan yang memimpin atau yang menjadi kepala keluarga sama sekali tidak bertentangan dengan ayat.
Karena maksud ayat yang utama adalah soal adanya orang yang memimpin dan bertanggung jawab. Yaitu memastikan kebutuhan keluarga terpenuhi, baik fisik, psikis, material, maupun yang lain.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik.