Pernahkah kalian merasa terbebani oleh tuntutan untuk selalu sempurna?
Mubadalah.id – Kita hidup dalam budaya yang mengagung-agungkan kesempurnaan. Dari bangku sekolah hingga karier, kita didorong untuk meraih nilai sempurna, peringkat teratas, dan predikat “terbaik.” Namun, tahukah kalian jika “sempurna” itu sendiri hanyalah ilusi?
Tubuh kita, dengan keajaibannya, membuktikan bahwa kita diciptakan dengan segala kelebihan dan kekurangan. Justru di situlah keindahannya.
Lalu, seberapa sering kalian membandingkan diri dengan pencapaian orang lain? Ini adalah catatanku, refleksi seorang penulis.
Ingat saat mengerjakan skripsi? Tekanan untuk cepat selesai, untuk “mengalahkan” teman-teman yang lebih dulu sidang, terasa begitu nyata. Tapi skripsi bukanlah perlombaan lari estafet. Prosesnya, pembelajarannya, itulah yang sesungguhnya berharga. Iya?
Begitu pula dengan pernikahan, yang kerap kali menjadi ajang perbandingan dan persaingan. Belakangan, sakralitasnya ternodai oleh keinginan untuk “menyamai” atau “mengalahkan” orang lain.
Media sosial memperparah ilusi ini. Kehidupan yang dipoles, liburan mewah, dan kesuksesan instan yang ditampilkan, menciptakan standar yang tak tercapai. Kita lupa bahwa itu hanyalah sepotong kecil, bahkan mungkin rekayasa, dari kehidupan seseorang.
Gary Zukav dalam “The Seat of the Soul” menjelaskan betapa mengejar pengakuan eksternal seperti medali emas, pujian, hanya akan mengosongkan jiwa kita. Kesalahan terbesar adalah saat kita menitipkan harga diri kita di tangan orang lain, bukan pada diri sendiri.
Perlombaan yang Tak Berujung
Memang sih, mengejar pencapaian itu manusiawi, bahkan penting. Namun, jangan sampai kita terjebak dalam perlombaan yang tak berujung, yang membuat kita iri, dengki, dan melupakan tujuan hidup yang sebenarnya. Ingat, kita diciptakan untuk menjadi nyata, dengan segala kekurangan dan kelebihan kita, bukan untuk menjadi sempurna. Perjalanan hidup kita unik, dan membandingkannya hanya akan mengaburkan keindahannya.
Berhenti membandingkan diri dengan orang lain adalah langkah awal. Namun, perjalanan menuju penerimaan diri jauh lebih kompleks. Kita perlu menggali lebih dalam, memahami akar ketidakpuasan yang seringkali tersembunyi di balik keinginan untuk “sempurna.”
Menurutmu, dari refleksi seorang penulis, kira-kira apa faktor yang membuat seseorang ingin sekali tampil sempurna?
Kalau sejauh yang saya amati, seringkali keinginan ini berakar pada rasa tidak aman, ketakutan akan kegagalan, atau bahkan kebutuhan untuk mendapatkan validasi dari luar. Kita mencari pengakuan dan penerima dari orang lain untuk mengisi kekosongan di dalam diri sendiri.
Cobalah untuk merenungkan: Apa yang sebenarnya kita cari? Kesuksesan finansial? Pengakuan sosial? Hubungan yang sempurna? Tanyakan pada dirimu!
Seringkali, keinginan untuk mencapai “kesempurnaan” dalam satu area kehidupan menutupi kebutuhan yang lebih mendalam. Misalnya, seseorang yang obsesif dengan karier yang sukses mungkin sebenarnya sedang mencari rasa aman dan stabilitas emosional yang kurang ia dapatkan di rumah. Dsb. Memahami akar permasalahan ini menjadi penting dan sangat menentukan proses penyembuhan dan penerimaan diri. Jadi, mulailah berpikir.
Menilik Praktik Mindfulness
Praktik mindfulness dan self-compassion dapat sangat membantu. Mindfulness membantu kita untuk hadir di momen sekarang, mengakui pikiran dan perasaan kita tanpa menghakimi. Self-compassion, di sisi lain, mengajarkan kita untuk berempati pada diri sendiri, menerima kekurangan kita sebagai bagian dari manusia biasa.
Alih-alih mengkritik diri sendiri atas kesalahan atau kekurangan, kita belajar untuk memperlakukan diri sendiri dengan kebaikan dan pengertian yang sama seperti kita memperlakukan teman yang sedang mengalami kesulitan. Karena tampaknya, mengasihi diri sendiri memang terasa jauh lebih sulit, bukan?
Perjalanan menuju penerimaan diri memang panjang dan berliku, dan tentu saja, saya menulis ini pun untuk diri sendiri. Bohong rasanya jika mengatakan bahwa saya tidak pernah terjebak dalam perbandingan, tidak pernah merasa kurang, atau tidak pernah dihantui rasa takut akan kegagalan. Nyatanya, saya pernah sangat terganggu dengan itu semua sampai-sampai me-nonaktifkan akun sosial media agar tidak ter-distrak dengan kehidupan orang banyak.
Oleh karena itu, justru karena pernah merasakannya, saya semakin memahami betapa pentingnya menekankan pentingnya self-compassion dan penerimaan diri.
Mengelola Ekspektasi
Sebagai penulis, salah satu tantangan terbesar yang saya hadapi adalah mengelola ekspektasi. Baik ekspektasi dari diri sendiri maupun dari orang lain. Seringkali, saya terjebak dalam perangkap kesempurnaan, mengupayakan setiap tulisan harus sempurna, bebas dari cacat, dan selalu diterima. Ini mengakibatkan proses menulis menjadi menyakitkan. Belajar melepas ekspektasi ini tentu tidak mudah, tetapi harus saya lakukan.
Kemudian, ada juga tantangan dalam menangani kritik. Sebagai penulis, kita pasti akan mendapatkan kritik, baik yang konstruktif maupun yang tidak. Menangani kritik yang konstruktif sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan karya kita.
Namun, menangani kritik yang negatif dan tidak membangun dapat menjadi sangat menyakitkan dan menurunkan percaya diri dalam menulis. Percayalah, sampai saat ini, saya pun masih terus belajar untuk menghadapinya.
Selain itu, menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan professional juga merupakan tantangan yang besar. Seringkali, saya terlalu fokus pada menulis sehingga melupakan aspek lain dari hidup saya. Ini mengakibatkan kelelahan dan stress. Saya harus belajar untuk menetapkan batas yang jelas antara waktu menulis dan waktu untuk aktivitas lainnya, seperti beristirahat, bertemu teman dan keluarga, atau aktivitas lainnya.
Kesimpulannya, perjalanan menuju penerimaan diri sebagai penulis tidak berbeda dengan perjalanan menuju penerimaan diri secara umum. Ini adalah proses yang berkelanjutan, yang memerlukan kesadaran diri, praktik self-care, dan dukungan dari lingkungan sekitar.
Kuncinya? Menerima
Menerima ketidaksempurnaan dan kelemahan diri adalah kunci untuk menemukan kebebasan kreatif, menikmati proses menulis, atau kegiatan apapun, tanpa terbebani oleh tekanan untuk menjadi sempurna. Kita harus yakin bahwa perjalanan ini, dengan segala tantangannya, justru membentuk dan memperkaya proses hidup kita menjadi lebih berwarna. Karena sekali lagi, di dunia ini, tidak ada yang sempurna! []