Mubadalah.id – Perbincangan isu lingkungan hidup, termasuk bahasan soal sampah, tampaknya tak akan ada batasnya. Isu tersebut kini tengah jadi pembicaraan hangat di masyarakat Kota Pekalongan dan sekitarnya.
Di media sosial misalnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Pekalongan mendapatkan kritik pedas dari masyarakat karena dianggap tak becus menangani persoalan sampah. Sejak tertutupnya TPA Degayu oleh Kementerian Lingkungan Hidup, wajah Kota Pekalongan kini tercemar, yang oleh teman saya menyebutnya sebagai wisata gunung sampah.
Kalau Anda tak percaya, silakan main ke Kota Pekalongan. Selain bisa mencicipi lezatnya Nasi Megono, Anda juga akan tersuguhi pemandangan cantik saat melintas di jalan-jalan Kota Pekalongan. Tumpukan sampah yang telah terbungkus plastik telah memenuhi pinggiran jalan-jalan di Kota Pekalongan. Kota Pekalongan yang berjuluk sebagai Kota Kreatif Dunia oleh UNESCO, kini bertransformasi menjadi kota penuh sampah.
Persoalan sampah di kota yang juga terkenal sebagai Kota Batik ini sebenarnya bukan isu yang terjadi baru-baru ini. Namun sudah jadi bahan pembicaraan yang tak asing lagi dalam beberapa tahun terakhir. Cuma akhir-akhir ini saja gaungnya kembali melangit usai jalan-jalan di perkotaan terhiasi sampah.
Lalu Salah Siapa?
Masalah sampah memang terjadi dimana-mana. Masing-masing pihak tentu harus punya kesadaran dan kemauan. Paling tidak, meminimalisir terjadinya tumpukan sampah atau lebih-lebih, mengubah sampah itu menjadi barang yang bernilai ekonomis.
Respon beragam terjadi di media sosial soal kota sampah di Pekalongan ini. Teman saya yang lain, yang seorang lulusan UIN, mengkritik Pemerintah Kota Pekalongan yang katanya Pemkot tidak bisa memberikan solusi penanganan sampah. Malah menyuruh-nyuruh warga untuk mengelola sampah secara mandiri.
Sementara, banyak video CCTV yang terunggah di medsos yang menunjukan warga membuang sampah sembarangan, entah di depan sekolah, depan toko, di area pasar, dan sebagainya. Di kolom komentar, netizen ramai-ramai mengkritik perilaku masyarakat yang membuang sampah tersebut.
Posisi saya, yang sama-sama sebagai rakyat jelata, tentu tidak ikut menghakimi perbuatan buang sampah sembarangan tersebut, namun juga tidak serta merta membenarkan tingkah tersebut. Saya rasa warga bingung mau buang sampah di mana, lebih-lebih pemerintahnya juga bingung karena belum mampu memberikan solusi jitu persoalan sampah.
Krisis Ekologi Bukan Cuma Sampah
Kota Pekalongan bukan hanya soal sampah. Tapi, kota ini juga tentang pencemaran sungai dan air, banjir rob, pencemaran udara, dan lainnya. Siapa yang bersalah? Lagi-lagi, semua ikut andil.
Pemerintah dengan aturan-aturannya yang tidak pro lingkungan, atau kebijakan-kebijakannya yang kadang justru malah berpotensi menambah rusaknya lingkungan. Serta masyarakat, dalam hal ini pengusaha, rumah tangga, atau masyarakat umum, yang belum sadar atau belum tersadarkan, akan pentingnya menjaga lingkungan.
Ada banyak sebab terkait belum sadarnya masyarakat, termasuk pemerintah, untuk memelihara alam ini dengan sebaik-baiknya. Bisa karena pemerintah abai terhadap isu lingkungan hidup, atau masyarakatnya tidak kita beri edukasi tentang pentingnya lingkungan. Selain itu mungkin saja pemerintah tidak menyediakan fasilitas memadai untuk pengelolaan sampah maupun limbah.
Kritik Seyyed Hossein Nasr dan Makna Spiritualitas
Akan tetapi, mari kita melihat persoalan ini dari perspektifnya Seyyed Hossein Nasr. Dia adalah seorang filsuf muslim kontemporer. Nasr mengungkap bahwa permasalahan lingkungan hidup di dunia ini akibat krisis religiusitas dan spiritualitas manusia.
Termasuk krisis lingkungan, cendekiawan Muslim yang lahir di Iran (1933) tersebut melihat krisis religiusitas dan spiritualitas modern sebagai akar dari berbagai masalah global di era modern, seperti kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan, dan penindasan.
Dalam bukunya yang berjudul ‘Problematika Krisis Spiritual Manusia Modern’, Nasr secara jelas menyatakan bahwa krisis ekologi hanyalah manifestasi dari krisis rohani dan tidak dapat terselesaikan tanpa membangkitkan kembali spiritualisme dari manusia.
Spiritualitas, secara hakiki, dapat kita artikan sebagai kesadaran yang berhubungan dengan Tuhan, di mana manusia merasa dekat dengan-Nya dalam setiap aspek kehidupan. Sementara itu, dalam konteks spiritualitas modern, kita memerlukan pelaksanaan dari kesadaran tersebut dalam bentuk upaya menghadapi berbagai masalah global yang muncul di era modern ini.
Kerusakan alam, menurut Nasr, menjadi tanda bahwa manusia perlu segera memperbaiki hubungan mereka dengan lingkungan, mengingat alam sebagai refleksi dari penciptaan ilahi yang sakral.
Sakralitas sendiri adalah kualitas atau sifat sesuatu yang kita anggap suci, keramat, atau memiliki nilai spiritual tinggi dalam suatu budaya atau agama. Nah, manusia modern memandang, alam tidak lagi sebagai sesuatu yang sakral, tetapi sebagai objek yang dapat dieksploitasi (secara berlebihan).
Maka, penting bagi kita untuk terus menjaga spiritualitas dalam kehidupan. Begitu pentingnya dimensi spiritual dalam kehidupan manusia, energi spiritual dapat kita ekspresikan pada aspek kehidupan manusia (Muhammed Feris, 2017), yaitu 1) Takwa, 2) Tawakal, 3) Bersyukur kepada Allah, 4) Sabar, 5) Ihsan.
Krisis Spiritualitas
Nasr menjelaskan bahwa krisis spiritual merupakan problematika yang sangat memberikan dampak besar dan berbahaya bagi manusia. Krisis spiritual membuat manusia menjadi hampa dan perbuatan yang dilakukan menjadi tidak terkontrol. Seakan bahwa hidup di dunia ini tidak ada aturan yang mengikatnya, termasuk cara bersikap terhadap lingkungan.
Oleh sebab itu, Nasr mendorong kita untuk merenungkan kembali hakikat manusia sebenarnya. Manusia merupakan bagian dari alam, dan sebaliknya. Sedangkan alam merupakan bukti adanya Allah. Tuhan, manusia dan alam merupakan satu entitas yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Setiap hamba yang diberi akal, sudah semestinya, menumbuhkan kembali kepedulian terhadap alam. Sikap sebagai khalifah di muka bumi mesti kembali kita rawat. Maksud khalifah disini ialah sebagai pemimpin yang bijak, tidak melakukan hal yang berlebihan sehingga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan kota sampah yang lebih parah.
Adapun tindakan ril yang dapat diwujudkan oleh setiap manusia, dengan memulai dari pengelolaan sampah dan penggunaan yang secara tepat. Manusia, dalam hal ini juga pemerintah, sebagai pemegang kebijakan yang seharusnya juga punya kesadaran penuh terhadap kebersihan lingkungan.
Pertanyaannya, mampukah Pemkot Pekalongan mengembalikan wajah kota yang bebas dari sampah? Serta mampukah mengelola sampah-sampah itu dengan baik? Mari kita tunggu aksi nyatanya saja. []