Mubadalah.id – Pencatatan perkawinan telah terakui sebagai salah satu cara untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi perempuan dan anak dalam perkawinan. Dengan perkawinan yang tercatat, maka suami dan utamanya istri dapat memperoleh kutipan akta perkawinan atau buku nikah sebagai bukti adanya perkawinan.
Dalam praktik, hanya dokumen tersebut yang diterima sebagai bukti bahwa sepasang pria dan wanita telah terikat dalam perkawinan (vide Pasal 7 KHI). Oleh karenanya, akan sangat sulit bagi seorang istri untuk membuktikan ikatan perkawinannya dengan sang suami. Terlebih jika Ia tidak memiliki kutipan akta perkawinan atau buku nikah.
Tidak memiliki kutipan akta perkawinan dapat menghambat akses atas sejumlah layanan publik. Misalnya tanpa adanya kutipan akta perkawinan, maka sangat sulit untuk menerbitkan akta kelahiran anak yang di dalamnya mencantumkan nama ayah dari si anak.
Artinya, anak tersebut dalam dokumen akta kelahirannya, hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Secara sosial, anak juga akan mereka nilai sebagai anak yang lahir di luar nikah. Sementara itu bagi wanita yang tidak dapat membuktikan perkawinannya akan kita anggap berada dalam hubungan terlarang dengan laki-laki yang menjadi pasangannya.
Pemenuhan Syarat dan Rukun
Bagi pasangan yang akan menikah dengan tata cara Islam, maka proses pencatatan perkawinan mulai sebelum akad nikah berlangsung. Yaitu dengan melaporkan kehendak nikah kepada KUA (Kantor Urusan Agama).
Sedangkan bagi perkawinan yang telah terlanjur terlaksana namun tidak terlaporkan kepada KUA, maka proses pencatatan dapat kita lakukan hanya jika telah memperoleh penetapan itsbat nikah dari peradilan agama. Namun demikian perlu kita ingat, tidak seluruh permohonan penetapan itsbat nikah terkabulkan oleh peradilan agama.
Sama seperti pencatatan perkawinan pada KUA, peradilan agama akan memeriksa pemenuhan syarat dan rukun perkawinan. Kompilasi Hukum Islam mengatur adanya lima rukun perkawinan. Yaitu calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab Kabul. Setiap rukun tersebut memiliki kriteria yang harus terpenuhi. Misalnya seorang wali haruslah seorang laki-laki muslim, aqil dan baligh.
Jika terbukti seluruh syarat dan rukun tersebut terpenuhi, maka permohonan itsbat nikah besar kemungkinan akan terkabulkan, sehingga perkawinan dapat tercatatkan dan memperoleh buku nikah. Sebaliknya, jika syarat dan rukun perkawinan tidak terbukti telah terpenuhi dalam perkawinan tersebut, maka permohonan itsbat nikah berpotensi mereka tolak.
Selain harus memenuhi syarat dan rukun yang telah saya sebutkan di atas, perkawinan juga harus memenuhi ketentuan undang-undang perkawinan, seperti bukan merupakan bentuk poligami liar. Jika perkawinan yang kita mohonkan pengesahannya melalui itsbat nikah adalah perkawinan poligami, kemungkinan besar permohonan pengesahan tersebut akan mereka nyatakan tidak dapat diterima (vide Sema 3 Tahun 2018).
Tidak dapat diterima bermakna peradilan agama tidak dapat memeriksa lebih lanjut mengenai pemenuhan syarat dan rukun perkawinan. Sehingga perkawinan tersebut tetap tidak memiliki bukti berupa buku nikah.
Membuktikan Sah Perkawinan
Untuk membuktikan terpenuhinya syarat dan rukun perkawinan, serta telah terpenuhinya ketentuan dalam undang-undang perkawinan tidaklah cukup hanya dengan bersandar pada pernyataan suami dan istri. Memang sejumlah doktrin fikih Islam memperkenankan ikrar dari suami dan istri untuk membenarkan adanya perkawinan.
Namun, pemerikasaan perkara itsbat nikah di peradilan agama mewajibkan pihak yang mengajukan permohonan itsbat nikah untuk mengajukan bukti-bukti ke depan sidang. Meski bukti yang dikenal dalam hukum acara perdata di Indonesia tidak terbatas pada saksi maupun surat (vide Pasal 1866 KUHPerdata). Namun dalam praktik dua bukti tersebutlah yang paling memungkinkan untuk diajukan oleh para pihak.
Bukti surat dalam pemeriksaan perkara itsbat nikah kiranya akan berperan besar dalam membuktikan terpenuhinya syarat dari tiap rukun nikah. Seperti status agama wali dan kedua calon mempelai yang dapat mereka buktikan dengan Kartu Tanda Penduduk. Maupun dokumen kependudukan lainnya.
Atau seperti membuktikan adanya hubungan nasab antara seorang ayah yang menjadi wali nikah dengan calon mempelai perempuan melalui akta kelahiran.
Sementara itu bukti keterangan saksi kiranya berperan besar untuk membuktikan situasi serta kondisi saat akad nikah berlangsung. Melalui keterangan saksi, hakim akan memastikan kebenaran kehadiran dua orang saksi nikah. Kebenaran adanya ijab kabul serta kebenaran atas terpenuhinya berbagai rukun lainnya.
Pengajuan saksi dalam perkara itsbat nikah tidak cukup seorang saja. Melainkan setidak-tidaknya dua orang yang menyaksikan langsung terlaksananya akad nikah.
Keterangan dari seorang saksi akan tergolong sebagai keterangan yang berdiri sendiri (unus testis nullus testis). Di mana keterangannya tidak boleh kita percaya (vide Pasal 1905 KUHPerdata). Saksi nikah, wali nikah, hingga hadirin yang menyaksikan langsung akad nikah pada dasarnya dapat menjadi saksi dalam sidang itsbat nikah.
Syahadah Istifadah
Pada suatu kondisi tertentu, saksi-saksi yang tidak menyaksikan langsung akad nikah dapat kita ajukan untuk memberikan keterangan ke depan persidangan. Hal ini sepanjang saksi mengetahui kondisi masyarakat yang memang mengakui bahwa kedua mempelai adalah sepasang suami-istri.
Misalnya keterangan saksi yang mengetahui bahwa kedua orang tuanya, tetangganya, dan seluruh warga desanya bercerita. Yakni untuk mengakui dan memperlakukan sepasang laki-laki dan perempuan tersebut sebagai pasangan suami dan istri.
Kesaksian seperti ini kita sebut sebagai syahadah istifadah yang dikenal dalam doktrin hukum Islam. Kini peradilan agama di Indonesia juga mengakuinya (vide SEMA 10 Tahun 2020). Akan tetapi, syahadah istifadah hanya boleh diterima dalam peristiwa perkawinan yang sudah lama terjadi, sehingga kita perkirakan orang-orang yang melihat langsung perkawinan tersebut sangat sulit untuk kita hadirkan sebagai saksi.
Baik pencatatan nikah pada KUA maupun itsbat nikah pada peradilan agama pada dasarnya sama-sama melakukan pemeriksaan. Yaitu pemeriksaan atas pemenuhan syarat dan rukun perkawinan serta pemenuhan ketentuan undang-undang perkawinan.
Bedanya, KUA akan mencegah terlaksananya perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan. Karena KUA berkesempatan dan berwenang untuk melakukan penyelidikan sebelum akad nikah mereka langsungkan.
Sementara peradilan agama hanya berwenang untuk memeriksa akad nikah yang telah berlangsung. Tidak berkuasa untuk mencegah terjadinya perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Perlu kita ingat, hubungan badan yang terjadi dalam perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun berpotensi dinilai sebagai hubungan yang tidak sah.
Oleh karenanya, sebisa mungkin jangan sampai harus mengajukan itsbat nikah di peradilan agama. Utamakan pencatatan perkawinan dengan melaporkan kehendak nikah pada KUA. []