Mubadalah.id – The Silent Child, film yang bercerita tentang kehidupan sunyi seorang gadis tunarungu ini berhasil memenangkan Academy Award tahun 2018. Menariknya, film ini berangkat dari kisah nyata. Penulisnya Rachel Shenton merupakan pemeran pekerja sosial atau masyarakat biasa bernama Joanne.
Libby, seorang gadis tuli berusia 6 tahun yang kesehariannya sangat sunyi, murung, dan menyediri. Kedua orang tuanya, Paul dan Suzzanne terkesan lebih memperhatikan kedua saudara yang lain. mereka juga sangat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Bahkan seluruh anggota keluarganya hampir tidak pernah memperhatikan dan berkomunikasi dengan Libby. mereka juga tidak paham mengenai bahasa isyarat.
Sampai pada akhirnya Joanne datang mengembalikan senyum Libby. Hingga hari demi hari ia menjadi lebih periang, sering membuka komunikasi, bermain, dan aktif mengutarakan sesuatu melalui gerakan isyaratnya.
Runyamnya, kedua orang tua Libby tidak mau jika anaknya hanya terbiasa berkembang bersama Joanne saja. Dengan dalih seorang ibu yang paham apa yang terbaik untuk anaknya, Libby tetap bersekolah dan bergabung bersama anak normal lainnya. Ia kembali murung karena tidak ada yang mencoba memahami kesulitannya.
Disabilitas Dalam Perspektif Mubadalah
Film the silent child ini menyuarakan bahwa para penyandang disabilitas membutuhkan penerimaan oleh orang terdekat dan sekitarnya perihal ketidaksempurnaannya. Peran orang tua sebagai upaya penyejahteraan hidup penyandang disabilitas perlu mendapat dukungan dari lingkungan tempat mereka berproses dan bertumbuh.
Semua pihak perlu untuk memberikan dukungan dan fasilitas hidup yang layak, bukan malah memberi stigma negatif bahkan memarjinalkan. Seperti yang disebutkan K.H. Faqihuddin Abdul Qodir dalam bukunya Qiraah Mubadalah bahwa kesalingan berarti reciprocity atau adanya timbal-balik dalam relasi dua pihak.
Dalam hal ini, mubadalah antara orang tua dan masyarakat merupakan jembatan untuk tercapainya hak keberlangsungan dan kesejahteraan hidup bagi penyandang disabilitas. Allah swt lebih spesifik lagi berfirman perihal kesetaraan hak bagi penyandang disabilitas dalam surat An-Nur ayat 61:
لَّيْسَ عَلَى ٱلْأَعْمَىٰ حَرَجٌ وَلَا عَلَى ٱلْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى ٱلْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمْ أَن تَأْكُلُوا۟ مِنۢ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ ءَابَآئِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَٰتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَٰنِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَٰتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَٰمِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّٰتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَٰلِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَٰلَٰتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُم مَّفَاتِحَهُۥٓ أَوْ صَدِيقِكُمْ ۚ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَأْكُلُوا۟ جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا ۚ فَإِذَا دَخَلْتُم بُيُوتًا فَسَلِّمُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِندِ ٱللَّهِ مُبَٰرَكَةً طَيِّبَةً ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلْءَايَٰتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ.
Artinya: “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) dirumah kamu sendiri atau dirumah bapak-bapakmu, dirumah ibu-ibumu, dirumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, dirumah saudara bapakmu yang laki-laki, dirumah saudara bapakmu yang perempuan, dirumah saudara ibumu yang laki-laki, dirumah saudara ibumu yang perempuan, dirumah yang kamu miliki kuncinya atau dirumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya”.
Sinergi Kesalingan Antar Keluarga
WHO (World Health Organization) juga menekankan bahwa keterbatasan fisik saat ini sebagai masalah hak asasi manusia. Dan pada 3 Desember 1992, Majelis Umum PBB mendeklarasikannya sebagai Hari Penyandang Disabilitas Internasional. Mereka juga mendiskusikan penyelesaian terhadap segala problematika untuk menyejahterakan para penyandang disabilitas.
Di Indonesia sendiri, telah membentuk komitmen konstitusional dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Yakni Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Selain itu juga Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 10 Tahun 2011. Yaitu tentang Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus.
Dari the silent child tersebut, belum kita temukan sinergi dan kesalingan antar keluarga Libby dengan Joanne si pekerja sosial. Begitu pula kerjasama dengan lingkungan sekolahnya. Bahkan, orang tua Libby sendiri belum memberikan dukungan moral dan moril yang sesuai baginya. Seperti halnya pendidikan yang selaras dengan kebutuhannya serta pola asuh yang hangat baginya.
Pentingnya Penerapan Konsep Mubadalah
Kurangnya penerimaan dan perhatian kedua orang tua terhadap kondisi Libby sebagai tunarungu yang sangat menghambat perkembangan Libby. Penulis naskah film sudah menegaskan bahwa “ketulian adalah disabilitas yang tidak terlihat dan tidak mengancam nyawa sehingga luput dari perhatian”.
Perlunya penerapan konsep mubadalah (kesalingan) antara masyarakat dan orang tua mampu menjembatani para penyandang difabel mendapatkan hak-hak dalam keberlangsungan hidupnya dengan keterbatasan yang ada.
Seperti halnya hasil analisis Unicef terkait enam pilar kebijakan bagi para difabel yaitu jaminan pada sektor pendidikan, kesehatan, gisi, air, sanitasi dan kebersihan, serta perlindungan anak dan perlindungan sosial. Selain itu, perlunya penerimaan yang bisa menumbuhkan kepercayaan diri para penyandang disabilitas dan menjadi berdaya dalam hidupnya, juga lingkungan sekitarnya. []