Tubuh adalah serangkaian fisik organisme manusia yang terdiri dari fisik kasar dan fisik halus. Yang di dalamya terdapat jiwa dan raga. Menurut KBBI V, tubuh merupakan keseluruhan jasad manusia atau binatang yang kelihatan dari bagian ujung kaki sampai ujung rambut.
Sedangkan menurut Abineno J. I, tubuh adalah rangkaian dalam diri seorang manusia yang dilengkapi dengan jiwa atau berjiwa dan bukan jiwa abadi yang berada ataupun yang terbungkus di dalam sebuah tubuh atau badan yang fana atau yang tidak nyata.
Artinya tubuh manusia tidak hanya berbicara kepala, pundak, punggung, tangan, kaki, dan lain-lain. Akan tetapi juga berbicara perihal jiwa, spirit, dan semangat. Pengertiannya secara umum tentu kita tidak bisa mendefinisikan apa itu tubuh secara utuh. Karena dalam pandangan Nietszche, ia menyatakan bahwa tubuh tidak hanya dimanfaatkan dan dialami dalam banyak cara, bahwa hasratnya dapat diubah oleh interpretasi budaya.
Menurut Bryan S Turner (Listyani, 2016) kajian sosiologis tentang tubuh perempuan setidaknya didorong oleh sejumlah faktor. Pertama adalah pengaruh sosial dan politik gerakan feminisme di dunia akademik maupun masyarakat umum. Kedua maraknya perdebatan etik di seputar persoalan penerapan teknologi medis. Ketiga, munculnya perkembangan paham estetika tubuh dalam realitas kebudayaan konsumer.
Candraningrum pada tahun 2014 memandang persoalan penindasan ini sebagai bagian dari politik penundukan karena pemilik kuasa berusaha melakukan kendali atas tubuh perempuan (Susilo, 2016). Lanjutnya, keberadaan tubuh perempuan yang didominasi oleh politik kepemilikan untuk menguasai secara penuh. Maka tidak heran, Candraningrum menyatakan bahwa kekuasaaan terhadap tubuh perempuan berjalan sesuai dengan keadaan alam yang berubah secara dinamis.
Pernah mendengar kisah Hasan Al Basri? Pemuda tampan yang tinggal di sekitar Basrah. Jawahirul Bukhori mengisahkan kisah fenomenal Hasan Basri sebagai sosok yang sangat menyukai pakaian-pakaian yang bagus dan berjalan-jalan di tengah kota. Tiba suatu hari ini menemukan seorang gadis yang elok lagi cantik. Hasan bisa melihatnya dari kedua bola matanya yang sangat indah yang memaksa langkah kakinya untuk terus mengikuti si gadis.
Sadar jika ia sedang dibuntuti, si gadis menegur Hasan, ada apakah gerangan Hasan mengikutinya. Spontan Hasan menjawab karena ia sangat tertarik pada matanya. Si gadis memperkenankan Hasan menunggu sejenak sembari nanti ia akan kembali untuk memberikan sesuatu ke pada Hasan. Bukan main senangnya. Apalagi yang akan memberi adalah gadis pujaannya.
Beberapa jam kemudian tibalah perempuan paruh baya menyerahkan sebuah kotak yang tertutup rapat. Pesannya, si gadis tidak bisa memberikan langsung pada Hasan. Innalillahi, setelah dibuka, kotak tersebut ternyata berisikan dua bola mata gadis tadi. Gemetarlah seluruh tubuh hasan dan segera bertobat kepada Allah swt.
Dari cerita tersebut (wallahu a’lam bishshowwab) kita bisa mengambil sebuah pelajaran bahwa sejak dahulu bahwa tubuh perempuan hanya dianggap sebagai objek laki-laki. Kendati itu adalah sebuah keindahan, tetap saja keindahan tersebut tidak dapat diekspresikan secara leluasa sebagaimana laki-laki yang bebas melakukan apa saja yang ia inginkan.
Hasan contohnya, dengan ketampanannya ia bebas menunjukkan kepada siapa saja akan apa yang ia miliki tanpa beban dirinya akan dikenai gejala sexual harassment sebagaimana yang dialami oleh si gadis. Hal ini mungkin bisa kita analisa melalui teori biologis pelecehan seksual seperti yang dikatakan oleh Sandra S. Tangri yang menyatakan bahwa perilaku pelecehan seksual merupakan suatu ekspresi dari kerja hormon-hormon seksual laki-laki dan perempuan.
Laki-laki dipandang memiliki dorongan seksual yang lebih besar sehingga seringkali laki-laki menjahili perempuan. Hasan Al Basri masih terus mengikuti si gadis mata indah tadi contohnya, walaupun tidak secara fisik bersentuhan langsung, akan tetapi ekspresinya menunjukkan pelecehan terhadap perempuan.
Ada apa dengan tubuh perempuan? Bagaimana tanggapan anda ketika melihat perempuan berpakaian minim? Hanya memakai hot pant, rok mini, dan short? Negatif? Tentu saja, karena itulah konstruksi yang diberikan oleh masyarakat patriarkal menanggapi soal tubuh perempuan. Ia harus tertutup dan tidak semua laki-laki boleh memandangnya.
Dalam wacana masyarakat umum, tubuh perempuan dikonstruksikan dengan bentuk pasangan yang berlawanan dengan laki-laki atau oposisi biner (Susilo, 2016). Posisi ini berbanding jauh dengan laki-laki. Ibarat ada istilah utara dan selatan, perempuan diidentikkan dengan posisi lebih di bawah sedangkan laki-laki di posisi atas.
Hal yang paling krusial ditakutkan adalah apabila terjadi pemerkosaan. Perempuan selalu dijadikan sebagai objek sekaligus pelaku dalam tindakan pemerkosaan. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mau tidak mau akhirnya tubuh perempuan dibekap oleh kebudayaan. Ia tidak bebas berekspresi dan mengeksplor kemampuannya dalam membentuk tubuhnya seperti keinginan alam bawah sadarnya sendiri.
Padahal Islam diantaranya sangat menghargai kebebasan berekspresi dan tidak menafikannya. Karena ekspresi muncul sebagai fitrah manusia. Entah itu melalui pemikiran, kebudayaan, seni, dan lainnya tanpa harus tercerabut dari akar ajarannya. Bentuk-bentuk hermeneutika dan estetika Islam menjadi sesuatu yang asing bagi sarjana dan masyarakat kita karena telah ter”Barat”kan (Hadi, 2016).
Nah di sini kita kembali bertanya, budaya kita di Timur kan sudah mengatur bagaimana cara perempuan berpakaian, lalu jika tubuh kita sudah mulai terbuka, apakah kita rela menggeruskan budaya yang sudah tertanam sejak dahulu?
Untuk pertanyaan tersebut, ada baiknya kita berpacu pada mahfudzot seperti yang digaungkan oleh Nahdlatul Ulama (penulis kira relevan) yakni, “Memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.”
Terjadinya kasus pemerkosaan juga yang disalahkan pertama kali adalah tubuh perempuan, bukan mata dan libido laki-laki. Padahal bisa saja perempuan berpakaian minim adalah bentuk kekagumannya terhadap tubuhnya. Tapi karena tubuh lain yang dibentuk sosiokultural menganggap bahwa perempuan itu derajatnya di bawah laki-laki, makanya perempuan tidak punya kuasa terhadap tubuhnya sendiri.
Ini bukan berarti penulis mendorong dan mengharuskan perempuan untuk berpakaian minim. Akan tetapi, penulis ingin menekankan bahwa perempuan mempunyai hak yang sama untuk berekspresi. Yang terpenting adalah baik perempuan maupun laki-laki tidak melupakan 3 adab, yakni adab al makhluq bi ghoyrihi, adab al makhluq bi al kholiq, dan yang tidak kalah penting adab al makhluq bi nafsihi. []