Ulama Perempuan sebagai Puser Bumi

Ulama perempuan adalah sumbu, yang menyalakan kesadaran bahwa tak ada peradaban yang utuh tanpa keadilan bagi perempuan

Puser Bumi

Puser Bumi

Mubadalah.id – Sisa kabut terasa masih menyelimuti Gunung Sembung. Udara sejuk menyelinap pelan, menyejukkan tubuh-tubuh yang siap menapaki ratusan anak tangga menuju Masjid Puser Bumi, Astana Gunung Jati, Cirebon.

Tangga-tangga itu menjulang, menyambungkan bumi yang hiruk dengan puncak yang hening. Setiap pijakan seolah mengajak tubuh untuk bersabar, dan jiwa untuk bertanya, “Sudahkah keadilan benar-benar menjadi rumah bagi perempuan?”

Menapaki anak tangga menjadi bukan sekadar gerak raga, tapi ziarah batin. Jalannya menanjak, cukup berat, dan tak selalu ramah, bagi para nyai, tokoh, maupun ulama perempuan yang telah berusia. Namun, justru di sanalah terletak pelajaran paling dasar dalam memperjuangkan kehidupan yang lebih adil, bagi perempuan, bagi mereka yang dilemahkan oleh kuasa, bagi semesta yang terlalu lama mendiamkan luka.

Tak ada kemewahan berlebih di Masjid Puser Bumi. Hanya saja, memang sangat sarat makna. Tempat ini bukan hanya pusat spiritual, melainkan lambang dari sesuatu yang lebih besar, sebagai pusat kehidupan, poros peradaban, titik mula gerakan.

Ulama Kok Perempuan?

Dalam banyak budaya, istilah “puser bumi” dilabelkan untuk tempat yang menghubungkan langit dan bumi, roh dan jasad, sejarah dan harapan. Dan pada Ahad, 18 Mei 2025, kemarin, tempat ini menjadi saksi kebangkitan yang telah lama dinanti, yakni Deklarasi Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan, oleh Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).

Ratusan nyai dan ulama perempuan dari berbagai penjuru Indonesia mendaki tangga menuju masjid suci tersebut. Mereka naik dan hadir untuk bersaksi, untuk menguatkan ikrar, bahwa perempuan tidak boleh lagi hanya menjadi kaki tangga sejarah, tapi harus kita akui sebagai bagian dari pusatnya, dari puser bumi itu sendiri.

Sudah terlalu banyak perempuan yang hidup dalam diam. Yang suaranya terhapus sebelum sempat tumbuh, yang tubuhnya dianggap bukan miliknya sendiri, yang harapannya terbungkam oleh sistem yang memihak kuasa laki-laki dan menepikan pengalaman perempuan.

Perempuan masih menghadapi pernikahan anak yang dipaksa, kekerasan dalam rumah tangga yang dibungkam atas nama aib, eksploitasi tubuh dalam ruang domestik dan digital. Hingga keterbatasan dalam menentukan pilihan hidup. Dalam banyak kasus, perempuan dijadikan objek, bukan subjek kehidupan. Padahal, mereka menanggung beban paling sunyi dari perang, kemiskinan, bencana, dan moralitas semu.

Di balik sejarah yang terlupakan, sejatinya perempuan pun menyimpan perlawanan. Tak selalu tercatat dalam kitab, tak selalu bergema di mimbar, tapi nyata dalam kehidupan. Di antara mereka banyak yang mengajar tanpa memburu gelar, memimpin tanpa sorotan, dan mencintai tanpa syarat. Dan kini, suara itu tak lagi harus disimpan.

Di Masjid Puser Bumi, para nyai dan ulama perempuan menegaskan bahwa keulamaan bukan milik satu jenis kelamin. Bahwa keadilan adalah nama lain dari keberanian mengakui keilmuan siapa saja yang bertakwa dan berilmu, baik laki-laki maupun perempuan.

Sebagaimana Allah Swt berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (QS. Al-Ḥujurāt: 13)

Rasulullah Muhammad Saw pun bersabda:

إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَال

“Sesungguhnya perempuan adalah saudara kandung laki-laki.” (HR. Abu Dawud)

Sejak zaman Nabi, perempuan telah menjadi rujukan ilmu. Sayyidah Aisyah RA meriwayatkan ribuan hadis, Ummu Darda’ mengajar para qadhi, Fatimah al-Bataihiyyah menjadi guru seorang ulama besar, Imam Suyuthi. Ribuan nama lain terhimpun dalam riwayat dan cerita. Maka, mempertanyakan eksistensi ulama perempuan hari ini adalah bentuk pengingkaran terhadap akar keilmuan Islam itu sendiri.

Turun dan Menyala

Dari puncak Gunung Sembung, para ulama perempuan tidak turun dengan tangan kosong. Mereka membawa pulang api, api ilmu yang membela, yang menolak diam atas ketidakadilan, dan yang menghidupkan kesadaran bahwa Islam tak pernah mengajarkan diskriminasi.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (QS An-Nahl: 90)

Keadilan harus hadir bukan lagi sebagai wacana, tapi lahir dalam bentuk kebijakan yang melindungi perempuan, dalam tafsir yang berpihak pada korban, dalam ruang keagamaan yang memberi tempat kepada suara perempuan, dan dalam gerakan sosial yang menjadikan nyawa perempuan sebagai pusat nilai, bukan sekadar angka statistik.

Di dalam masjid, di bawah semacam pohon jati tua, dan di antara nisan-nisan sunyi, para perempuan pengemban ilmu berdiri tegak. Mereka tidak meminta ruang, mereka menciptakannya. Dengan kitab di tangan dan cinta di benak, mereka merawat kehidupan agar tak lagi timpang sebelah.

Dari Gunung Sembung, mereka menebarkan suara ke ruang tafsir, ke ruang legislatif, ke dapur, ke kelas, ke layar digital, ke ranjang yang sepi, ke ladang yang kering, ke rahim yang dilemahkan. Karena perempuan adalah pusat bumi, dari kehidupan itu sendiri.

Dan ulama perempuan adalah sumbu, yang menyalakan kesadaran bahwa tak ada peradaban yang utuh tanpa keadilan bagi perempuan. Bahwa membela perempuan bukan sekadar kerja aktivisme, tapi kerja keimanan.

Wallahu a’lam bis-shawab. []

 

Exit mobile version