Merangkum dari beragam berita, beberapa wilayah di Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya dilanda banjir beberapa hari belakangan ini. Berdasarkan dara dari Badan nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat tujuh kelurahan di Jakarta yang dilaporkan terendam banjir.
Selain di Jakarta, sejumlah daerah di Bekasi, Tangerang, Tangerang Selatan dan Lebak, juga menjadi area terdampak banjir. Tak hanya merenggut puluhan nyawa yang meninggal, dan harta benda menghilang. Banjir juga menghambat aktivitas serta berimbas pada perekonomian masyarakat Ibu Kota, serta banyak transportasi umum yang terkendala beroperasi.
Lansia, perempuan dan anak-anak, akan menjadi kelompok yang paling rentan menjadi korban bencana. Terutama bagi perempuan yang sedang menstruasi, ibu hamil, ibu baru melahirkan, ibu masih menyusui, serta anak-anak yang masih berusia di bawah lima dan tiga tahun. Tentu tidak hanya sekedar mengucapkan kata “prihatin”, tetapi sebagai wujud kepedulian terhadap sesama, telah banyak dibuka posko bantuan bencana banjir, hingga donasi kemanusiaan.
Salah satu penyebab utama banjir, dilansir dari Liputan6.com, adalah curah hujan yang tinggi sejak 1 Januari 2020. Bahkan BMKG memperkirakan hujan akan terus turun hingga satu minggu ke depan. Sehingga masyarakat dihimbau agar selalu waspada dengan banjir susulan.
Bencana alam seperti banjir yang tengah melanda Jakarta ini, seyogyanya menjadi alarm tanda bahaya bagi kita, bahwa dampak global warming itu nyata. Selain persoalan kondisi alam yang tidak bisa diprediksi, seperti banjir dan longsor, namun ada hal-hal yang masih bisa dilakukan kita sebagai manusia yang diberi amanat sebagai khalifah atau penjaga kelestarian alam.
Sebagaimana yang ditulis oleh Ibu Profesor Doktor Musdah Mulia, MA dalam bukunya “Muslimah Reformis”, bahwa umat Islam hendaknya punya kesadaran untuk menjaga kelestarian alam, yang bahkan sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, pada 14 abad yang lalu.
Ada tiga hal upaya Nabi untuk menjaga kelestarian bumi ini. Pertama, Nabi tercatat melakukan usaha penetapan daerah konservasi dengan menjadikan wilayah Naqi’ sebagai wilayah konservasi. Kebijakan Nabi ini juga diiikuti Khalifah Umar dengan menjadikan Saraf dan Rabazah sebagai daerah konservasi. Gerakan konservasi ini, menurut Musdah Mulia, perlu lebih kuat digemakan agar menjadi kebijakan mainstream dari pemerintah dan para pemangku kebijakan.
Kedua, upaya lain yang dilakukan Nabi adalah mendorong umatnya agar rajin menanam pohon. Mengapa perlu menanam pohon?. Setidaknya ada dua alasan penting. Yakni, pertimbangan manfaat seperti dinyatakan dalam QS. ‘Abasa (80) : 24; 24-32, dan pertimbangan keindahan seperti disebut dalam QS. Al-naml (27): 60.
Ketiga, upaya terakhir tapi tidak kurang pentingnya adalah Nabi melarang umatnya melakukan pencemaran. Khususnya terkait air bersih. Pencemaran ini kerap kali dilakukan oleh para penambang dan industri, yang mengabaikan izin terkait analisis dan dampak lingkungan (amdal).
Maka jika kita mentahbiskan diri sebagai umat Nabi, untuk para pemimpin yang punya peran sebagai pengambil kebijakan terkait lingkungan dan upaya mencegah banjir agar jangan sampai terjadi lagi, setidaknya harus meniru langkah yang telah dilakukan oleh Sang Nabi itu.
Sementara bagi masyarakat, mempraktekkan pola hidup bersih dan sehat, dengan membuang sampah pada tempatnya, mengurangi penggunaan plastik, dan menggunakan air bersih secukupnya, akan menjadi salah satu upaya kita menjadi khalifah, penjaga pelestarian bumi dan seluruh isinya.
Dengan kebijakan pemimpin yang selaras, tepat sasaran dan sesuai anggaran, ditunjang dengan kesadaran masyarakat akan kebersihan, bukan tidak mungkin, mimpi Jakarta dan daerah lainnya, agar terbebas dari banjir akan terrealisasikan. Karena bumi ini bukan hanya milik kita, tetapi kita hanya meminjamnya dari generasi berikut. Maka, sebagaimana Nabi mencontohkannya, jaga dan rawatlah bumi dengan penuh cinta serta kesadaran purna.