Mubadalah.id – Wadon Wadas merupakan perkumpulan perempuan desa Wadas, Purworejo yang tergabung dalam organisasi Gerakan Masyarakat Peduli Alam (Gempa Dewa). Dalam gerakan lingkungan hidup dan gerakan sosial di Indonesia, perempuan dan kelompok muda memiliki andil yang besar. Wadon Wadas melakukan perlawanan terhadap penetapan desa Wadas yang ditetapkan sebagai lokasi penambangan quarry untuk material pembangunan bendungan Bener.
Aktivitas pertambangan dapat mengganggu dan menghancurkan vegetasi-vegetasi yang menjadi ciri khas Wadas. Sejatinya, perempuan di desa Wadas menggantungkan keseharian dan hidupnya dari hasil alam. Misalnya pembuatan gula aren, memanfaatkan aneka tanaman produktif seperti kemukus, durian, mahoni, kopi, kelapa, getah karet, temulawak, petai, dan lainnya. Sehingga air sangat berperan dalam proses tersebut.
Namun, 27 sumber mata air di desa Wadas menjadi terancam apabila penambangan batuan andesit terus dilakukan. Lingkungan yang dirusak secara sengaja merupakan bentuk pelanggaran hak hidup dan hak asasi manusia.
Cerita perjuangan Wadon Wadas, dan pengalaman perempuan untuk memperjuangkan ruang hidup, dan haknya seakan tenggelam dalam advokasi. Narasi-narasi mengenai perempuan harus selalu dimunculkan, karena perempuan adalah subjek perjuangan. Selain itu, keadilan gender merupakan bagian dari perjuangan serta advokasi untuk menciptakan keadilan ekologis di Indonesia.
Perempuan sangat terkait dengan alam. Perempuan punya pengetahuan dan inisiatif yang khas, karena berbicara alam adalah berbicara mengenai kehidupan perempuan. Agenda politik perempuan bukan sekadar elektoral semata, tapi bagaimana perempuan mengambil ruang untuk memperjuangkan hak-haknya.
Sesungguhnya, masyarakat dapat menghalangi perempuan untuk terlibat melakukan perlawanan, karena budaya patriarki yang mengakar. Apa arti kebijakan CEDAW dan PUG yang dihadapkan dengan kebijakan yang masif menghalangi perempuan, seperti UU cilaka dan UU minerba.
Dalam kerja-kerja perempuan pembela HAM, perlu adanya pengakuan dan perlindungan perempuan dalam kebijakan-kebijakan. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) seharusnya dapat mengantisipasi penghancuran lingkungan yang agresif.
Di sisi lain, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang amar putusannya memerintahkan agar menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Tenyata putusan ini tidak diindahkan. Tidak dibenarkan pula penyelenggara negara melakukan pengambilan kebijakan strategis yang dapat berdampak luas dengan mendasarkan pada norma UU Nomor 11 Tahun 2020 yang secara formal telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat.
Perlawanan Wadon Wadas yang sesungguhnya dan perlu didukung adalah konsolidasi yang ada di akar rumput. Hal tersebut bisa menjadi gerakan politik. Bukan hanya proses hukum, tapi perlawanan untuk melawan proyek atau protes. Sehingga politik patriarkis dan eksploitatif yang merugikan perempuan dapat dihindari, baik didorong dari sistem negara maupun sistem dalam gerakan.
Wadon Wadas hadir dalam memperjuangkan lingkungan, tidak akan pernah seutuhnya apabila tidak ada keadilan. Nilai dasar yang dipegang adalah meletakkan nilai demokrasi maupun HAM. Kerusakan lingkungan yang terjadi dapat mengakibatkan eksploitasi yang merusak kehidupan perempuan maupun masyarakat adat.
Praktik korporasi hitam adalah sokongan dari negera, seperti fakta tak terbantahkan, penggusuran rakyat, perampasan hak hidup perempuan ada peran dan tanggung jawab negara didalamnya.
Dalam banyak kasus dan cerita seringkali dikarenakan identitas perempuan. Kasus-kasus tertentu seperti tidak sekolah, tinggal di kampung, kelas nelayan, kelas petani, identitas anak dari aktifis lingkungan atau janda, maka potensi diskriminasi yang mereka terima akan luar biasa. Perempuan mengalami kekhasan tertentu akibat identitas yang dimilikinya.
Sebenarnya, ancaman adalah kekuatan untuk perlawanan. Kriminalisasi perempuan pejuang lingkungan bisa dapat berupa dikucilkan, dihadang, hingga pengetahuan pengalaman dihilangkan. Perempuan dalam memperjuangkan lingkungan tidak mudah, karena identitias yang dialami maupun seksual yang sering direndahkan dalam perjuangan.
Setiap pembangunan diharapkan memiliki sifat yang berkelanjutan, ramah perempuan dan tidak meminggirkan kelompok-kelompok tertentu. Selama pembangunan di Indonesia masih berwajah maskulin, seruan Wadon Wadas “Tanah adalah daging, air adalah darah, dan batu adalah tulang,” benar adanya.
Suara perempuan Wadon Wadas bukan saatnya untuk disangkal, karena mempertahankan ruang hidup adalah perjuangan hak asasi manusia dan juga merupakan hak perempuan. Dengan adanya perlawanan perempuan-perempuan di desa Wadas, diharapkan perempuan lain di luar sana terdorong untuk melakukan agenda politik perempuan dalam perjuangan perlindungan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam. []