Tidak terasa, hampir dua bulan kita menjalankan kehidupan stay at home. Hampir semua kegiatan yang melibatkan banyak orang dialih dengan kegiatan secara online. Bagi sebagian orang hal ini menyenangkan, bisa mengakses informasi dengan sangat luas. Serta bisa bertemu dengan banyak orang yang secara birokrasi sangat sulit di jangkau. Namun, selama dua bulan terakhir kita cukup dibuat lelah dengan isi media.
Sebelum membahas media lebih jauh, kita perlu menyepakati dua hal yaitu media sosial dan media massa. Media sosial menjadi komponen penting ketika berbicara tentang media. Setelah kita menyepakati hal tersebut, kita perlu mengupas satu persatu terkait apa yang terjadi di dua hal tersebut. Sebab, media sosial dan media massa tanpa disadari menjadi transfer pengetahuan yang didapat oleh manusia.
Hal yang pertama kita bahas tentang media massa. Jauh sebelum Indonesia dilanda covid-19, media massa sudah banyak menceritakan tentang covid-19. Terutama cerita-cerita dan angka masyarakat yang mengalami covid-19. Setelah China selesai, lalu berlanjut pemberitaan menyorot bagaimana hebatnya Korea Selatan menangani pandemik ini.
Sejumlah negara dikabarkan mewalahan dalam upaya penanganan ini. Bahkan, Amerika Serikat pun terus menuding China jika virus covid-19 pun berasal dari laboraturium Wuhan. Anggaran WHO pun dipangkas oleh AS ketika pandemik ini tidak mereda di negara Paman Sam tersebut.
Masuk ke Indonesia, pasien pertama yang mengalami covid-19 membuat geger sejumlah pihak. Di saat yang bersamaan, media massa hanya mengabarkan angka positif dan angka kematian yang terus meningkat. Sejumlah penelitian pun diangkat, ternyata bukan menjadi pelipur ketakutan masyarakat di tengah pandemik. Hal tersebut malah membuat ketakutan. Belum lagi cerita sejumlah orang yang kehilangan pekerjaan karena covid-19.
Cerita kepala daerah yang ngotot untuk lockdown pun menjadi warna tersendiri di media massa. Gagalnya Kartu Pra-Pekerja untuk menjawab sejumlah masyarakat yang menganggur pun menjadi kabar suram di media. Mulai dari negeri sendiri hingga seantero dunia, bagi saya media massa malah menambah kebingungan dan ketakutan di masyarakat.
Hanya sedikit bahkan bisa dihitung jari bagimana berita positif dari covid-19 yang dapat meredam keresahan, kebingungan dan ketakutan di masyarakat. Puncaknya, ketika seorang pemulung meninggal dunia karena hanya meminum air putih saja. Serta sejumlah masyarakat yang terpaksa harus tidur di pinggir jalan karena kehilangan rumah kontrakan dan kostan.
Selanjutnya, hal yang sama pun terjadi di sosial media. Di awal pandemik misalkan, kita melihat silang pendapat dari kelompok yang pro-lockdown dan kontra-lockdown. Lalu, sejumlah masyarakat pun menyatakan kekecewaannya terhadap sikap dan tindakan dari pemerintah yang dianggap kurang tepat dalam penanganan covid-19. Meminjam Kalimat Gus Candra Malik, ini menunjukkan bahwa ada sejumlah kelompok yang sangat serius bersosial media. Hingga kita bisa melihat banyak orang bertikai di sosial media.
Dengan catatan ini, saya pribadi menarik kesimpulan jika media massa dan media sosial malah semakin menambah keresahan sejumlah masyarakat. Narasi positif, baik media sosial dan media massa pun tidak diangkat. Pada akhirnya dari dua hal ini, sebagian masyarakat melakukan hal-hal di luar akal sehat. Menyatakan jika covid-19 ini merupakan sebuah konspirasi. Imbas yang paling gila adalah kampanye untuk mematikan televisi dan tidak membaca berita pun diangkat beberapa hari belakangan ini.
Penulis menganalisis, kondisi tersebut merupakan sebuah sikap frustasi di tengah keadaan yang tidak pasti. Serta harapan untuk bisa menjalani kehidupan yang baik-baik saja. Diakui, ketika pemberitaan negative terus diproduksi otak kita akan terus mengalami ketakutan. Ini menjadi hal yang tidak baik bagi kesehatan mental kita semua.
Di sisi lain, ketika melakukan tindakan mematikan televisi dan menolak membaca berita, kita malah diseret hanya untuk menyakini apa yang ada di sosial media. Sedangkan, sosial media sendiri tidak jarang menampilkan sejumlah kabar hoax. Bahkan, informasi yang didapat di sosial media dalam hitungan detik saja. Mengalakan produksi agenda-agenda jurnalistik yang menampilkan fakta di lapangan.
Pada akhirnya, melihat keadaan ini kita harus tetap membaca berita dan informasi di media sosial. Dengan catatan, kita perlu menyaring beberapa berita yang kita baca. Mungkin tidak setiap waktu kita harus membaca berita. Namun, kita perlu membuat jadwal kapan kita akan membaca berita dan berita apa saja yang perlu dibahas. Bagaimana pun juga, berita akan membawa kita melihat keadaan yang lebih luas.
Hal lainnya yang bisa kita lakukan adalah dengan menuliskan hal-hal positif di sekitar kita selama pandemic. Jika mampu, kita menggalang banyak orang untuk bisa menceritakan dan menuliskan hal-hal positif selama covid-19. Keadaan ini untuk meredam sejumlah ketakutan, keresahan dan kebingungan kita di tengah pandemic yang kita sendiri tidak tahu kapan akan berakhir. []