“Kita nanem pohon. Ternyata dari pohon itu kita melahirkan budaya kayu bakar. Akhirnya menghasilkan budaya tungku, berkumpul, makan-makan bersama…”
Mubadalah.id – Itu perkataan Ummi Nissa yang berkisah di film dokumenter “Terpejam untuk Melihat” (2024) produksi Anatman Pictures. Keping budaya tungku itu mungkin sudah lenyap di kehidupan sehari-hari kita, terutama di area urban. Dan itu hanyalah salah satunya.
Berbeda dari dokumenter sebelumnya tentang pandemi, Diam dan Dengarkan (2020), kali ini Mahatma Putra selaku sutradara tidak banyak bermain di wilayah keterangan para pakar-akademis. Dokumenter ini menjangkau ke wilayah yang lebih pelosok secara batin, dan karenanya, terasa subtil sekaligus menyentuh.
Harmoni: Kemenyatuan yang Hilang
Di luar isu pemilu, anasir paling mengemuka dalam film dokumenter “Terpejam untuk Melihat” ini di mata saya adalah relasi kesalingan yang kini kikis. Kemenyatuan manusia dengan alam sekitarnya (interconnectedness) bukan hanya renggang, melainkan semakin menjauh.
Alam menyediakan begitu banyak bagi kita, namun kita tak memberi apa-apa kecuali kerusakan. Lewat industrialisasi, kapitalisme tanpa rem, dan sistem kompleks abad modern yang semakin berjarak dan membokongi lingkungan, kita menggerus ibu bumi tanpa terbersit sedikit pun kesadaran bahwa itu sama saja bunuh diri.
Padahal, jika bercermin ke masa dahulu, hidup begitu sederhana. Manusia bercocok-tanam, beternak, menjaga hutan dan memakan hasil dari semua berkah alam tersebut. Tanpa uang, tanpa karier, manusia dapat hidup di masa itu. Tak ada definisi sukses dalam pengertian yang dangkal seperti sekarang. Di film inilah sosok-sosok dari “pinggiran sejarah” sedang menyampaikan kisahnya.
Bahwa semiskin apa pun seseorang, tetapi jika secara sandang, pangan, papan, dan kebutuhan ekologis, serta kebutuhan manusia semua terpenuhi tanpa harus saling menghilangkan, otomatis ia adalah orang kaya. Realita terkini adalah sebaliknya: mereka (orang-orang desa terutama petani) justru bercocok tanam untuk dijual, lantas mendapat uang untuk membeli seabrek kebutuhan tadi. Sebuah potret muram mengingat kondisi negeri kita yang banyak masyarakatnya masih belum sejahtera–padahal negeri ini konon gemah ripah loh jinawi titi tentrem kerto raharjo.
Kebebasan Personal
Sedang di masa sekarang, orang sukses adalah orang kaya, bukan orang yang menikmati hidup. Repotnya, dengan sistem rakus, canggihnya kapitalisme dan cara pandang kesuksesan dangkal semacam itu justru ikut merembes ke batang otak kita semua. Dan kondisi itu yang digugat secara santai sambil rebahan di hammock (ranjang gantung) oleh santri di film ini.
Ia membagikan sudut pandang pada kita: “Sempat berpikir kayak, apakah dengan tidak melakukan apa-apa seperti ini, apakah berguna bagi alam semesta? Justru dengan tidak melakukan apa-apa.” Hammock-nya masih bergoyang, dan ia menjelaskan setengah berbisik, “Aku menyerap oksigen, pohon menyerap karbon dioksida dari aku….”
Adegan dan narasi tersebut mirip dengan gagasan yang netas jauh di utara sana, di negeri Cina sekitar tiga abad sebelum Masehi.
Adalah Filsuf Zhuangzi (369-286 SM), dia yang menganjurkan hidup untuk kebebasan personal, dengan imajinasi luas, mengelanai kehidupan mirip seorang anarkis yang menempuh jalan di luar sistem. Sebuah warisan ide yang, dalam film ini, menubuh di sosok berikut.
Yang Mentalak Sistem
Namanya Maharlikha. Seusai merantau bekerja di ibu kota, ia pulang kampung. Mengurus kebun, merambah hutan dan hidup tanpa uang! Sebut saja sosok ‘ekstremis’. Ia mentalak sistem ekonomi dan negara dengan cara paling privat tetapi keras. Anarko sejati: sosok yang, diam-diam, saya cemburu padanya.
Menonton Maharlikha, tampak ada semacam rasa iri purbawi dalam diri saya. Ingin juga menjalani keputusan sedramatis itu: hidup bergantung alam sekitar, tanpa uang, makan dari tetumbuhan, binatang ternak, memasak telur dengan kayu bakar dan tembikar genteng, juga tanpa karier dalam definisi sempit dan cekak.
Maharlikha adalah sosok yang mungkin kita cibir di mulut, namun diam-diam kita kagumi di batin. Lebih karena keberaniannya memutuskan jerat-jerat yang membelenggunya–jerat yang sama dengan yang membelenggu kita semua: administrasi, politik, negara, ras, identitas-identitas, karier, profesionalisme, uang, kapitalisme, pendidikan gaya bank, dan mitos-mitos kemajuan.
Maharlikha adalah percik kecil tetapi menonjol dari sekian populasi yang melakoni sejenis “atavisme” (gejala pembalikan, jalan hidup mundur, menenek-moyang). Dan ia sendiri memperjelasnya secara eksplisit di film ini.
Ide tentang Kebahagiaan
Di situ, saya semakin terbujuk-rayu, dan mengakui bahwa orang kuno lebih berbakat bahagia ketimbang manusia modern. Aristoteles, orang yang sempat dianggap manusia tercerdas yang pernah dilahirkan, dulu mengenalkan ide tentang kebahagiaan: eudamonia. Sebuah rasa bahagia yang hulunya dari kepuasan intelektual.
Gawatnya, bagi filsuf satu ini, kebahagiaan jenis itu bersifat kepala-sentris (rasional) dan skolastik. Ia gersang. Tak melipur dahaga batiniah seseorang. Saya menjadi gamang, jangan-jangan pencapaian secanggih apa pun di abad ini, hanya ibarat memukul-mukul udara: selihai bagaimana pun jurus silatmu, yang tumbang adalah engkau sendiri.
Menonton jalan hidup Maharlikha, seperti saat bermain dengan daun pisang dan ayam-ayam kecil itu, saya melihat dirinya seakan menerjemahkan secara praksis ajaran kebahagiaan lawas dari Zhuangzi: seni menghargai yang (dianggap) tak berguna. Sebuah kebijaksanaan kuno yang hari ini mulai pudar, bahkan terlupakan.
Lalu musik menyihir merasuk kembali. Bait-bait puisi tersepuh suara Nadine sebagai narator, yang separuh berbisik, menyeka kecemasan kita:
aku masih ingat saat kau masih segumpal awan putih
melayang bebas
saat aku pun masih sungai yang
menelusuri aliranku menuju laut lepas
kau lalu memanggilku,
menggenggam tanganku
dan kemudian kita bersama…
berjuang membuat badai
yang menggelegar.
bagaimana kita tidak berjuang
sementara bunga-bunga liar dan gunung merintih
karena pedih ketidakadilan.*
_________
Notes: film dokumenter ini tayang gratis di kanal YouTube Anatman Pictures, dan silakan tonton di sini.