• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Yang Hilang dari Hidup Kita: Dokumenter Terpejam untuk Melihat (2024)

Kemenyatuan manusia dengan alam sekitarnya (interconnectedness) bukan hanya renggang, melainkan semakin menjauh

M. Naufal Waliyuddin M. Naufal Waliyuddin
20/04/2024
in Film, Rekomendasi
0
Terpejam Untuk Melihat

Terpejam Untuk Melihat

798
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Kita nanem pohon. Ternyata dari pohon itu kita melahirkan budaya kayu bakar. Akhirnya menghasilkan budaya tungku, berkumpul, makan-makan bersama…”

Mubadalah.id – Itu perkataan Ummi Nissa yang berkisah di film dokumenter “Terpejam untuk Melihat” (2024) produksi Anatman Pictures. Keping budaya tungku itu mungkin sudah lenyap di kehidupan sehari-hari kita, terutama di area urban. Dan itu hanyalah salah satunya.

Berbeda dari dokumenter sebelumnya tentang pandemi, Diam dan Dengarkan (2020), kali ini Mahatma Putra selaku sutradara tidak banyak bermain di wilayah keterangan para pakar-akademis. Dokumenter ini menjangkau ke wilayah yang lebih pelosok secara batin, dan karenanya, terasa subtil sekaligus menyentuh.

Harmoni: Kemenyatuan yang Hilang

Di luar isu pemilu, anasir paling mengemuka dalam film dokumenter “Terpejam untuk Melihat” ini di mata saya adalah relasi kesalingan yang kini kikis. Kemenyatuan manusia dengan alam sekitarnya (interconnectedness) bukan hanya renggang, melainkan semakin menjauh.

Alam menyediakan begitu banyak bagi kita, namun kita tak memberi apa-apa kecuali kerusakan. Lewat industrialisasi, kapitalisme tanpa rem, dan sistem kompleks abad modern yang semakin berjarak dan membokongi lingkungan, kita menggerus ibu bumi tanpa terbersit sedikit pun kesadaran bahwa itu sama saja bunuh diri.

Padahal, jika bercermin ke masa dahulu, hidup begitu sederhana. Manusia bercocok-tanam, beternak, menjaga hutan dan memakan hasil dari semua berkah alam tersebut. Tanpa uang, tanpa karier, manusia dapat hidup di masa itu. Tak ada definisi sukses dalam pengertian yang dangkal seperti sekarang. Di film inilah sosok-sosok dari “pinggiran sejarah” sedang menyampaikan kisahnya.

Baca Juga:

Peran Negara Dalam Pelestarian Lingkungan Hidup

Film Indonesia Menjadi Potret Wajah Bangsa dalam Menjaga Tradisi Lokal

Jangan Rusak Lingkungan!

Pesan Al-Qur’an: Jangan Merusak Lingkungan

Bahwa semiskin apa pun seseorang, tetapi jika secara sandang, pangan, papan, dan kebutuhan ekologis, serta kebutuhan manusia semua terpenuhi tanpa harus saling menghilangkan, otomatis ia adalah orang kaya. Realita terkini adalah sebaliknya: mereka (orang-orang desa terutama petani) justru bercocok tanam untuk dijual, lantas mendapat uang untuk membeli seabrek kebutuhan tadi. Sebuah potret muram mengingat kondisi negeri kita yang banyak masyarakatnya masih belum sejahtera–padahal negeri ini konon gemah ripah loh jinawi titi tentrem kerto raharjo.

Kebebasan Personal

Sedang di masa sekarang, orang sukses adalah orang kaya, bukan orang yang menikmati hidup. Repotnya, dengan sistem rakus, canggihnya kapitalisme dan cara pandang kesuksesan dangkal semacam itu justru ikut merembes ke batang otak kita semua. Dan kondisi itu yang digugat secara santai sambil rebahan di hammock (ranjang gantung) oleh santri di film ini.

Ia membagikan sudut pandang pada kita: “Sempat berpikir kayak, apakah dengan tidak melakukan apa-apa seperti ini, apakah berguna bagi alam semesta? Justru dengan tidak melakukan apa-apa.” Hammock-nya masih bergoyang, dan ia menjelaskan setengah berbisik, “Aku menyerap oksigen, pohon menyerap karbon dioksida dari aku….”

Adegan dan narasi tersebut mirip dengan gagasan yang netas jauh di utara sana, di negeri Cina sekitar tiga abad sebelum Masehi.

Adalah Filsuf Zhuangzi (369-286 SM), dia yang menganjurkan hidup untuk kebebasan personal, dengan imajinasi luas, mengelanai kehidupan mirip seorang anarkis yang menempuh jalan di luar sistem. Sebuah warisan ide yang, dalam film ini, menubuh di sosok berikut.

Yang Mentalak Sistem

Namanya Maharlikha. Seusai merantau bekerja di ibu kota, ia pulang kampung. Mengurus kebun, merambah hutan dan hidup tanpa uang! Sebut saja sosok ‘ekstremis’. Ia mentalak sistem ekonomi dan negara dengan cara paling privat tetapi keras. Anarko sejati: sosok yang, diam-diam, saya cemburu padanya.

Menonton Maharlikha, tampak ada semacam rasa iri purbawi dalam diri saya. Ingin juga menjalani keputusan sedramatis itu: hidup bergantung alam sekitar, tanpa uang, makan dari tetumbuhan, binatang ternak, memasak telur dengan kayu bakar dan tembikar genteng, juga tanpa karier dalam definisi sempit dan cekak.

Maharlikha adalah sosok yang mungkin kita cibir di mulut, namun diam-diam kita kagumi di batin. Lebih karena keberaniannya memutuskan jerat-jerat yang membelenggunya–jerat yang sama dengan yang membelenggu kita semua: administrasi, politik, negara, ras, identitas-identitas, karier, profesionalisme, uang, kapitalisme, pendidikan gaya bank, dan mitos-mitos kemajuan.

Maharlikha adalah percik kecil tetapi menonjol dari sekian populasi yang melakoni sejenis “atavisme” (gejala pembalikan, jalan hidup mundur, menenek-moyang). Dan ia sendiri memperjelasnya secara eksplisit di film ini.

Ide tentang Kebahagiaan

Di situ, saya semakin terbujuk-rayu, dan mengakui bahwa orang kuno lebih berbakat bahagia ketimbang manusia modern. Aristoteles, orang yang sempat dianggap manusia tercerdas yang pernah dilahirkan, dulu mengenalkan ide tentang kebahagiaan: eudamonia. Sebuah rasa bahagia yang hulunya dari kepuasan intelektual.

Gawatnya, bagi filsuf satu ini, kebahagiaan jenis itu bersifat kepala-sentris (rasional) dan skolastik. Ia gersang. Tak melipur dahaga batiniah seseorang. Saya menjadi gamang, jangan-jangan pencapaian secanggih apa pun di abad ini, hanya ibarat memukul-mukul udara: selihai bagaimana pun jurus silatmu, yang tumbang adalah engkau sendiri.

Menonton jalan hidup Maharlikha, seperti saat bermain dengan daun pisang dan ayam-ayam kecil itu, saya melihat dirinya seakan menerjemahkan secara praksis ajaran kebahagiaan lawas dari Zhuangzi: seni menghargai yang (dianggap) tak berguna. Sebuah kebijaksanaan kuno yang hari ini mulai pudar, bahkan terlupakan.

Lalu musik menyihir merasuk kembali. Bait-bait puisi tersepuh suara Nadine sebagai narator, yang separuh berbisik, menyeka kecemasan kita:

aku masih ingat saat kau masih segumpal awan putih

melayang bebas

saat aku pun masih sungai yang

menelusuri aliranku menuju laut lepas

kau lalu memanggilku,

menggenggam tanganku

dan kemudian kita bersama…

berjuang membuat badai

yang menggelegar.

bagaimana kita tidak berjuang

sementara bunga-bunga liar dan gunung merintih

karena pedih ketidakadilan.*

_________

Notes: film dokumenter ini tayang gratis di kanal YouTube Anatman Pictures, dan silakan tonton di sini.

Tags: BudayaEkologiFilmfilm dokumenterharmoniLingkunganpolitikRekomendasiRelasi Manusia dan AlamRenunganResensi Film
M. Naufal Waliyuddin

M. Naufal Waliyuddin

Redaktur metafor.id. Peneliti swadaya seputar generasi muda dan sosial keagamaan. Alumni Tasawuf Psikoterapi dan Interdisciplinary Islamic Studies. Pegiat literasi dan seni yang kerap menulis dengan nama pena Madno Wanakuncoro.

Terkait Posts

Bangga Punya Ulama Perempuan

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

20 Mei 2025
Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Perempuan Fitnah

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version