Mubadalah.id – Relasi pernikahan adalah salah satu hubungan paling sakral yang dimiliki oleh sepasang manusia berbeda jenis kelamin. Ia menjadi satu lembaga sosio-religi yang dapat mengubah sesuatu yang haram menurut agama dan tabu menurut sosial, menjadi hal yang direstui bahkan dibanggakan dan bernilai pahala.
Oleh karena itu, agama maupun kultur memiliki aturan tersendiri untuk prosesi satu ini. Agama melalui hukum-hukum yang mengatur dan kehidupan sosial dengan adat dan budayanya. Tak lain untuk mengatur lalu mewujudkan pernikahan yang berkah, nyaman dan bahagia membahagiakan.
Salah satu poin pendukung pernikahan yang juga syariat atur, dan secara praktis ada dalam masyarakat –hampir di manapun– adalah apa yang disebut dengan kafaah. Istilah yang sering terpakai oleh masyarakat adalah pernikahan sekufu. Sebuah konsep yang bagi masyarakat jawa, kita terjemahkan lebih sederhana lagi dengan 3B: bibit, bebet dan bobot.
Pernikahan Sekufu dalam Kajian Fikih
Kafaah atau sekufu dalam fikih kita definisikan dengan dua kata sederhana namun sarat makna: ta’adul (kesamaan; keadilan) dan tasawi (keseimbangan). Lebih luas lagi, ia adalah kriteria-kriteria tertentu yang ketika tidak terpenuhi dapat berkonsekuensi pada adanya cela.
Entah itu pada pasangan atau hubungan pernikahan itu sendiri. (baca: hasyiyah Bujairami, juz 3: 351). Oleh karena itu, kriteria antar calon pasangan idealnya tidak hanya sama (adil) saja namun juga seimbang (sawa’) agar pernikahan yang terlaksana dapat terwujud dengan lebih baik.
Dalam kajian fikih, kafaah atau sekufu memang tidak menjadi satu syarat keabsahan nikah. Namun ia menjadi hak bagi perempuan yang masih mutlak dalam tanggung jawab orang tuanya (baca: gadis) untuk menentukan laki-laki seperti apa yang bisa menikahinya.
Kafaah bisa menjadi rem pengontrol bagi orang tua agar tidak mudah memaksakan sebuah pernikahan kepada anak perempuan hanya berdasarkan kecenderungan tertentu tanpa mempertimbangkan suara perempuan itu sendiri.
Perbedaan Pendapat Makna Sekufu
Ulama berbeda pendapat mengenai kriteria apa saja yang dapat menjadi pertimbangan kafaah. Kriteria ulama Malikiyah ada dua: agama dan kondisi normal (sehat dan tidak memiliki cacat yang dapat merugikan dalam pernikahan). Sementara menurut jumhur adalah agama, keturunan, status perbudakan, pekerjaan dan harta.
Menarik adalah kriteria yang Dr. Wahbah Zuhaili sampaikan yang secara progresif melepaskan diri dari poin-poin yang telah disebutkan oleh para ulama pendahulu. Menurut beliau, poin-poin kafaah di atas dirumuskan berdasarkan situasi dan kondisi kehidupan sosial yang ada pada saat itu.
Oleh karena itu, alangkah baiknya jika kriteria kafaah saat ini juga kita sesuaikan dengan kondisi sosial saat ini. Cukup kitaambil poin inti bahwa apapun yang dapat menurunkan tingkat kehormatan seorang perempuan dan walinya, maka hal itu dapat menjadi kriteria kafaah pula.
Kenyataannya, banyak masalah pernikahan yang terjadi di lapangan. Meskipun mungkin terpicu oleh banyak faktor. Namun tak dapat kita pungkiri bahwa sebagian penyebabnya adalah kriteria kafaah ini. Banyak pernikahan yang gagal, karena kedua belah pihak tidak mampu menjembatani perbedaan yang terentang terlalu jauh.
Di sini penulis sadar, bahwa apa yang sudah menjadi ketetapan syariat serta telah berlaku umum di masyarakat pasti memiliki hikmah besar di baliknya. Memenuhi rasa penasaran, kira-kira apa hikmah dari pernikahan sekufu dan syariat kafaah ini? Berikut penulis rangkum sedikit hasil penelusuran penulis dari sejumlah kitab klasik.
Saling Menjaga Kehormatan Pasangan
Pasangan yang menikah dengan kriteria agama dan sosial setara, besar kemungkinan akan lebih mudah untuk saling mengerti. Tahap berikutnya akan muncul sikap menghargai. Tak lain karena masing-masing pihak tahu dan mengerti bagaimana cara bersikap, berpikir dan bertindak pasangannya. Beda halnya dengan mereka yang memiliki ketimpangan kriteria. Maka salah satu pihak rentan merendahkan dan tidak menghargai pasangannya yang lebih rendah dari diri dia..
Lebih Mudah untuk Saling Membahagiakan
Bukankah bahagia itu terletak dalam hati? Betul. Namun tindakan yang tepat dilakukan oleh seseorang, akan mendatangkan kebahagiaan pada hati. Namun sayangnya, tak semua orang bisa mewujudkan kebahagiaan semua orang. Begitu pula dalam pernikahan. Misal, berbelanja hal-hal mewah dan indah bagi sebagian mereka adalah satu kebahagiaan yang diinginkan.
Sementara kebersamaan meski dalam hal sederhana, bagi mereka yang lain jauh lebih penting. Oleh karena itu, kriteria sekufu menjadi penting kemudian karena mereka yang berasal dari ruang kehidupan yang setara, akan lebih mudah untuk saling memahami untuk saling membahagiakan.
Mengukuhkan Fondasi Keluarga
Konflik karena perbedaan sudut pandang, kemampuan finansial hingga tingkat keilmuan rentan terjadi jika pasangan yang menikah tidak setara. Walaupun mungkin untuk saling memahami, namun perbedaan yang ada tetap mungkin menjadi poin pemecah. Oleh karena itu, tanpa kita sadari, dengan memilih pasangan yang dari segi hal-hal zahir setara dengan kita, akan menghindarkan kita dari konflik karena berbeda kepentingan.
Mempertahankan Kepercayaan Diri
Tak jarang pada pasangan yang timpang kondisinya, pihak yang ada di bawah akan merasa rendah diri. Terlebih jika dalam urusan finansial, maka dia akan rentan merasa menumpang, menjadi benalu dan sebagainya. Sementara yang berada di atas, merasa berhak untuk menguasai, alih-alih saling memiliki.
Selain itu, dalam urusan pendidikan misalnya. Pihak yang merasa lebih baik, akan cenderung mengabaikan pendapat dan suara pasangannya dengan beralasan lebih tahu dan sebagainya. Oleh karena itu, pilihan untuk berpasangan dengan yang setara akan lebih mungkin untuk mempertahankan kepercayaan diri serta bisa menjunjung tinggi nilai musyawarah dalam setiap keputusan. Allahu A’lam. []