Mubadalah.id – Sebagai orang yang lahir dan beraktivitas di tengah hiruk pikuk kota metropolitan, saya tidak terlalu mengenal istilah hutan adat. Tetapi setelah pertemuan yang ketiga kalinya dengan Jaisa.
Dia adalah seorang changemaker yang lahir di To’ Cemba Enrekang, Sulawesi Selatan yang juga merupakan Ketua Pengurus Harian Daerah PEREMPUAN AMAN (Persekutuan Perempuan Adat Nusantara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Massenrempulu periode 2021-2026.
Akhirnya saya mengerti mengapa hutan adat perlu dikelola oleh masyarakat adat.
Berikut adalah 5 alasan hutan adat perlu terkelola oleh masyarakat adat dan stakeholder terkait yang perlu kita ketahui bersama:
Dua Sisi Mata Uang
Alasan yang pertama, bagi Jaisa, hutan adat dengan masyarakat adat adalah bak dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisahkan. Tidak sekadar sumber oksigen, tetapi hutan adat bagi masyarakat adat adalah keseimbangan ekosistem dan sumber kehidupan yang berkelanjutan untuk antar generasi. Oleh sebab itu, pengelolaannya pun perlu kita lakukan secara bijak sesuai dengan kearifan lokal masyarakat adat sesuai hukum adat yang berlaku.
Jaisa berkisah, jika hutan adat tidak terkelola sesuai dengan perencanaan tata kelola wilayah adat, maka hal tersebut dapat menimbulkan kerusakan dan bencana alam. Hal ini karena hutan tersebut seharusnya kita tanami pepohonan guna mencegah banjir dan terjadinya longsor.
Meminimalisir Kerusakan Ekosistem Hutan dan Lingkungan Sekitar
Kedua, saat saya mengunjungi Jaisa dalam rangka SICI Media Fellowship mewakili Mubadalah.id yang Ashoka Indonesia dan Eco Bhinneka adakan. Jaisa berkata bahwa banyak kerusakan yang terjadi manakala hutan adat tidak terkelola dengan baik oleh masyarakat adat.
Pernah ada kejadian, saat hutan adat belum masyarakat adat kelola, hutan tersebut mereka tanami pohon pinus yang getahnya diambil dan diolah oleh sebuah perusahaan. Namun sayangnya, aktivitas ekonomi ini justru merusak ekosistem hutan. Banyak pepohonan yang rusak akibat penyadapan getah yang masif dan tidak sesuai dengan aturan penyadapan yang baik.
Beruntungnya setelah adanya surat keputusan atau SK hutan adat yang masyarakat adat dapatkan. Akhirnya hutan tersebut dapat masyarakat adat kembalikan pengelolaannya. Namun karena kontrak masih berlangsung, masyarakat pun meneruskan hingga kontrak usai.
Untuk menjaga keseimbangan alam di hutan tersebut, setelah kontrak usai, masyarakat adat setempat tidak memperpanjang kontrak dengan perusahaan. Mereka melakukan pemulihan pohon yang rusak dan tumbang untuk menjaga hutan. Masyarakat adat secara perlahan mengganti pohon-pohon yang rusak dan tumbang dengan pohon lokal dan tanaman produktif lainnya seperti pohon durian, alpukat, kopi, cengkeh dan sejenisnya.
Berbicara tentang SK hutan adat dan masyarakat adat sendiri prosesnya tidak mudah. Lulusan Fakultas Pertanian UGM ini tergerak menjadi volunteer AMAN pada tahun 2013. Alasannya karena merasa terpanggil untuk menjaga kearifan lokal dan wilayah daerahnya ini.
Selain itu ia juga bercerita bahwa sebelum adanya SK Hutan Adat dan SK Pengakuan Masyarakat Adat, banyak masyarakat yang terkriminalisasi. Penyebabya, karena dianggap merambah hutan saat mengambil ranting di kawasan hutan. Di mana saat itu belum negara kembalikan sebagai hutan adat.
Penetapan Hukum Hutan Adat
Namun berkat bantuan pendokumentasian wilayah adat, sosialisasi, pemberdayaan, pendampingan, serta advokasi yang AMAN dan sayap organisasinya yaitu PEREMPUAN AMAN lakukan. Terutama dalam penyelesaian problem masyarakat adat terkait masalah tenurial ini berlandaskan beberapa peluang regulasi. Yaitu UUD 1945 Pasal 18 B (ayat 2), dan Pasal 28 I (ayat 3).
Gugatan Judicial Review terhadap UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 yang dimenangkan lewat MK dengan putasan No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan. Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutan RI Nomor 21/Menlhk – Setjen/2015 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak.
Komitmen politik Presiden Joko Widodo terhadap penetapan hukum adat dengan target luasan pembangunan kehutanan nasional untuk hutan masyarakat minimal seluas 12,7 juta Ha. Akhirnya hutan adat negara kembalikan ke masyarakat adat untuk terkelola dan dimanfaatkan secara berkeadilan dan berkelanjutan melalui berbagai regulasi yaitu:
Perda Kabupaten Enrekang No. 1 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Enrekang. SK Bupati Enrekang tentang Pengakuan Terhadap Masyakarakat Hukum Adat sebagai Subyek Hukum.
Lalu, SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Penetapan dan Pencantuman Hutan Adat Kepada Masyarakat Hukum Adat.
Di wilayah Enrekang Sulawesi Selatan, wilayah kerja PEREMPUAN AMAN yang Jaisa pimpin, saat ini sudah ada 10 komunitas masyarakat adat yang terakui dari 23 komunitas anggota AMAN, dan 7 SK hutan adat. Yaitu hutan adat Pasang, Labuku, Marena, Tondon, Orong, Uru, dan Tangsa.
Hasil Hutan Menjadi Bernilai Lebih Tinggi dan Bermanfaat
Selanjutnya alasan yang ketiga hutan adat perlu masyarakat adat kelola adalah hasil hutan adat menjadi bernilai lebih tinggi, karena terolah menjadi produk jadi. Sebagai PEREMPUAN AMAN yang juga anggota masyarakat adat setempat, Jaisa menggerakkan masyarakat adat khususnya perempuan adat untuk mengelola dan mengolah biji kopi serta potensi sumber daya lainnya.
Hal ini karena biji kopi yang tidak terolah harus langsung terjual karena keterbatasan penyimpanan. Namun, harga jualnya pun sangat murah. Selain itu, jika tidak segera mereka jual, hasil panen akan rusak dan menjadi tidak bernilai.
Setelah terkelola dan mereka olah dengan baik, yakni mulai dari proses penjemuran, penyimpanan hingga pengemasan. Hasil panen biji kopi bisa memberikan dampak positif bagi perekonomian masyarakat adat karena bernilai 3-5 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan menjual biji kopi saat masih menjadi gabah.
Nilai ini tentu berbeda karena biji kopi yang mereka olah pun memiliki grade atau tingkat kualitasnya tersendiri. Bahkan hasil olahan bubuk kopi ini tidak hanya mereka distribusikan di Sulawesi saja. Tetapi juga sudah mereka pasarkan ke pulau lainnya. Selain kopi, hasil hutan adat yang menjadi bernilai lebih tinggi dan bermanfaat lainnya ada buah kemiri, gula aren, madu hutan, kerajinan bambu, dan lainnya.
Penyaluran hasil produk olahan ini Jaisa lakukan bersama PEREMPUAN AMAN yang terlibat dalam pembentukan Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Kabupaten Enrekang. Yakni melalui gerai masyarakat adat Massenrempulu (GEMAS) secara online maupun offline.
Kepatuhan Masyarakat Adat dalam Menaati Hukum Adat
Alasan yang keempat masyarakat adat perlu mengelola hutan adat adalah adanya rasa kepemilikan yang tinggi dan keterkaitan yang erat antara masyarakat, hutan dan hukum adat.
Jika sanksi yang hukum negara berlakukan terkait hutan adalah denda dan kurungan, maka hukum adat yang berlaku untuk masyarakat maupun masyarakat adat adalah sanksi sosial. Yakni mulai dari dikucilkan, tidak dibantu jika ada keperluan, hingga dikeluarkan dari wilayah tempat tinggalnya.
Melestarikan Alam Berkelanjutan dengan Spiritualitas
Alasan yang terakhir mengapa hutan adat perlu masyarakat adat kelola untuk melanjutkan praktik baik turun-temurun yang sudah nenek moyang contohkan sebelumnya. Di mana mereka juga menerapkan ajaran agama Islam untuk membawa keberkahan bagi alam semesta. Termasuk melestarikan bumi sebagaimana firman Allah dalam surah al-Anbiya’ ayat 107:
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
“Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Oleh sebab itu, saat ada pelatihan yang Ashoka Indonesia dan Eco Bhinneka adakan, Jaisa pun mengikuti pelatihan tersebut dan menjadi salah satu Spiritual Changemakers Initiatives. Yakni dengan mengangkat isu hutan adat dan masyarakat adat.
Gaharu Bumi Innovation Challenge
Saat ini Ashoka Indonesia bersama Eco Bhinneka tengah mengadakan Gaharu Bumi Innovation Challenge bagi siapapun yang sudah berkontribusi untuk meminimalisir pencegahan krisis iklim seperti Jaisa.
Oleh sebab itu, untuk teman-teman khususnya masyarakat adat yang sudah mengelola hutan adatnya, mulai kategori keluarga, remaja, dan komunitas, segera daftar Gaharu Bumi Innovation Challenge yang pendaftarannya sudah dibuka sejak 1 Oktober 2023 hingga 15 Desember 2023.
Selain berkesempatan aksi, gerakan, dan praktik baik teman-teman mendapatkan jangkauan yang lebih luas, dan networking sesama pegiat isu lingkungan. Teman-teman juga berkesempatan mendapatkan total hadiah Rp 67.500.000,- untuk ketiga kategori.
Itu dia ulasan mengenai 5 Alasan Hutan Adat Perlu Masyarakat Adat kelola. Semoga ulasan ini menggerakkan hati kita untuk bersama-sama mencegah krisis iklim di berbagai sektor. Selain itu menjadikan pengakuan masyarakat adat secara legal menuju masyarakat adat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya dalam melestarikan hutan adat kita bersama. []