Mubadalah.id – Sekitar satu bulan yang lalu saya berkesempatan bertemu dengan seorang kawan non muslim. Kami berbincang tentang pekerjaan di suatu tempat. Kebetulan ia mengajak serta anak lelaki semata wayangnya, kita panggil saja Alex. Usianya kira-kira sebaya dengan putri saya, sekitar 11 atau 12 tahun. Entahlah saya hanya menduga-duga, tidak bertanya secara rinci. Dalam kesempatan bercengkrama itu, kami menyentil tentang betapa terjalnya perjalanan toleransi di negeri ini.
Teman saya itu, ibunya Alex bercerita, bagaimana Alex suatu hari mengatakan pada ibunya. “Bu, ayo kita pindah agama saja, biar Alex punya teman.” Temanku terkejut dengan rajukan anaknya itu, dan mengungkapkan dengan sedih, apakah nilai-nilai toleransi yang selama ini digaungkan hanya angin lalu saja? Mengapa anaknya yang tidak tahu apa-apa menjadi sasaran kebencian dari teman sebayanya? “Ternyata PR dan tantangan toleransi kita ke depan makin berat Zahra.” Ujarnya singkat.
Sambil mendengarkan cerita temanku itu, berkali-kali saya mencuri pandang ke Alex. Dia dengan ekspresi sendu dan muka cemberut menambahkan, “Aku nggak punya teman tante. Aku ingin punya teman, tapi anak-anak nggak mau berteman sama aku. Aku nggak tahu kenapa?”
Jadi Alex mengalami trauma, setiap kali ke luar rumah ia harus melihat-lihat dulu, mengintip dari balik pagar agar tidak diketahui oleh teman-temannya. Karena pernah suatu ketika, ia di kata-katain dengan kalimat kasar dan merendahkan, lalu disusul dengan pelemparan batu kerikil. Dan yang membuat hati miris, semua perbuatan itu dilakukan oleh anak-anak, sementara orang dewasa disekitarnya yang mengaku beragama mayoritas hanya mendiamkan saja.
Padahal, seringkali saya menuliskan tentang ini, agama hanyalah ruang, bentuk, wujud, simbol. Yang terpenting adalah inti dari ajaran agama itu yang bersumber dari hati kita, penuh kebaikan, ketulusan, pemaafan, keikhlasan, kesalingan, mewujudkan toleransi dan perdamaian serta hal-hal positif lainnya. Justru ketika ada nilai-nilai yang bertentangan dengan itu semua, maka itu bukan bagian dari agama, dan dia harus belajar beragama lagi, bagaimana meneladani sikap dan prilaku para bijak bestari di masa lalu.
Bukankah Islam sendiri berasal dari kata salam yang maknanya adalah perdamaian, jika percik api kecil saja sudah dianggap sebagai pemantik yang sanggup membakar bangunan keberagaman, maka bagaimana api itu bisa dipadamkan, bila terus menerus ditiup, dihembuskan dengan kalimat penuh cacian, makian, hujatan dan cibiran. Tahukah teman, sikap yang demikian sama sekali tidak mencerminkan prilaku toleransi beragama, apalagi yang mendaku diri sebagai orang Islam.
Menjadi agama mayoritas di Indonesia, bukan berarti harus menguasai segala hal yang ada. Karena negeri ini telah sama-sama diperjuangkan oleh seluruh elemen bangsa dari semua tingkatan. Mereka juga berhak atas setiap jengkal nusantara ini. Baik itu kekayaan alamnya, struktur pemerintahannya, hingga semua akses layanan publik.
Bahkan hak itu merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang paling asasi, yakni kebebasan beragama dan menentukan keyakinan. Sehingga jika meminjam kalimat Gus Mus dalam buku Gusdur dalam Obrolan Gus Mus karya KH. Husein Muhammad, bahwa “Hendaklah kalian menjadi menjadi manusia, artinya mengerti bahwa dirinya adalah manusia, mengerti tentang manusia lain, dan bisa memanusiakan manusia”.
Konsep memanusiakan manusia juga seringkali didengungkan Gusdur sebagai Bapak Pluralisme Indonesia, bahwa “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”. Iya agama hanya perangkat, bungkus, wadah, ruang, tempat dimana kita bernaung. Yang lebih esensi adalah isi dari agama itu yang mengajarkan tentang kebaikan dan kebenaran, tetapi bukan berarti merasa paling benar lantas mau menang sendiri.
Jika ada yang salah dalam beragama, bukan ajaran agamanya yang harus dihakimi, tetapi prilaku orang-orangnya yang intoleransi, dan telah mabok agama sehingga tidak mampu lagi berpikir jernih, mudah menghasut, menghina, caci maki hingga berujung pada kekerasan atas nama agama, melukai dan menyerang orang lain yang berbeda pandangan serta keyakinan.
Problem Toleransi di Indonesia
Indonesia terlampau besar jika hanya menjadi permainan sekelompok golongan, yang menginginkan mayoritas menguasai minoritas. Indonesia terlalu berharga jika hanya dijadikan sebagai komoditas pembakuan agama di semua aspek kehidupan. Karena keragaman yang ada merupakan anugerah kehidupan yang harus dijaga agar tak menjadi perpecahan di kemudian hari.
Nama Indonesia hanya tinggal sebuah nama hilang dari sejarah dunia. Hilang tanpa makna. Sehingga nilai-nilai toleransi jangan sampai mati di Indonesia, agar kelak di esok hari kita takkan malu ketika ditanyakan generasi penerus, apa yang sudah kita lakukan untuk menjaga dan merawat NKRI. Sehingga toleransi bukan hanya sekedar kalimat basa basi di ruang-ruang diskusi, atau pembahasan kalangan elite tertentu.
Masyarakat di lapisan bawah yang justru paling merasakan dampak intoleransi. Seperti pada tulisan pembuka di atas, sebagai salah satu contoh. Atau banyak kejadian serupa yang tidak terekspose media. Maka sebagai sebuah sikap untuk melawan tindakan intoleransi, baik dalam kehidupan nyata maupun interaksi di dunia maya, sudah waktunya lagi untuk tidak mengalah pada tindakan anarkisme, kekerasan verbal maupun fisik.
Sikap ini kemudian dikenal dengan “Sing Waras Aja Ngalah”, artinya yang masih punya kesadaran toleransi agar tidak mengalah pada situasi seperti ini. Karena siapa lagi yang akan menjaga Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika jika bukan kita sebagai anak-anak yang dilahirkan dari Rahim Ibu Pertiwi.
Toleransi jangan sampai mati di negeri ini. Kerukunan antar umat beragama harus terus dijaga, dirawat dan dipupuk dengan saling percaya antar elemen bangsa. Saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada, karena Indonesia dibangun tidak dalam waktu singkat.
Menjadi Indonesia itu telah melewati proses panjang yang melelahkan, perang antar saudara sebangsa dan se-agama, pertikaian berdarah, dan kerusuhan demi kerusuhan sepanjang sejak masa kemerdekaan hingga era reformasi. Catatan hitam itu cukup sebagai pelajaran, ke depan tak usah lagi kita mewariskan konflik pada generasi mendatang, setidaknya berupaya meninggalkan jejak sejarah dan peradaban yang dikenang baik hingga bertahun-tahun kemudian. Karena Indonesia adalah kita. []