Mubadalah.id – Sri Wiyanti Eddyono, S.H., LL.M.(HR)., Ph.D., adalah dosen di Fakultas Hukum UGM. Perempuan yang akrab disapa Mba Iyik ini baru saja meraih gelar Ph.D. dari Monash University, Australia. Studinya dimulai dari Fakultas Hukum UGM tahun 1991-1996. Lalu melanjutkan masternya di Human’s Rights Program, Faculty of Law, University of Hong Kong. Dan terakhir mendapatkan beasiswa the Australian Leadership Award (ALA) di Monash University.
Selain sebagai dosen, Mba Iyik juga dikenal cukup baik di kalangan aktivis dan gerakan perempuan. Dia sudah malang melintang di berbagai organisasi, mulai dari Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan (LSPPA) Yogyakarta tahun 1994-1997, menjadi ahli hukum di Urban Poor Corsortium (UPC), sebuah gerakan kemanusiaan dari tahun 1998-2001. Kemudian aktif di LBH APIK Jakarta tahun 1997-2003, anggota Komisi Nasional (Komnas) Perempuan tahun 2007-2009, peneliti dan konsultan hukum, gender dan HAM di SCN Crest Jakarta sejak 2004-2011.
Di tengah kesibukannya, Mba Iyik bersedia diwawancarai reporter Mubaadalah.id terkait perspektif adil gender dalam belantara hukum di Indonesia.
Dalam kaca mata adil gender, bagaimana kondisi hukum di Indonesia?
Secara umum, jika kita bandingkan dengan negara lain, Indonesia punya Kompilasi Hukum Islam yang sudah relatif baik. Kalau kita mau melihat dari hukum keluarga, kita punya Undang-Undang (UU) Perkawinan. UU ini memberikan hak bagi perempuan untuk gugat cerai. Sedangkan negara-negara lain yang menggunakan hukum Islam menyatakan bahwa hak untuk gugat cerai dari perempuan itu tidak diperbolehkan.
Dalam UU Perkawinan juga disebutkan adanya hak harta bersama, yaitu penghasilan suami juga penghasilan istri. Nah itu menurut saya suatu hal yang sangat progresif. Perwalian anak juga bisa kepada suami maupun istri.
Tapi yang masih menjadi hambatan dalam UU Perkawinan kita adalah masih adanya pembakuan peran yang ketat akan suami dan istri yang tidak sesuai dengan realitas. Misalnya perempuan berperan hanya sebagai pekerja rumah tangga, yang sehari-harinya di dalam rumah. Nah yang bekerja seperti saya ini dianggap tidak sesuai dengan UU Perkawinan, karena bekerja di luar rumah.
Padahal faktanya, perempuan bekerja di luar rumah sudah biasa dan tidak ada masalah. Suami maupun istri bisa berkontribusi secara ekonomi untuk kemaslahatan keluarga dan masyarakat. UU Perkawinan pasal 31 dan 34 mengatakan bagaimana pun laki-laki adalah kepala keluarga. Padahal, suami maupun istri sama-sama memiliki kewajiban dan hak yang sama.
Dulu, perempuan dijadikan objek dari hukum, bukan subjek hukum. Perempuan tidak bisa mengambil keputusan sendiri karena selalu di bawah suami atau anggota keluarganya yang lain. Nah, UU Perkawinan sebenarnya sebuah lompatan. Karena perempuan dijadikan subjek hukum.
Jadi menurut saya, UU Perkawinan di satu sisi sudah menjadi lompatan yang cukup kuat pada masanya. Kita punya hukum kolonial kemudian diberlakukan UU Perkawinan 1974. Pada masanya memang lompatan yang luar biasa. Namun, pada masa sekarang, pasal 31 dan 34 bisa jadi sudah tidak tepat lagi. Pembakuan tugas sudah tidak sesuai dengan realitas.
Di dalam UU Perkawinan juga masih ada pasal poligami, walaupun prinsip dari UU itu sebenarnya adalah monogami. Namun dimungkinkan poligami dengan syarat istri tidak lebih dari empat. Poligami dibolehkan misalnya jika perempuannya tidak bisa mendapat keturunan, mempunyai penyakit yang berat.
Tapi yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana jika yang mengalami penyakit berat adalah laki-laki? Nah di sini terlihat, dasar pemikiran UU ini masih meletakan perempuan sebagai objek.
Lompatan lainnya, ada pembatasan perkawinan anak pada umur 16 tahun. Dulu tidak ada batasan. Pasangan yang hendak menikah tidak perlu meminta izin orang tuanya kalau sudah usia 21 tahun. Ini artinya pernikahan yang pantas menurut UU Perkawinan adalah saat calon pengantin berumur 21 tahun.
Kalau belum berusia 21 tahun maka kalau usia perempuan usianya harus 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Bisa jadi karena mereka belum mampu untuk membangun rumah tangga, sehingga kalau izin kepada orangtua berarti orangtua harus menyokong dan mendukung serta bertanggung jawab atas pernikahan tersebut.
Dan jika di bawah 16 tahun, ada dispensasi lewat pengadilan. Artinya negara harus bertanggung jawab jika terdapat suatu hal yang terjadi. Tapi orang-orang salah tafsir. Seolah-olah 16 tahun sudah boleh menikah. Padahal tidak.
Bagaimana dengan UU lain yang masih terkait dengan isu-isu perempuan?
Di dalam hukum publik juga menarik. Pertama kita sudah memiliki UU Penghapusan KDRT Nomor 23 Tahun 2004. Nah ini juga terobosan. Dulu, kekerasan di dalam rumah tangga itu dianggap wajar, biasa dan kalau dilakukan tidak boleh lapor ke publik.
Dulu juga tidak ada istilah perkosaan dalam rumah tangga. Tapi sekarang ada. Jadi tidak bisa berhubungan dengan memaksa kalau pasangannya tidak mau. Tidak bisa kalau istrinya atau suaminya tidak mau. Kalau memaksa, itu perkosaan. Ini adalah perlindungan terhadap perempuan dalam lingkup keluarga.
Nah yang masih kurang dan belum ada adalah masalah kekerasan seksual. Padahal ini masalah yang luar biasa. Terutama jika kita mengacu pada laporan Komnas Perempuan tentang data kekerasan yang selalu naik setiap tahun. Sistem hukumnya juga belum melindungi para korban kekerasan seksual. Substansi pengaturan kekerasan seksual ada di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sementara KUHP hanya mengatur perkosaan dan percabulan. Pelecehan seksual secara eksplisit tidak disebutkan di dalamnya.
Kekerasan seksual sedikit disebutkan dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur penyebaran konten asusila. Lalu ada UU Pornografi tapi malah menyudutkan perempuan. Tapi tetap belum ada UU yang mengatur secara rinci kekerasan pada perempuan. Nah, semua UU itu ada yang kuat dan ada yang perlu dibenahi. Utamanya tentang kekerasan seksual dan pelecehan seksual.
Kemarin kasus Agni sempat ramai. Bagaimana pendapat Mba Iyik tentang kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di lingkungan kampus?
Kalau masalah yang di UGM sedang ditangani. Tadinya saya menjadi Ketua Komite Etik tapi tanggal 27 kemarin (27 Desember 2019) saya mengundurkan diri. Sudah ada putusan dari Komite Etik dan sudah diserahkan ke rektorat tapi saya tidak bisa memberikannya. Karena komite ini sifatnya sidang tertutup.
Pada intinya, memang memprihatinkan kekerasan seksual terjadi di dunia pendidikan, universitas, pesantren, atau sekolah. Di manapun, pelecehan seksual menjadi suatu hal yang harus kita berikan perhatian. Mengapa masalah ini masih kerap terjadi? Pertama, masalahnya orang-orang tidak tahu kalau perbuatan tersebut adalah pelecehan seksual. Pelecehan seksual dianggap hal biasa.
Kedua, kalau terjadi biasanya orang akan tanya salahnya siapa? Nah, di dalam budaya patriarkhal selalu perempuan yang disalahkan. Ini karena masyarakat kita juga lebih percaya pada penafsiran laki-laki dibandingkan perempuan. Misalkan kalau ada laki-laki dan perempuan bicara tentang satu hal, seringkali yang lebih dipercaya adalah omongannya laki-laki.
Ketiga, peraturan hukumnya sendiri tidak terlalu baik untuk kasus pelecehan seksual. Ada yang melaporkan kasus ini tapi tidak disambut dengan hukum yang baik. Tidak semua kekerasan seksual yang dilaporkan kemudian diakomodir dengan baik dalam hukum kita. Nah, makanya kita harus membangun sistemnya. Sistem yang baik. UGM sendiri sedang berusaha untuk membangun semacam support system.
Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sudah masuk Prolegnas. Akankah peraturan itu bisa menjadi payung hukum yang tepat?
RUU PKS sudah dimasukkan ke dalam Prolegnas. Tantangannya besar. Tapi setidaknya ada inisiatif dari DPR untuk mengangkat isu ini. Tinggal bagaimana menggerakkan masyarakat agar suara untuk segera disahkan semakin kencang. Harapannya tentu saja agar RUU ini segera dibahas dan menjadi peraturan yang melindungi korban.
Ada ketakutan nanti RUU ini memang dibahas meraka tapi kemudian dipreteli isinya. Naskah akademiknya dengan putusannya berbeda. Saya takut nanti malah tidak melindungi perempuan. Nah, itu harus dikawal berbagai pihak.
Apa yang membuat RUU ini belum juga disahkan. Adakah masalah-masalah krusial yang menghambat pengesahan?
Sepertinya ada. Banyak pihak yang curiga RUU PKS akan melegalkan homo seksual, lesbian. Padahal kalau dilihat di rancanagannya, tidak ada itu. Banyak yang curiga, tapi tidak berdasar. Karena RUU ini didukung oleh para feminis. Dalam pandangan mereka, kalau feminis itu kan pemikirannya pasti radikal. Ingin mengubah sistem. Padahal maksudnya adalah untuk melindungi dan memperjuangkan hak-hak perempuan untuk bebas dari kekerasan.
Bagaimana pandangan Anda terkait kasus Baiq Nuril, di mana korban pelecahan seksual pada akhirnya menjadi tersangka dengan menggunakan pasal yang berbeda?
Pertama-tama yang harus kita perhatikan dalam setiap kasus hukum adalah aturan-aturannya. Lalu kita juga perhatikan cara bekerja hukumnya seperti apa. Hal itu berpengaruh pada struktur hukum. Jadi kita harus mengerti substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukumnya.
Misalnya begini, ada aturan hukum dan aturan ini sudah baik. Tapi pada struktur hukumnya tidak paham tentang hak-hak perempuan. Mereka masih bias gender. Sehingga struktur hukum yang tadinya bertugas untuk melindungi korban sesuai dengan UU karena menggunakan prepektif bias gender mereka malah tidak sejalan dengan semangat UU. Jadinya malah mengkriminalisasi, blaming the victim. Padahal hukumnya sudah mengatakan bahwa yang salah adalah yang melakukan perbuatan.
Hukum itu kan kalau sudah menjadi aturan menjadi netral. Nah ini tergantung bagaimana cara pandang penegak hukum/struktur hukumnya bekerja. Aturan hukumnya bisa saja baik tapi jika penegak hukumnya tidak berperspektif gender maka hasil atau putusannya bisa jadi bermasalah.
Apalagi jika budayanya adalah patriarkal. Nah kasus Baiq Nuril ini kan dia sebenernya mengalami pelecehan seksual. Tapi itu dalam kaca mata substansi hukum belum diatur. Malah yang diatur adalah penyebaran informasi. Dengan demikian memang ada kekosongan hukum.
Apa solusi yang mungkin bisa dilakukan untuk mengatasai masalah kekosongan hukum seperti ini?
Jalan keluarnya, pertama harus ada perubahan sistem hukum. Substansi hukum harus dibenahi. Saya kira jalan yang baik adalah mendorong RUU-PKS disahkan. Karena kita mengalami kekosongan hukum. Kedua, sebisa mungkin kita mendorong pemerintah melakukan program untuk meningkatkan kapasitas penegak hukum atau struktur hukum. Diadakan pelatihan-pelatihan gender, bagaimana cara menangani kasus perempuan, mekanisme ketika menangani kasus dan lain-lain.
Sebenarnya sudah ada PERMA No.3 Tahun 2017 tentang Tata Cara Bagaimana menghadapi Perempuan yang berhadapan dengan Hukum. Tapi masalahnya belum tentu semua hakim tahu. Jadi polisinya tidak paham gender, jaksanya buta gender, hakimnya bahkan tidak tahu kalau dia sudah punya PERMA itu.
Nah dampaknya pada perempuan korban lagi. Mereka mengalami reviktimisasi. Sudah menjadi korban, jatuh lagi.
Ketiga, tentunya penyadaran pada masyarakat agar berani mengadu. Tapi juga jangan ada penyebaran informasi secara eksesif, secara berlebihan. Karena sebetulnya, penyebarluasan berita yang berlebihan juga mengganggu korban juga.
Kita juga mendapati banyak Peraturan Daerah (Perda) Syariah di daerah-daerah. Banyak di antara perda itu mendiskriminasi perempuan. Bagaimana pandangan Anda?
Ini memang masalah. Dari pemantauan Komnas Perempuan, ada lebih dari 200 Perda yang menggunakan dasar agama dalam pengaturannya. Atau memang menyasar kepada penguatan nilai-nilai agama tertentu. Nah, kita harus melihat dari proses otonomi daerah. Karena setiap pemerintah daerah merasa ingin menampilkan kekhasan dari daerahnya dan ingin membuat aturan-aturan yang menurut kepala daerahnya adalah peraturan yang pas dan baik untuk warganya.
Namun dalam proses kewenangan mereka untuk menyusun peraturan, yang mungkin mereka tidak paham adalah ada semacam rambu-rambu yang harus diperhatikan terkait dengan konstistusi kita. UUD 45 sudah mengatur bahwa ada hak-hak individu yang tetap harus dihormati dan menjadi bagian dari HAM. Masalahnya pembentuk kebijakan belum tentu paham juga.
Perda Syariah juga bermunculan karena para pemimpin daerah ingin menunjukan identitas politik tertentu. Sekarang kan politisasi agama juga meningkat. Masyarakat kita juga terlihat sedang menunjukkan euforia atas sisi keagamaannya.
Perda Syariah itu ada unsur kepentingan pemerintah sesaat yang sebetulnya ingin menarik massa. Tapi jangka panjangnya malah berdampak pada pembatasan ruang gerak perempuan. Masalah ini pun tidak sederhana karena desakan untuk penghapusan Perda bernuansa syari’ah itu berujung ada prasangka tidak sejalan dengan nilai Islam.
Kalau ada yang menolak Perda itu disangka tidak mau daerahnya menjadi daerah yang Islami. Teman-teman di daerah sulit untuk melakukan demonstrasi-demonstrasi menghentikan Perda yang seperti ini ya karena hal-hal tersebut. Ditambah lagi, Pemerintah tidak memiliki sikap. Mereka juga tidak berani bilang bahwa itu tidak boleh. Karena nanti mereka dituduh tidak Islami.
Jadi, perlu ada penguatan pemahaman konstitusi. Pluralisme, keberagaman, kebinekaan, HAM, dan sebagainya itu semua ada di dalam konstitusi kita. Mari kita menjunjung nilai-nilai agama tapi nilai agama yang membebaskan. Nilai yang memberikan makna untuk menjalankan apa yang diyakini.[]