Mubadalah.id – Persoalan perempuan dan ibadah di ruang publik selalu menjadi hal yang tak kunjung usai diperbincangkan. Bahkan di kalangan ulama pun juga cukup banyak terdapat perbedaan pendapat. Apabila kita menilik pembahasan yang beredar di dunia maya, kebanyakan yang akan kita temukan adalah pembahasan di ranah fikih mengenai hukum perempuan salat berjamaah di masjid, keutamaan salat di rumah, dan pembahasan serupa lainnya.
Namun banyak di antaranya tidak benar-benar menjelaskan duduk persoalan mengapa perempuan harus beribadah di dalam rumah. Pembahasan mengenai keutamaan beribadah di dalam rumah bagi perempuan banyak dilandasi dengan hadis berikut:
“Dari Ibn Umar berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kau melarang kaum perempuan pergi ke masjid, akan tetapi sebenarnya rumah-rumah mereka itu lebih baik dari mereka.” (H.R. Abu Daud no. 480)
Hadis dengan status marfu’, muttashil, dan shahih di atas meskipun secara tekstual memberikan kebebasan kepada perempuan untuk mengakses masjid, namun Rasulullah juga mengatakan bahwa perempuan lebih baik salat di rumah. Hadis di atas perlu dikaji ulang dan dipertimbangkan juga terkait konteks zaman serta situasi pada saat masa Rasulullah. Rasulullah mengatakan bahwa rumah adalah tempat yang lebih baik bagi perempuan untuk beribadah bukanlah tanpa sebab. Hal ini tak terlepas dari kondisi geografis, situasi serta konstruksi dari bangunan masjid pada zaman Rasulullah itu sendiri.
Hal pertama yang melandasi sabda Rasulullah tersebut adalah pertimbangan keamanan dan keselamatan, mengingat kondisi geografis yang menjadi tempat di mana masjid itu dibangun pada masa Rasulullah. Kebanyakan masjid pada masa itu dibangun di wilayah Semenanjung Arab yang merupakan area gurun pasir terbuka dan dikelilingi oleh perbukitan.
Seperti Masjid Nabawi yang berbatasan dengan Bukit Tsaur dan lembah Qanat. Sisi barat masjid berbatasan dengan Jabal Sala’ dan sisi timur berbatasan dengan Lahar Timur atau al-Harrah al-Syarqiyyah. Kondisi geografis dan lingkungan ini jelas sangat berbeda dengan lingkungan Masjid Nabawi di era modern saat ini.
Dengan kondisi geografis dan lingkungan seperti itu tentunya berdampak pada pola perilaku, budaya, dan juga tradisi masyarakat saat itu. Pada zaman tersebut, banyak ditemukan kasus serangan hewan buas terhadap manusia, perampokan, pembunuhan, hingga kasus terjebaknya warga dalam kubangan pasir hisap. Korban dari kalangan perempuan pada zaman itu lebih banyak ditemukan daripada dari kalangan laki-laki. Belum lagi persoalan anatomi jalan dan gang pada masa itu yang tidak semodern sekarang, bahkan dengan pencahayaan yang bisa dibilang sangat minim.
Jangan coba membayangkan kondisi jalanan pada masa Rasulullah seperti jalanan di masa kini yang lebar, terang, dan dekat dengan area permukiman. Zaman dahulu jalan-jalan masih sempit, minim pencahayaan, dan kompleks pemukiman warga yang berdekatan hanya ditemui di titik-titik daerah tertentu seperti jantung perkotaan saja.
Dari berbagai alasan itulah terlihat bahwa sebenarnya sabda Rasulullah mengenai tempat ibadah terbaik bagi perempuan adalah di dalam rumah itu masih sangat temporalis dan lokalistik. Jadi, apabila disimpulkan alasan sebenarnya adalah karena pertimbangan keamanan serta keselamatan, yakni untuk menghindarkan bahaya bagi perempuan itu sendiri. Bahaya-bahaya yang dimaksud tidak terlepas dari situasi dan kondisi pada zaman tersebut.
Agar ajaran Islam selalu shalih likulli zaman wa makan, maka perlu juga dilakukan kontekstualisasi. Zaman sekarang akses ke masjid sudah tidak sesulit zaman dahulu. Banyak masjid yang dibangun di tengah-tengah area permukiman warga dengan ruas jalan yang cukup lebar serta pencahayaan yang memadai.
Bahkan banyak juga kompleks yang mempekerjakan satpam ataupun petugas keamanan. Sehingga bahaya-bahaya seperti ancaman hewan buas ataupun hal-hal ekstrem lainnya yang mengancam jiwa seperti pada masa Rasulullah kemungkinan minim terjadi. Perempuan kini dapat beribadah di masjid dengan lebih tenang dan aman. Sekarang mari kita simak hadis berikut:
“Urwan bin Zuabir RA meriwayatkan bahwa Aisyah RA bercerita, “Kami para perempuan mukmin biasa hadir mengikuti Rasulullah SAW salat subuh dengan pakaian wol kami. Kami akan bergegas pulang ke rumah masing-masing setelah selesai menunaikan salat. Karena masih pagi buta dan gelap, seseorang masih belum bisa mengenali kami.”” (H.R. Bukhari no. 578 dan 875)
Keberadaan hadis di atas menjadi sebuah preseden mengenai aktivitas perempuan mukmin yang selalu salat subuh berjamaah di masjid bersama Rasulullah. Betapa mulianya perempuan-perempuan mukmin yang hidup pada masa Rasulullah, yang keluar dari rumah untuk beribadah ketika sebagian besar orang masih memilih tidur atau sibuk dengan berbagai urusannya masing-masing.
Hadis di atas juga menunjukkan tiga hal penting. Pertama, salat berjamaah itu pada prinsipnya adalah baik di mata Islam bagi laki-laki maupun perempuan. Hal baik dan mendatangkan kebaikan bagi yang melaksanakannya, tidak boleh hanya dikhususkan kepada laki-laki saja. Oleh karena itu tidak bisa dikatakan bahwa berjamaah hanya baik bagi laki-laki sedangkan untuk perempuan lebih baik di rumah. Tidak seperti itu, karena secara prinsip, Islam diperuntukkan bagi laki-laki maupun perempuan.
Kedua, salat berjamaah di masjid sebenarnya sebagai salah satu media bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Ini adalah hal baik untuk perkembangan sosial serta psikologis bagi umat muslim. Kerap ditemui bahwa di tempat-tempat publik seperti masjid sering diadakan kegiatan bakti sosial, kajian-kajian keagamaan, musyawarah, hingga pembagian bantuan ekonomi. Sehingga mengucilkan perempuan di dalam rumah berarti menjauhkan mereka dari segala manfaat penguatan psikologis dan sosial tersebut.
Ketiga, dari hadis di atas diketahui bahwa banyak perempuan mukmin yang salat berjamaah di masjid, terutama pada saat subuh. Bahkan banyak di antaranya yang salat berjamaah bersama Rasulullah. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa pada waktu-waktu yang dianggap mengkhawatirkan sekalipun, Rasulullah tidak melarang perempuan untuk salat berjamaah di masjid.
Karakter budaya masyarakat Arab yang keras dan masih kental nuansa patriarkisnya juga menjadi alasan atas keterbatasan perempuan dalam mengakses ruang publik. Namun demikian, Rasulullah tidak pernah melarang perempuan untuk mengakses kegiatan masjid. Perempuan pada masa Rasulullah juga terlibat aktivitas-aktivitas di masjid, termasuk berpartisipasi dalam kegiatan musyawarah dengan kaum laki-laki, salah satunya adalah Rasulullah sendiri.
Sesungguhnya suatu hukum hingga anjuran dalam agama itu saling berkaitan dengan konteks ruang dan waktu. Dengan pertimbangan seperti ini serta melihatnya dari kacamata mubadalah (kesalingan), niscaya akan didapatkan pesan-pesan yang sangat fleksibel dan tidak mengandung diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. []