Mubadalah.id – Beberapa hari yang lalu, sebagai peserta AIMEP (Australia-Indonesia Muslim Exchange Program), saya memperoleh penjelasan penting untuk memahami relasi Indonesia-Australia tentang ‘Pertautan Sejarah dan Penduduk Asli Australia’. Topik ini disampaikan oleh Uncle Andrew Gardiner –seorang Muslim Aborigin Australia– dan Dr. Lily Yulianti Farid –Direktur Makassar International Writers Festival.
Tulisan berikut adalah refleksi singkat saya tentang kaitan antara suku Aborigin, nelayan Makassar, dan Islam di Australia.
Awal Masuk Islam di Australia
Relasi Indonesia dan Australia tidak hanya sebatas hubungan bilateral, tetapi lebih dari itu. Indonesia-Australia memiliki relasi budaya dan agama yang sangat kuat, terutama kehadiran agama Islam di Australia. Islam di Australia merupakan agama terbesar keempat setelah Kristen, Ateisme, dan Budisme dengan populasi 2,6% (604.200 jiwa) dari total penduduk Australia. Kehadiran Islam tidak bisa lepas dari sejarah keberadaan suku Aborigin.
Melalui masyarakat asli suku Aborigin, Islam masuk pertama kali di Australia. Hal ini dilakukan dalam hubungan dagang antara nelayan Makassar Indonesia dengan suku Aborigin Australia sekitar 1650 Masehi yang lalu.
Para nelayan dari Makassar berlayar ke pantai utara Australia untuk mencari ‘teripang’. Mereka yang mayoritas muslim ini berinteraksi dengan suku asli Australia dalam waktu yang lama untuk transaksi teripang. Sebagian dari mereka menikahi perempuan suku Aborigin dan tinggal di sana, beranak pinak hingga melahirkan Suku Aborigin Marege yang berbahasa Melayu.
Interaksi Kultural Kesalingan
Tidak hanya nelayan Makassar yang mengunjungi Australia, tetapi juga warga suku Aborigin mengunjungi Makassar. Hasil penelitian Laureate Global Encounters mengungkapkan bahwa seorang laki-laki Aborigin bernama Damalatja ikut ke Makassar menaiki perahu nelayan pada akhir abad ke-19. Sepulang dari Makassar, Damalatja menceritakan pengalamannya selama di Makassar kepada saudaranya. Di antaranya adalah menyaksikan aktivitas menenun kain sutra yang dilakukan oleh kaum perempuan Makassar. Kisahnya ini menjadi sumber inspirasi bagi Munggerauwy Yunupingu, anak Damalatja, yang kemudian hari menjadi pelukis terkenal Aborigin.
Interaksi yang terjalin antara nelayan Makassar dan suku asli Aborigin tidak hanya berdagang dan bertukar barang, tetapi juga praktik keberagamaan. Kehadiran Islam di suku Aborigin Australia terwujud dalam bentuk lagu, tarian, lukisan batu, hingga ritual pemakaman. Hal ini menimbulkan pengaruh spiritual bagi suku Aborigin untuk memeluk agama Islam seperti dipraktikkan para nelayan Makassar.
Oleh karena itu, silaturrahim Indonesia-Australia ini patut dilanggengkan. Perjalanan relasi nelayan Makassar dan suku Aborigin tidak hanya kekayaan sejarah, tetapi juga wujud dari menyatunya nilai-nilai budaya dan ajaran agama. Selain itu, kita bisa melihat adanya nilai-nilai kesalingan, keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan yang terwujud dalam relasi perdagangan, spiritualitas, serta budaya yang dibangun oleh nelayan Makassar dan suku Aborigin Australia.
Diskriminasi Tak Berujung
Pada masanya, suku Aborigin terdiri dari 500-an suku dengan 200-an bahasa. Sayangnya, sejak Australia dijajah oleh Inggris, suku Aborigin mengalami marjinalisasi yang luar biasa. Atas peminggiran ini, jumlah masyarakat Aborigin di Australia hanya sekitar 3% (700.000 jiwa) dari total penduduk Australia.
Sebagaimana masyarakat adat dan kelompok minoritas di berbagai negara lainnya, suku Aborigin Australia mengalami diskriminasi dan kekerasan. Anak-anak dipisahkan secara paksa (dirampas) dari orang tuanya atas nama kesejahteraan. Akibatnya, kemiskinan, sulitnya akses pendidikan dan kesehatan, hingga tingginya angka kematian bayi dialami oleh masyarakat suku Aborigin. Perlakuan tidak manusiawi ini sungguh tidak patut, karena perjalanan sejarah dan budaya masyarakat asli Aborigin sudah lebih dari 300 tahun berada di Australia.
Meski pemerintah Australia telah menetapkan peringatan ‘Hari Maaf Nasional’ setiap tanggal 26 Mei sebagai ungkapan rasa bersalah atas pelanggaran HAM terhadap penduduk asli Australia, hingga kini suku Aborigin masih terus memperjuangkan hak hidup yang setara dengan warga kulit putih.
Pemanusiaan Masyarakat Adat
Dari narasi pendek ini, kita bisa belajar tentang pentingnya menghormati dan memanusiakan masyarakat adat dan kelompok minoritas. Untuk empati pada mereka, kita seharusnya mengenal dan menyelami sejarahnya, berinteraksi dan berdialog langsung, dan bekerja sama dengan mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial kemanusiaan. Tanpa itu semua, kita sulit untuk memiliki keberpihakan terhadap masyarakat adat, kelompok minoritas, dan kelompok masyarakat lainnya yang dimarjinalkan dan menjadi korban ketidakadilan. Allah SWT mengingatkan dalam salah satu ayatnya:
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
“… Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (al-Ma’idah: 8). []