Mubadalah.id – Salah seorang dosen sejarah pernah mengeluarkan statement bahwa, “Kita enggak butuh feminisme. Perempuan dan laki-laki di Indonesia ini setara, kita enggak bisa disamakan dengan Barat yang memang menjadikan perempuan manusia kelas dua. Ketika di Barat sibuk menuntut hak suara untuk perempuan, sejak awal pemilu di Indonesia, perempuan kan sudah memilih. Jadi, enggak perlu itu feminisme dan kesetaraan gender apalah.” (Pernyataan dosen ini dikutip dari buku Membicarakan Feminisme karya Nadya Karima Melati).
Sekilas pernyataan itu masuk akal dan kuat. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi ya ada lemahnya. Memang sih kalau mengkaji sejarah, maka salah satu hal yang bisa ditemukan adalah, dibanding Barat peradaban Nusantara tidak kalah baik dalam memberi ruang kepada perempuan.
Jika di Barat abad 19 hingga awal 20 M masih sibuk dengan memperjuangkan hak pilih perempuan. Dalam sejarah lokalitas daerah-daerah Nusantara sejak dulu malah telah banyak perempuan yang tampil di ruang publik dan menyumbangkan suara dalam kemajuan bangsa. Misalnya, dengan menjadi pemimpin kerajaan, seperti Sultanah Safiatuddin di Aceh Darussalam, Ratu Tribhuwana di Majapahit, Ratu Shima di Kalingga, dan masih banyak lagi.
Namun lambat laun posisi perempuan Nusantara di ruang publik mulai terpinggirkan. Terlebih akibat pengaruh bangsa penjajah. Sebagaimana dijelaskan Nadya Karima Melati dalam bukunya Membicarakan Feminisme: “Kolonialisme mengenalkan konsep gender dan pembagian peran berdasarkan gender. Sebelum tahun 1900, hanya lelaki Belanda yang dikirim ke Hindia Belanda. Oleh karena itu, ruang-ruang kerja hanya diisi lelaki dan ini diadaptasi oleh keluarga priayi lokal yang menempatkan lelaki sebagai pemimpin dan mendorong perempuan sebagai alat reproduksi semata.”
Di Aceh, ketika kehilangan sosok ulama seperti Nuruddin al-Raniri yang mendukung kepemimpinan perempuan–sebab beliau sudah wafat–membuat posisi perempuan sebagai sultanah semakin melemah dalam struktur sosial keagamaan. Sehingga, tidak heran pasca Sultanah Zinatuddin Kamalat Syah (1688-1699) tidak ada lagi perempuan yang menjadi penguasa Kesultanan Aceh Darussalam.
Beberapa contoh tersebut kiranya cukup menjelaskan, bahwa meski perempuan dan laki-laki dalam konteks ke-Nusantara-an sama-sama mendapat ruang dalam arti terdapat kesetaraan, namun posisi perempuan sewaktu-waktu dapat tersubordinasikan, sebab pengaruh otoritas kuasa yang bergeser ke arah patriaki. Hal ini menjadikan gerakan perempuan tetap dibutuhkan untuk membela nasib kaum perempuan.
Dan karena pada akarnya peradaban Nusantara memuliakan perempuan, sehingga daripada mengatakan Indonesia tidak butuh feminisme dan kesetaraan gender, lebih baik untuk coba menggali konsep relasi gender dari nilai-nilai luhur kearifan lokal. Sederhananya, bisa dibilang kesetaraan gender Nusantara yang disarikan dengan elegan tanpa menabrak nilai-nilai luhur Nusantara.
Selain itu, feminisme dan kesetaraan gender tidak melulu hanya bicara soal keterlibatan perempuan dalam pemilu atau ruang publik. Namun, lebih dari itu adalah gerakan untuk memajukan nasib kaum perempuan secara umum agar menjadi lebih baik.
Ini sejalan dengan Nadya Karima Melati yang mengatakan bahwa, “…feminisme sebagai upaya untuk memanusiakan perempuan.” Dengan kata lain, menjaga jangan sampai perempuan tidak dianggap sebagai manusia: hanya diposisikan layaknya mesin cuci untuk mencuci, makanan untuk mengisi perut, dan perempuan untuk meredahkan nafsu di bawah pusar. Padahal, Tuhan menciptakan perempuan adalah sama dengan laki-laki, yaitu sebagai manusia.
Sejak masa perjuangan kemerdekaan Indonesia hingga sekarang, gerakan perempuan telah banyak memberi sumbangsih untuk kemajuan bangsa, khususnya perbaikan nasib kaum perempuan.
Satu contoh adalah apa yang dijelaskan dalam buku Biografi Tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama yang disusun Suratmin dkk (1991), bahwa sekitar tahun 1930, praktek “Cina Mendring”, meminjamkan uang dengan bunga tinggi pada para petani, makin merajalela. Ironisnya, ketika para petani tidak mampu membayar utang, maka anak gadis mereka yang bakal dijadikan tebusan.
Pada kondisi demikian, apa yang harus dilakukan? Membiarkan saja perempuan dijadikan barang penebus utang? Atau, bergerak membela?
Kala itu, gerakan perempuan yang menjelma dalam Kongres Perempuan Indonesia yang ketiga pada 1930 di Surabaya, tampil sebagai ikhtiar untuk menyelamatkan nasib perempuan yang terjajah. Salah satu hasil dari kongres tersebut adalah dibentuknya Badan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (BPPPA).
Hari ini, apakah semua masalah terkait membela nasib perempuan sudah selesai?
Jawabnya, tentu belum. Salah satunya adalah kekerasan terhadap perempuan (KtP) yang masih saja marak terjadi. Berdasarkan CATAHU (Catatan Tahunan) Komnas Perempuan sepanjang 2020 terdapat 299.911 kasus KtP. Sejumlah 8.234 kasus ditangani lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, di antaranya terdapat KtP di ranah publik atau komunitas sebanyak 1.731, yang terbagi dalam berbagai kasus: kekerasan seksual, perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual, persetubuhan, dan percobaan pemerkosaan. Di sisi lain, hukum masih saja ompong membela perempuan korban kekerasan. Pengesahan RUU PKS (Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual) juga masih belum jelas.
Harus selalu ada upaya untuk membela nasib kaum yang tertindas. Sehingga, untuk apa ada feminisme atau gerakan-gerakan memajukan nasib kaum perempuan di negeri ini? Adalah termasuk salah satu ikhtiar untuk terus membela nasib kaum perempuan Nusantara.
Kalaupun dalam gerakannya terdapat perbedaan paham bahkan prinsip perihal “relasi gender” di kalangan para feminis maupun orang-orang yang bergelut dalam diskusi gender dan feminisme, itu bukan alasan untuk saling blok, melainkan menjadi kekayaan dalam diskursus gender dan feminisme di Nusantara. Sebab, dasar tujuannya adalah sama, yaitu bagaimana supaya kita–baik perempuan dan laki-laki–bahagia bersama. []