Mubadalah.id – Serial netfilx asal Korea Selatan berjudul Squid Games adalah salah satu tayangan paling popular di platform Netflix belakangan ini, bahkan mengalahkan serial-serial Netflix lainnya yang sudah popular terlebih dulu. Squid Games yang tayang pedana tanggal 17 September 2021 ini telah berhasil menjadi trending 1 dari 83 negara yang menyediakan layanan netfix. Hal ini sangat mencengangkan mengingatkan isi dari serial yang terdiri dari Sembilan episode ini, dipenuhi oleh kebrutalan dan kekejaman.
Squid Games menceritakan tentang rangkaian permainan bertahan hidup yang diikuti oleh orang-orang yang dilanda keputusaaan karena memiliki permasalahan ekonomi yang tidak ada jalan keluarnya, seperti mereka yang terlilit hutang, bangkrut, dan miskin.
Orang-orang ini dikumpulkan dalam satu tempat kemudian bertarung satu sama lain demi memenangkan hadiah uang yang berjumlah cukup besar, yaitu 45.6 milliar won. Tidak jarang keadaan mengharuskan mereka untuk bertindak impulsif dan membunuh satu sama lain, karena hilangnya nyawa berarti keuntungan bagi pemain yang bertahan.Namun ternyata ada orang-orang kaya yang berada di balik layar, mengatur dan memperlakukan para pemain ini sebagai anak catur bagi kepuasan mereka
Setelah film Parasite yang sempat popular beberapa tahun yang lalu, Squid Games juga memperlihatkan realitas sosial yang dipenuhi dengan kesenjangan kelas dan masyarakat tidak setara di Korea Selatan. Realitas masyarakat kapitalis yang dipenuhi dengan konsumerisme, keserakahan, dan persaingan tidak sehat sangat jelas tergambar dalam serial ini.
Menonton film Squid Games mengingatkan saya pada pemikiran Jean Baudrillard, seorang pemikir postmodern terkait konsep ruang Simulakra dan Hiperealitas. Jean Baudrillard dalam tulisannya yang berjudul Simulacres et simulation (1981) mengatakan bahwa Simulasi tidak hanya dipandang sebagai cermin tapi pembangkitan suatu realitas melalui model riil tanpa asal/usul, dan inilah yang disebut hipereal. Simulasi juga merupakan proses representasi suatu obyek yang menggantikan obyek itu sendiri, sehingga mengakibatkan representasi menjadi lebih penting daripada obyek itu sendiri.
Dalam kebudayaan simulasi, kedua tanda saling menumpuk dan berjalin kelindan membentuk satu kesatuan. Tidak dapat lagi dikenali mana yang asli, yang real, dan mana yang palsu, yang semu. Semuanya menjadi bagian realitas yang dijalani dan dihidupi masyarakat dewasa ini. Realitas tak lagi punya referensi, kecuali simulacra itu sendiri.
Film – film postmodern juga dicirikan oleh sifatnya yang mengaburkan, bahkan mencampur-adukkan batasan antara realitas dan imajinasi, fakta dan fiksi, produksi dan reproduksi, serta masa lalu, masa kini dan masa depan. Film postmodern dalam pengertian ini menjadi semacam representasi dunia simulakra dan simulasi, yakni sebuah dunia buatan di mana realitas dibentuk, direkayasa, dan kehilangan segala referensi realitas yang sebenarnya (hiperealitas).
Film Squid Games telah berhasil membangkitkan ruang memori dan nostalgia tentang permainan tradisional yang lazim dimainkan oleh setiap anak-anak di Korea Selatan. Dalam serial Squid Games, ruang simulacra ditampilkan melalui simulasi berbagai permainan-permainan seperti Red Light Green Light, Dalgona, Tarik Tambang, Kelereng, Permainan Pijakan Kacadan permainan Squid Games yang merupakan representasi dari memori kolektif anak-anak di negara tersebut.
Dalam dunia anak-anak, persaingan di sebuah permainan dinilai sebagai suatu yang positif karena dapat menumbuhkan semangat untuk berkompetisi, namun dalam serial Squid Games ini, ajang permainan anak-anak tersebut justru bersalin rupa menjadi ajang untuk saling bunuh, impulsif demi keserakahan.
Melalui narasi dan adegan yang ditampilkan dalam serial Squid Games, kita dapat melihat dikotomi representasi terkait ruang simulacra yang ditampilkan. Pertama, representasi dunia kanak-kanak, yang ditunjukkan melalui permainan-permainan masa kecil dengan ikon boneka dan setting ruangan yang ceria serta berwarna warni. Kedua, Representasi dunia orang dewasa yang dipenuhi oleh ambisi dan keserakahan sebagai perwujudan masyarakat konsumeris.
Masyarakat konsumeris membutuhkan obyek untuk eksis dan mengafirmasi kelas sosialnya yang sekaligus berfungsi menjadi pembeda dirinya dengan yang lain. Hal ini dapat kita lihat dalam serial Film Squid Games, di mana orang-orang kaya sebagai bagian dari masyarakat konsumeris direpresentasikan sebagai orang-orang yang ‘mengafirmasi’ kelas sosialnya melalui cara yang tidak lazim. Mereka mendapat kepuasan dan kenikmatan dengan menjadikan pertarungan nyawa orang-orang yang dianggap tidak memiliki kuasa ekonomi sebagai objek tontonan.
Popularitas serial Squid Games memang telah membawa pengaruh besar di kehidupan masyarakat yang menontonnya. Masyarakat lebih mengenal berbagai permainan tradisional anak-anak di Korea Selatan. Beberapa permainan yang disajikan dalam Squid Games menjadi trending dan diikuti oleh semua orang, bukan hanya anak-anak.
Yang paling menghebohkan adalah diadakannya ajang permainan Squid Games di dunia nyata, yang akan diselenggarakan di Abu Dhabi Uni Emirates Arab pada selasa 12 oktober 2021 yang lalu. Permainan ini juga mengenakan pakaian ikonik ala Squid Games, dengan masker berlogo lingkaran, segitiga, dan persegi. Permainan yang disajikan juga sama persis dengan yang ada di film series Squid Games.
Fenomena yang terjadi pada masyarakat menyusul popularitas seperti yang saya sampaikan di atas mempertegas fenomena bahwa dunia hiperealitas seperti dikatakan oleh Jean Baudrillard telah menghinggapi masyarakat pada saat ini. Hiperealitas dalam film serial Squid Games diminati oleh sebagian besar masyarakat sehingga mendorong mereka untuk menjadikan, dan mewujudkannya menjadi sebuah hal yang sifatnya riil, seperti yang terjadi di Abu Dhabi. Tujuannya adalah tentu saja menciptakan masyarakat konsumeris baru. []