Mubadalah.id – Rangkaian panjang peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, merupakan momen yang tepat untuk menjadi refleksi akhir tahun. Terlebih hari-hari penting internasional yang memiliki relasi dengan penghapusan kekerasan untuk perempuan banyak terjadi diantara tanggal 25 November -10 Desember.
Salah satunya pada tanggal 3 Desember yang ditetapkan sebagai Hari Disabilitas Internasional, yang telah ditetapkan sejak tahun 1992 lalu. Menjadi momen penting untuk merefleksikan kondisi perempuan penyandang disabilitas di negeri ini.
Menurut data dari Komnas Perempuan, selama kurun waktu 12 tahun terakhir kasus kekerasan terhadap Perempuan Penyandang Disabilitas mengalami peningkatan hingga 800%. Hal ini diperkuat oleh temuan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) yang mencatat adanya 142 kasus hukum yang menimpa perempuan disabilitas di 11 provinsi dari tahun 2017-2019. Angka ini masih cukup tinggi mengingat yang tercatat hanya dari 11 provinsi, dan tentunya masih banyak kasus-kasus di luar sana yang tidak terekam dan tercatat secara resmi.
Kekerasan yang dialami oleh perempuan penyandang disabilitas, tak banyak berbeda dengan bentuk kekerasan yang selama ini kita ketahui. Mulai dari diskriminasi, kekerasan fisik, pemerkosaan, eksploitasi, pelecehan seksual, bahkan KDRT yang kejam dan tidak manusiawi juga kerap menimpa mereka.
Yang membedakan di sini, beban yang ditanggung oleh perempuan penyandang disabilitas bisa dua atau tiga kali lebih berat dari perempuan lain pada umumnya. Sebab, pelaku beranggapan bahwa perempuan penyandang disabilitas lebih aman untuk dijadikan objek kekerasan sebab, belum adanya kepastian hukum yang jelas bagi perempuan disabilitas yang berhadapan langsung dengan hukum.
Kondisi ini tentunya juga didorong masih minimnya kepekaan dan keterbukaan di masyarakat akan pentingnya memahami disabilitas itu sendiri. Bahkan bisa jadi, bagi sebagian orang istilah disabilitas masih terdengar asing, dan tidak memahami secara utuh apa dan siapa penyandang disabilitas itu. Belum terbentuknya masyarakat yang memahami pentingnya membangun ruang aman bagi para penyandang disabilitas khususnya perempuan, membuat mereka rentan menjadi korban kekerasan.
Padahal, sudah hampir genap 30 tahun sejak Hari Disabilitas Internasional ini dicetuskan. Namun, angka kekerasan yang menimpa penyandang disabilitas terlebih perempuan justru mengalami peningkatan. Hal ini menjadi keprihatinan kita bersama tentunya, agar para penyandang disabilitas tidak lagi dianggap berbeda, atau mudah diperdaya sebagai korban kekerasan. Akan tetapi, bagaimana kemudian, lingkungan yang ada bisa menjadi ruang yang nyaman dan aman bagi para penyandang disabilitas khususnya perempuan, untuk tetap menjadi diri mereka sendiri.
Ruang Belajar dan Berkarya yang Inklusif
Awal Oktober lalu, salah satu perempuan penyandang disabilitas daksa dari Kabupaten Bondowoso, berhasil menjadi salah satu yang memperoleh apresiasi dari Gubenur Jawa Timur, sebab dia memiliki potensi membuat batik yang indah meski menggunakan kakinya.
Selain itu, dari Kediri ada seorang perempuan yang memiliki keterbatasan fisik sejak kecil, berhasil menuliskan buku tentang kehidupan para penyandang disabilitas yang berada di rumah rehabilitas. Dan masih banyak lagi perempuan penyandang disabilitas di luar sana yang memiliki potensi untuk berkarya dan menghasilkan sesuatu yang membanggakan, tidak hanya bangi dirinya tapi bahkan bagi bangsa Indonesia.
Jika membaca dan melihat beberapa pencapaian dari perempuan disabilitas saat ini, kemudian muncul pertanyaan. Mengapa masih kerap terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan difabel? Penyebabnya adalah masih minimnya kesadaran masyarakat terhadap inklusi disabilitas.
Yang dimaksud di sini adalah, bagaimana kemudian publik bisa menjadi ruang yang dapat melibatkan para penyandang disabilitas terlebih perempuan untuk turut aktif dalam kegiatan sehari-hari. Mereka dapat memiliki peran dan partisipasi yang sama serta setara dengan orang lain yang non-disabilitas.
Saat budaya inklusi disabilitas telah terbangun, akan membuat mereka dapat merasakan manfaat yang sama terhadap banyak hal terlebih di ruang publik. Terlebih, di lingkungan publik yang masih terkesan patriarki, ruang-ruang yang inklusif perlu dibangun. Agar para perempuan penyandang disabilitas tidak lagi menjadi korban, tetapi mereka tetap bisa terus membangun potensinya.
Untuk menciptakan ruang belajar dan berkarya yang inklusif, maka perlu kemudian menjadikan para perempuan disabilitas sebagai pelaku penuh baik dalam merancang kebijakan ataupun saat pengimplementasiannya. Jadi mereka tidak lagi sekedar menjadi objek yang menjalankan kebijakan, akan tetapi kebijakan-kebijakan yang lahir rensponsif terhadap kondisi para difabel serta partisipasi penuh mereka dibutuhkan di sana.
Ruang belajar inklusif diperlukan agar, perempuan penyandang disabilitas dapat tetap mengenyam pendidikan dan memperoleh ilmu pengetahuan tanpa dibatasi oleh kondisi mereka. Perempuan-perempuan non-disabilitas saja masih kerap kali terdiskriminasi untuk tidak memperoleh pendidikan, bagaimana kemudian jika dia masih menyandang disabilitas. Tentu akan sangat sulit, kemudian untuk mereka memperoleh akses pendidikan yang setara.
Bahkan tak jarang, sangat memungkinkan keluarga terdekat mereka akan memberikan batasa-batasan, atau tidak menjadikan mereka prioritas untuk memperoleh pendidikan. Selain itu, ruang-ruang pendidikan perlu kemudian menjadi ruang yang bebas diskriminasi, sehingga siapa saja dapat memperoleh hak yang sama untuk mengakses ilmu pengetahuan.
Selain ruang belajar, ruang berkarya yang inklusif juga tidak kalah pentingnya untuk dibangun. Potensi-potensi yang dimiliki perempuan disabilitas adalah suatu hal yang jarang dimiliki orang lain. Bahkan semangat serta motivasi mereka untuk berprestasi sangatlah tinggi. Sehingga yang diperlukan kemudian adanya support serta ruang yang aman untuk mereka berkarya.
Hadirnya lingkungan terdekat yang mampu untuk memberikan kebebasan para perempuan disabilitas untuk berkarya, akan mengikis stigma negatif terhadap mereka. Dan juga apresiasi penuh dari keluarga, kerabat, teman, bahkan hingga pemerintahan merupakan bagian dari ruang aman ini, agar mereka tetap percaya diri untuk terus berkarya dan menjadi inspirasi.
Sehingga, di sini kemudian perlu adanya peran dari pemerintah sebagai pemangku kebijakan untuk benar-benar membangun lingkungan dengan kebijakan yang inklusif. Inklusif di sini meliputi tidak adanya diskriminasi agar setiap orang dalam membangun kesalingan dan kesetaraan tanpa memandang fisik. Melakukan desain universal berupa produk dan lingkungan yang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja termasuk para perempuan penyandang disabilitas.
Serta melakukan akomodasi yang memungkinkan para penyandang disabilitas dapat menggunakannya semaksimal mungkin. Dan terakhir, perlu adanya pelurusan stigma agar masyarakat dapat memiliki pemahaman yang sama bahwa perempuan disabilitas mampu berkarya dan melakukan banyak hal di ruang publik sebagaimana non-disabilitas.
Dengan terciptanya ruang belajar dan berkarya yang inklusif serta mendapatkan perhatian penuh pemerintah, tentunya akan memunculkan harapan baru, di masa yang akan datang tidak ada lagi menjadikan perempuan penyandang disabilitas sebagai objek kekerasan. Tapi mereka akan menjadi para memimpin hebat masa depan bangsa dengan karyanya yang menginspirasi banyak orang, terlebih menjadi motivasi sesama perempuan penyandang disabilitas yang masih belum memiliki kepercayaan terhadap dirinya sendiri. []