Mubadalah.id – Orientasi berislam adalah mencapai kebaikan. Lebih luas lagi adalah menempuh segala jalan kemaslahatan demi meraih keridaan Allah Swt. Sedangkan Nabi Muhammad Saw sendiri mendefinisikan, “Kebaikan adalah akhlak mulia, dan keburukan adalah sesuatu yang membuat hatimu ragu.” (HR. Muslim).
Demi mengawal target kebaikan itu, kemudian lahirlah syariat. Syariat ialah rambu-rambu yang memiliki tujuan secara menyeluruh, yakni kemaslahatan di dunia dan akhirat.
Di pesantren, para santri lazim dikenalkan dengan pembahasan tersebut melalui istilah maqasidh syariah dengan lima unsur pokoknya alias kulliyat al-khams. Yaitu, hifdh al-nafs (menjaga jiwa), hifdh al-diin (menjaga agama), hifdh al-‘aql (menjaga akal), hifdh al-nasl (menjaga nasab), dan hifdh al-mal (menjaga harta).
Tidak cukup itu. Dalam pakem yang lebih sederhana, misi pengawalan itu pun dicakup dalam praktik fardu kifayah amar ma’ruf nahi munkar. Dalam lingkungan yang lebih kecil, kefardu-kifayahan itu ada di kesalingan suami dan istri.
Relasi kesalingan
Dalam sebuah pernikahan ada amanat “Muasyarah bi al-ma’ruf,” menjalin relasi suami-istri dengan cara yang baik. Sedangkan kebaikan dalam sebuah relasi atau hubungan, tidak mungkin diabsahkan dalam pengertian yang cuma sebelah pihak.
Salah satu garansi Islam tentang pentingnya relasi kesalingan terdapat dalam kiasan yang dipakai pada QS: Al-baqarah: 187, “Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna,” yang bermakna, “Mereka (istrimu) adalah pakaian untukmu, dan kamu (suami) pun pakaian untuk mereka,”. Secara lebih singkatnya, ayat ini adalah bentuk penegasan mengenai kesalingan antara keduanya dalam segala sisi kehidupan berumah tangga.
Kesalingan yang diamanatkan pun bersifat menyeluruh. Suami dan istri diperintah untuk saling mencintai, menyayangi, melayani, melindungi, maupun membahagiakan sebagai sebuah pasangan. Sementara dalam ayat lainnya, yakni QS: Ar-Rum: 21 dijelaskan, bahwa tujuan berpasangan (menikah) adalah meraih “sakinah” atau ketenangan, sekaligus merupakan tanda-tanda kebesaran Allah Swt.
Tidak hanya itu, dalam Sittin ‘Adliyyah karya KH Faqihuddin Abdul Kodir ditegaskan, komitmen kesalingan inilah yang menjadi fondasi untuk memenuhi cita-cita Al-Quran mengenai kehidupan rumah tangga bahagia, sejahtera, dan penuh cinta kasih.
Rumah Tangga Islam
“Kebaikan” Islam yang didefinisikan Rasulullah Muhammad Saw berupa akhlak mulia ini penting pula diterapkan secara penuh di seluruh lini kehidupan, terlebih dalam bangunan rumah tangga.
“Dari Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda; sebaik-baik kalian adalah yang paling baik di antara kalian dalam memperlakukan keluarganya. Dan aku adalah sebaik-baik dari kalian dalam memperlakukan keluargaku.”
“Diceritakan oleh Ishaq, ia berkata: kami dikabarkan oleh Abdullah bin al-Walid, dari Sufyan, dari Hisyam, dari ayahnya, kemudian berkata: Aku bertanya kepada Aisyah, apa yang dilakukan Nabi Muhammad Saw ketika beliau berada di dalam rumah? Aisyah menjawab: sebagaimana yang dilakukan salah satu dari kalian ketika berada di rumah, yaitu memperbaiki alas kaki, menambal baju, dan menjahit.”
Kegemaran Nabi dalam memberikan pelayanan pada istri, merupakan teladan sekaligus pemahaman bahwa rumah tangga merupakan obyek amal pertama bagi seorang muslim. Maka, tak keliru, jika di awal disebutkan bahwa keluarga adalah konteks penerapan amar ma’ruf nahi munkar yang paling utama. Dengan pemahaman seperti itu, maka bisa diaplikasikan secara kasuistik ketika berbalik seorang istri mengingatkan tentang kebaikan, maka memenuhinya adalah bagian dari syariat yang diamanatkan Islam.
Secara praktik yang sederhana, misalnya, suami mematuhi istri untuk mengerjakan salat bisa dimaknai sebagai bagian dari misi memelihara agama, suami yang taat kepada istri untuk rajin bekerja bagian dari prinsip memelihara jiwa, suami yang menuruti istri untuk tidak mengkonsumsi minuman keras ialah bagian dari memelihara akal, dan seterusnya, seusai dengan tujuan-tujuan hadirnya sebuah syariat. []