Sebuah video yang berjudul “Santri Bersuara Menuntut Keadilan”, melintas di laman media sosial saya. Seorang santri perempuan berkata dengan suara lirih dan bergetar yang membuat bulu kuduk saya meremang, dan hati meradang. “Saya berharap, tidak akan terulang, dimanapun mengotori lembaga pendidikan. Apalagi ini pesantren. Masya Allah, Naudzubillah Min Dzalik. Di manapun tempat tidak terulang. Saya minta hormatilah wanita”.
Lalu di bawah video tersebut, dalam laman berita CNN Indonesia edisi Minggu 1 Maret 2020 tertulis, Kepolisian Resor Jombang mengeluarkan dimulainya penyidikan (SPDP) dengan tersangka MSA putra seorang Kiai di salah satu pondok pesantren besar di Kecamatan Ploso Jombang pada 2019 lalu.
Tapi dalam perjalanan penanganan kasusnya, kepolisian mendapat protes dari kalangan aktivis anti kekerasan terhadap perempuan. Mereka mengecam kinerja polisi yang terkesan lamban. Di sisi lain, ratusan pendukung tersangka MSA menuding laporan korban adalah kriminalisasi.
Kasus kekerasan seksual yang kerap terjadi, terutama di lingkungan pendidikan, seringkali sulit terungkap, karena dengan alasan menjaga nama baik dan marwah lembaga lebih diutamakan. Sehingga butuh keberanian ektsra untuk bisa membawa kasus ke ranah hukum, memberi perlindungan dan keadilan terhadap korban.
Bahkan Fatwa Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), sebagaimana saya lansir dari dokumen resmi proses dan hasil KUPI halaman 86-87, secara tegas mengatakan jika hukum kekerasan seksual dalam segala bentuknya, adalah haram. Baik itu dilakukan di luar maupun di dalam perkawinan, karena bertentangan dengan ajaran Islam.
Pertama, penegasan Allah SWT bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT. Oleh karenanya, mesti bersikap mulia dengan saling menjaga kehormatan dan martabat kemanusiannya.
Kedua, prinsip dasar ajaran Islam untuk melindungi kemuliaan, kemerdekaan, keadilan, persaudaraan, tolong menolong dan kesetaraan manusia, serta larangan Islam untuk merusak kehormatan dan martabat kemanusiaan, baik muslim maupun non muslim, baik dalam kondisi damai maupun perang, baik pada teman maupun pada musuh.
Ketiga, penegasan Allah SWT bahwa laki-laki dan perempuan adalah auliyaa’ (pelindung) satu sama lain, sehingga keduanya harus melindungi dan menjaga kedaulatan diri serta menjaga kedaulatan pihak lain atas dirinya.
Keempat, perintah Allah SWT secara khusus, kepada pasangan suami istri untuk saling memperlakukan secara baik (mu’asyaroh bil-ma’ruf). Salah satu dari sikap baik atau ma’ruf adalah tidak bersifat egoistis dalam hal urusan seksualitas dan tidak memaksakan kehendak seksualitas pada pasangan.
Kelima, penegakan hak asasi manusia, termasuk hak asasi perempuan, yang dijamin Islam yaitu, satu, hak kemerdekaan untuk hidup (haqq wa hurriyatun nafsi wal hayyah). Dua, hak dan kemerdekaan melakukan reproduksi dan membangun keluarga (haqq wa hurriyatun nasl wattanaasul, wa nasb wal usrah). Tiga, hak dan kemerdekaan atas kehormatan dan kemuliaan (haqq wa hurriyatul ‘iradl wal karaamah al-insaaniyyah).
Apa yang Harus dilakukan untuk Melawan Kekerasan terhadap Perempuan?
Saya mencatatkan kembali, apa yang harus dilakukan untuk melawan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, dari Buku Ensiklopedia Muslimah Reformis yang ditulis Prof. Musdah Mulia. Pertama, semua orang khususnya para pengambil kebijakan dii negara ini, harus sepakat bahwa kekerasan terhadap perempuan (KTP) adalah kejahatan kemanusiaan, dan harus dihilangkan dari kehidupan manusia.
Kedua, semua orang harus berupaya untuk tidak membiarkan KTP terjadi, sehingga perlu ada upaya-upaya preventif yang konkret dan sistemik. Termasuk dalam pendidikan, baik formal maupun non formal.
Ketiga, jika telah terjadi kekerasan terhadap perempuan, maka hal utama yang harus dilakukan adalah menolong korban secepat mungkin agar terhindar dari segala kemungkinan yang membuat kondisinya lebih parah. Terutama secara psikologis, dan tekanan mental.
Keempat, perlu membangun fasilitas pelayanan untuk penguatan hak dan kesehatan reproduksi korban. Sebab, biasanya korban mengalami gangguan terkait organ-organ reproduksinya, terutama jika masih di bawah umur.
Kelima, melakukan upaya reintrepretasi ajaran agama sehingga nilai-nilai agama yang memihak dan ramah terhadap perempuan dapat tersosialisasi dengan luas di masyarakat. Sehingga, ketika kesadaran akan kesetaraan dan keadilan gender menjadi isu sentral, maka niscaya untuk mempertimbangkan dan mendengarkan suara perempuan dalam interpretasi keagamaan.
Melalui catatan ini, penulis berharap kasus kekerasan seksual yang menimpa sejumlah santri perempuan di Jombang menemukan titik terang, dengan memberi hukuman yang seadil-adilnya terhadap pelaku, dan memberikan pemenuhan rasa keadilan dan perlindungan terhadap korban.
Sebagaimana pernyataan korban, agar kasus yang sama tidak terulang, dan tidak ada lagi suara-suara perempuan yang lirih bergetar menuntut keadilan, atas nama jiwa yang terampas, dan masa depan yang telah terhempas. []