Mubadalah.id – Pada tulisan sebelumnya “Petaka Pemimpin Pendidikan Agama tidak Amanah” telah dibahas terkait kesakralan pemimpin pendidikan agama, kali berlanjut tentang persoalan yang menuai dampak buruk dari ulah pemimpin agama yang tidak amanah seperti HW, tidak hanya sekadar bagi dirinya sendiri. Tapi juga berdampak serius bagi lembaga pendidikan agama secara umum.
Kerapkali atas oknum seperti HW lantas banyak masyarakat umum yang kemudian men-genalisir ke yang lain. Seperti halnya petaka buruk dari ulah HW saat ini. Pemberitaan sejumlah media turut menyeret lembaga agama, bahkan mencitrakan seakan pemimpin agama banyak seperti HW.
Ini tentu sangat merugikan bagi seluruh lembaga pendidikan agama secara umum, serta mencitrakan buruk ke pemuka agama. Padahal apa yang dilakukan HW adalah pribadi HW sendiri, perilaku bejatnya adalah dosanya sendiri. Jadi memang dampak dari pemimpin agama tidak amanah justru lebih serius membawa kemadharatan semakin besar dan cakupannya sangat luas.
Ironisnya, bagi sebagian orang tua sampai turut berpikir negatif terhadap pendidikan agama dan akhirnya yang awalnya berencana menyerahkan putra putrinya ke lembaga pendidikan agama sampai diurungkan. Padahal lembaga pendidikan agama memiliki manfaat ganda untuk kehidupan dunia dan akhirat, karena ajaran umum bagi siswa didiknya dapat bekal untuk sukses dunia dan pendidikan agama sebagai bekal kesuksesan di akhiratnya.
Di samping itu, membincang soal pendidikan agama dalam konteks di Indonesia juga sudah berjuta-juta bukti output-nya sangat sukses. Terlebih lembaga pendidikan agama seperti pesantren yang bahkan sudah ada di Indonesia jauh sebelum bangsa ini merdeka. Lulusan pesantren telah terbukti bisa sukses di berbagai bidang, usaha, profesional, dan bahkan tak sedikit jebolan pesantren yang telah menduduki pimpinan tertinggi di pemerintahan di Indonesia sejak awal merdeka hingga saat ini. Tentu sangat disayangkan, jika gara-gara oknum seperti HW lantas lembaga pendidikan agama turut terciprak noda buruknya. Ini tentu sangat memprihatinkan.
Butuh Perhatian dan Penanganan Serius Bersama
Mengutuk perbuatan HW sebagai sanksi sosial memang perlu untuk menjadikan kesadaran berjamaah soal skandal asusila butuh perhatian serius. Tapi harapannya, tentu tidak hanya sekadar terhenti sampai di sini saja. Perlu dilakukan secara berjamaah untuk penanganan kasus seperti ini dengan menjalankan prinsip peventif, represif, dan kuratif-nya. Ini harus dilakukan dengan serius oleh semua pihak dan dengan strategi yang taktis agar tidak terulang kejadian sama oleh orang yang berbeda.
Hemat penulis setidaknya dari berbagai pihak dengan positioning-nya perlu turut terjun dengan serius menangani hal ini dan menjadikan kasus HW sebagai momentum bersama untuk berbenah demi menciptakan masyarakat yang berakhlakul karimah dan taat beragama.
Pertama, adalah kesadaran bersama dalam memilih pemimpin. Ini sebagai salah satu bentuk tindakan preventif (pencegahan) yang dilakukan dengan prinsip bottom up (dari bawah ke atas) untuk terjadinya kesalahan dalam memilih pemimpin agama yang selanjutnya sangat merugikan.
Dalam Islam diperintahkan dalam memilih pemimpin hendaknya menimbang beberapa hal, di antaranya yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat.
Dalam konteks pemilihan pemimpin lembaga pendidikan agama memang memiliki kekhasan tersendiri. Umumnya kepemimpinan mereka memang muncul dari kepercayaan masyarakat karena keilmuan dan kealimannya. Karena itulah, dalam proses pemilihan ini bisa dijadikan sebagai kontrol. Masyarakat harus penuh kesadaran dalam melegitimasi seorang pemimpin pendidikan agama dengan belajar dan menyerahkan putra putrinya kepada mereka. Hendaknya melihat bagaimana prinsip di atas, bagaimana diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari.
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Allah SWT Yusuf ayat 55, “yakni seorang Muslim yang memiliki dua sifat, hafizhun ‘alim.” “Hafizhun” artinya adalah seorang yang pandai menjaga. Yakni, seorang yang punya integritas, kepribadian yang kuat, amanah, jujur dan akhlaknya mulia, sehingga patut menjadi teladan. Tentu jika memilih pemimpin dengan kriteria tersebut, bisa dihindari atau meminimalisir akan terjadi kasus seperti skandal HW.
Kedua, tindakan preventif selanjutnya dilakukan dengan top down atau dari atas ke bawah. Dalam konteks lembaga pendidikan agama seperti madrasah yang di bawah naungan Kemenag RI perlu adanya penegakan regulasi.
Sejauh ini memang persoalan kompetensi menjadi kepala madrasah peraturannya menginduk kepada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendikas) Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, yang mencakup 5 kompetensi, yaitu kepribadian, manajerial, supervisi, kewirausahaan, dan sosial.
Adapun regulasi langsung dari Kemenag adalah Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 24 Tahun 2018 yang diberlakukan mengganti PMA Nomor 58 Tahun 2017 tentang Kepala Madrasah (Kamad) memuat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi seorang guru, baik pada madrasah negeri/swasta untuk diangkat menjadi Kamad.
Namun tidak ada secara spesifik yang mengatur soal kriteria Kamad dan sifatnya lebih kepada integritas. Sekalipun demikian, jika proses pemilihan dilakukan dengan cermat dalam menimbang kompetensi kepribadian berdasarkan Permendikbud, seharusnya tersaring juga Kamad yang memiliki kapabilitas dan integritas.
Sebab, dalam kompetensi kepribadian indikatornya adalah berakhlak mulia, mengembangkan budaya dan tradisi akhlak mulia, dan menjadi teladan akhlak mulia bagi komunitas di sekolah/madrasah, dan memiliki integritas kepribadian sebagai pemimpin.
Menimbang hal itu memang penting pengetatan dalam penyaringan terkait calon Kamad di kompetensi kepribadiannya melalui supervisor dari Kemenag, atau jalan lainnya adalah bisa dibuat sekaligus PMA tersendiri sebagai penegasan untuk kompetensi kepribadian.
Nah, lebih dilematis bagi lembaga pendidikan agama yang berbentuk pesantren menjadi. Di sisi lain posisi pesantren memang bernauh di bawah Kemenag, namun sebagai lembaga pendidikan yang sifatnya didirikan oleh masyarakat, memiliki kemandirian tersendiri dan belum ada intervensi soal kompetensi atau syarat khusus untuk kualifikasi menjadi pimpinan pesantren.
Bahkan di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren pun tidak ada membahas perihal tersebut. Di sisi lain memang bisa dipahami bagaimana posisi Kemenag dan pesantren yang tidak bisa intervensi secara langsung perihal ini. Pasalnya, pesantren lembaga pendidikan agama tertua di Indonesia, berdirinya pesantren bahkan jauh sebelum bangsa ini merdeka, dan kontribusinya sangat besar bagi bangsa.
Pesantren juga sangat mandiri dalam pendiriannya, bisa dikatakan tidak ketergantungan dengan pemerintah. Kemenag pun jadi dilematis dalam hal ini memposisikan diri di hadapan pimpinan pesantren. Pasalnya, perihal agama mereka bahkan umumnya justru menjadi guru dari para pejabat di Kemenag sendiri.
Namun di lain sisi, beberapa oknum juga bisa memanfaatkan ini menjadi celah untuk tujuan dan kepentingannya sendiri. Ada sejumlah pimpinan pesantren yang sebenarnya tidak memiliki kualifikasi dalam kemampuan agama dan kepribadian, dan akhirnya justru membuat gaduh dengan dalil agama dan bahkan akhirnya banyak yang berkasus.
Ini artinya, perlu dipikirkan kembali dengan serius para pejabat berwenang dalam pembuatan regulasi terkait pimpinan pondok pesantren untuk disertakan juga kualifikasi dan kompetensi, serta mekanismenya. Meski mungkin di lapangan akan tidak mudah untuk dilakukan, tapi pemerintah dan DPR perlu memikirkan kembali dengan serius.
Ketiga, melihat begitu banyaknya kasus di lembaga pendidikan agama yang tidak ramah dalam memenuhi hak anak, meski tidak sampai seserius skandal HW, mengindikasikan sangat perlu dijalankan dengan serius program Madrasah Ramah Anak (RMA) dan Pesantren Ramah Anak (PRA) yang digagas oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan Kemenag.
Program ramah anak yang digagas untuk diterapkan di madrasah dan pesantren tersebut pada dasarnya selain akan menjaga hak-hak anak sesuai Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Ratifikasi Konvensi Hak Anak, yang memuat tentang hak kelangsungan hidup, hak perlindungan (perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, dan keterlantaran), hak tumbuh kembang (hak memperoleh pendidikan, dan hak mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial), dan hak berpartisipasi (hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang memengaruhi anak), juga sekaligus akan melindungi dari hal-hal yang merugikan bagi anak secara komprehensif baik potensi yang dilakukan dari pimpinan lembaga pendidikannya, tenaga pendidiknya, maupun dari sesama santri atau anak didik.
Artinya, keseriusan dalam menjalankan program ini juga bisa menjadi tindakan preventif top down dan sekaligus multimanfaat, ibarat sekali dayung dua pulau terlewati. Karena secara tidak langsung juga ada edukasi bagi pimpinan lembaga pendidikan.
Keempat, keseriusan dalam penyempurnaan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS) dan pengesahannya juga bisa menjadi salah satu tindakan represif secara spesifik untuk kasus kekerasan seksualitas di lembaga pendidikan agama. Karena butuh payung hukum yang kuat untuk memberikan hukuman setimpal bagi para pelaku kekerasan seksual, bahkan tidak sekadar dalam konteks yang dilakukan oleh pimpinan pendidikan agama, namun juga sekaligus berlaku untuk melindungi kekerasan seksual secara umum bagi siapa pun dan potensi yang dilakukan oleh siapa saja. Ini bisa menjadi momentum untuk kembali serius bagi pemerintah dan DPR untuk mengetuk palu UU PKS.
Kelima, adalah langkah kuratif. Kasus seperti HW meski sangat tidak manusiawi, namun negara ini adalah negara hukum. Tidak dipungkiri, tentu harapan mayoritas masyarakat dengan skandalnya menginginkan diberikan hukuman yang stimpal agar berdampak jera bagi pelaku dan sekaligus kepada siapa saja agar tidak mencoba melakukan skandal yang sama. Namun apa pun itu keputusan yang akan dilakukan di pengadilan diharapkan akan menjadi langkah kuratif yang benar-benar berdampak bagi pelaku untuk menyesali perbuatannya dan berubah menjadi lebih baik ke depannya.
Prinsipnya, ini adalah permasalahan sangat serius menyangkut kepemimpinan lembaga pendidikan agama, sekaligus potret darurat kejahatan seksual yang terjadi di negara ini. Tidak bisa diselesaikan hanya dari satu pihak penegak hukum saja atau pemerintah, namun setiap kita memiliki peran untuk andil dalam membenahi krisis kepemimpinan dan demoralisasi yang akut ini. Wallahu a’lam bish-shawab. []