Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, tepatnya pada tanggal 19 februari 2022, Kalis Mardiasih membagikan cuitan di akun Twitter pribadinya. Cuitannya tersebut membagikan artikel dari Forbes.com dengan headline “Council Post: Six Ways Companies Can Better Support Women in The Pamdemic Workplace.”
Artikel tersebut membahas mengenai langkah-langkah yang dapat diambil oleh perusahaan untuk memperbaiki permasalahan perempuan yang terekspose setelah adanya pandemi Covid-19 dan bagaimana kebijakan dapat dibuat untuk mendukung perempuan di tempat kerja menjadi lebih baik.
Kalis Mardiasih, dalam tweetnya berkomentar: “bagaimana membuat kebijakan yang empowering women di tempat kerja di Indonesia?” Ia mengatakan keenam poin yang terdapat dalam artikel yang dibagikan sangat menarik. Alih-alih, keenam poin tersebut dapat dijadikan dasar dalam membuat sebuah kebijakan.
Tentunya, respons netizen akan beragam. Ada salah satu respons yang menarik dan memantik perbincangan. Respons tersebut disampaikan oleh pemilik akun Twitter @WinnerJhonshon, kira-kira cuitannya seperti ini “Kenapa narasi empowering women itu selalu diarahkan kepada perempuan dan bukannya mendorong mereka untuk bisa fighting just like all men fighting? Kalau harus diginikan terus ya selamanya perempuan ga akan setara dengan laki-laki. Tetap dibelakang.”
Si pemilik akun mungkin ingin menyampaikan, jika perempuan diberi hak istimewa yang tidak diberikan juga kepada laki-laki bagaimana perempuan akan bisa dianggap setara, mengapa perempuan seolah-olah malah menuntut adanya pembedaan bukannya berjuang keras untuk bisa setara. Dengan adanya pembedaan, seolah-olah perempuan dilemahkan dan akan tetap diakui sebagai makhluk nomor dua. “When women are taking a break, men are running without stopping. So, when will the race be equal? When will women run as far, as fast as men?” Tulis si pemilik akun.
Komentar si pemilik akun layaknya seperti komentar orang-orang yang sering mengajukan pertanyaan “Kenapa sih kok perempuan kayaknya mau diistimewakan terus? Katanya mau setara!” Tentu, terlihat dengan jelas bahwa komentar seperti itu tak menggambarkan adanya sensitifitas gender dalam pemikiran mereka.
Perlu diketahui, kesetaraan gender sebagai perspektif atau parameter untuk membuat sebuah kebijakan bukan hanya tentang bagaimana laki-laki dan perempuan memiliki porsi yang sama. Tetapi, terdapat kondisi-kondisi khusus yang mengharuskan adanya pembedaan yang dilakukan dalam pembuatan kebijakan untuk perempuan dan laki-laki.
Dengan keadaan biologis perempuan, di mana perempuan mengalami menstruasi, mengandung, melahirkan, dan nifas, perlu ada perlakuan khusus yang dapat diakomodir dalam sebuah kebijakan untuk menjamin kehidupan yang baik dan layak, terutama dalam hal ini konteksnya adalah perempuan pekerja.
Dalam artikel yang dibagikan oleh Kalis Mardiasih, dijelaskan enam poin yang dapat dilakukan untuk menjadi jalan membuat sebuah kebijakan yang adil dan setara, terutama bagi perempuan yang kerap kali mengalami diskriminasi di dunia kerja karena keadaan biologisnya, dan mereka cukup sulit untuk mendapatkan hak-haknya sebagai perempuan.
Poin-poin tersebut yaitu, mempertimbangkan identitas perempuan lainnya – status perkawinan, ras, budaya, status imigrasi, apakah perempuan itu seorang ibu, dsb -, menawarkan berbagai bentuk fleksibilitas, melakukan perubahan pada ruang kantor – adanya ruang menyusui dan area tenang -, mempekerjakan lebih banyak perempuan berwarna, memberikan cuti khusus, dan yang terakhir yaitu berinvestasi dalam pendidikan seputar masalah perempuan di tempat kerja.
Di Indonesia sebetulnya sudah ada Parameter Kesetaraan Gender dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat oleh Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian PPPA, dan Kementerian Dalam Negeri. Dalam laporan kajian tersebut, dijelaskan mengapa perlunya parameter gender dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pertama, masih terjadinya kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat dan partisipasi dalam pembangunan serta penguasaan terhadap sumber daya. Kedua, masih tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan. Ketiga, masih rendahnya peran dan partisipasi perempuan di bidang politik, jabatan publik, dan bidang ekonomi. Keempat, masih banyaknya hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias gender, diskriminasi terhadap perempuan dan belum peduli anak.
Kemudian, dijelaskan pula bahwa upaya memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender yang terkandung dalam Konvesi CEDAW, mengacu pada tiga prinsip kesetaraan yaitu, prinsip kesetaraan substantif, prinsip non-diskriminasi, dan prinsip kewajiban negara.
Prinsip kesetaraan substantif merupakan langkah untuk menganalisis hak perempuan dan ditujukan untuk mengatasi adanya perbedaan, disparitas atau kesenjangan atau keadaan yang merugikan perempuan. Dengan menggunakan paradigma “prinsip kesetaraan substantif”, menekankan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga, perempuan memiliki hak-hak khusus yang harus diberikan. Bukan karena perempuan ingin diistemewakan, tetapi karena perempuan memiliki perbedaan kondisi dengan laki-laki.
Parameter dalam pembuatan kebijakan tersebut dan prinsip-prinsipnya, kiranya dapat menjadi acuan bagi perusahaan-perusahaan dalam pembuatan aturan atau kebijakan di perusahaannya bagi para perempuan pekerja untuk menjamin hak-hak perempuan, dan kebutuhan perempuan yang beragam dapat terpenuhi.
Tidak hanya untuk perbedaan kondisi perempuan dengan laki-laki (karena biologis perempuan), sehingga perempuan pekerja mesti dijamin hak-haknya dalam sebuah kebijakan yang sensitf gender. Namun, kebijakan tersebut diperlukan juga karena melihat masih marak dan tingginya kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan pekerja di Indonesia. Ida Fauziyah Menteri Ketenagakerjaan menyampaikan, berdasarkan Susenans oleh BPS pada 2019 terdapat 46.376 perempuan pekerja yang mengalami kekerasan di tempat kerja.
So, kesetaraan bukan hanya tentang pemberian porsi yang sama atau perempuan ingin diistimewakan. Tapi, bagaimana porsi itu diberikan baik untuk laki-laki ataupun perempuan dengan menyesuaikan kebutuhan masing-masing. Sehingga, keduanya memiliki cara sendiri untuk fighting. Kesetaraan ini dapat dijamin melalui kebijakan, khususnya bagi perempuan pekerja yang rentan mengalami ketidakadilan berbasis gender dalam berbagai bentuk. []