Mubadalah.id – Tulisan ini akan diawali dengan kegelisahan saya pribadi sebagai perempuan yang ada di Indonesia. Beberapa waktu lalu, social media kita dihebohkan dengan postingan salah seorang ustadz online yang membahas mengenai dosa jariyah perempuan. Dimana salah satu dosa tersebut adalah ketika seorang perempuan memposting fotonya di social media. Beliau mengklaim dosa yang ditanggung perempuan tersebut abadi meskipun yang bersangkutan sudah meninggal.[1] Postingan tersebut di-repost jutaan kali oleh netizen.
Meskipun memunculkan berbagai kontroversi, namun postingan tersebut berdampak terhadap kebiasaan baru netizen. Banyak perempuan takut dengan dosa jariyah perempuan hingga akhinya menghapus foto pribadi, atau memposting foto tapi menutup bagian muka dengan gambar atau di blur.
Terlepas dari pro dan kontra dosa jariyah perempuan yang ada, jelas postingan tersebut telah merubah kebiasaan yang cukup signifikan. Padahal jika dikaji lebih dalam, tak hanya perempuan laki-laki juga memiliki potensi untuk mendatangkan kemadharatan atas postingan-postingan di sosial media. Itulah kenapa Islam menganjurkan untuk gadhul bashar atau menundukkan pandangan, tanpa memandang jenis kelamin.
Kembali lagi pada klaim dosa jariyah perempuan tadi, meskipun saya anggap kegelisahan namun di waktu yang sama bisa menjadi peluang. Seiring dengan meningkatnya religious sentiment pada masyarakat Indonesia, maka hal-hal duniawi yang dibalut dengan bungkus Islami akan banyak diminati, diyakini, dan diikuti.
Sebut saja fenomena syariatisasi yang semakin menjamur di berbagai lini. Laundry Syariah, kaos kaki Syariah, bank Syariah, cilok Syariah, peci Syariah, piyama Syariah. Meskipun semuanya bermuara pada kapitalisasi industri namun balutan Syariah mampu menarik mangsa pasar.[2]
Peluang dosa jariyah perempuan ini bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan kesadaran masyarakat, salah satunya mengenai kelestarian lingkungan. Karena selain aurat, ada dosa besar jariyah perempuan lain yang dilakukan namun kita tak menyadari bahwa hal tersebut adalah sebuah dosa jariyah yaitu membuang sampah sembarangan.
Saat ini kita berada di fase dimana daya rusak dunia tinggi, kemiskinan merajalela, perusakan lingkungan di depan mata, petani dikriminalisasi, lahan pertanian menyempit, masyarakat agraris dipaksa menjadi masyarakat industrial.
Ulama dan para dai focus pada kajian ukhrawi semata, seolah ibadah hanya untuk menyiapkan bekal ketika mati, dan berhubungan dengan akhirat saja. Sehingga hal-hal duniawi dianggap sebagai di luar dimensi agama, dan tidak memiliki korelasi dengan ibadah mahdhah yang berdampak pada kehidupan akhirat. Padahal menanam pohon, melestarikan lingkungan, memastikan Islam sebagai Rahmatan Lil’alamin termasuk pada lingkungan, semua itu adalah bagian dari Amanah agama Islam yang harus dijalankan oleh khalifatullah fil ardhi.
Oleh karena itu mengingat semakin maraknya dakwah di dunia maya dan diiringi dengan tingginya religious sentiment di Indonesia, pesantren harus mengambil peran di sini. Untuk memastikan apa yang tersebar di dalam dakwah baik di dunia nyata maupun dalam dakwah virtual tersebut responsive terhadap kesadaran untuk menjaga lingkungan.
Peluang Pesantren Menebarkan Islam Rahmatan Lilalamin Melalui Eco pesantren
Hal yang perlu dilakukan pertama kali adalah memetakan basis masyarakat yang luas. Menurut data Education Management and Information System (EMIS) Departemen Agama RI, tahun 2001 di seluruh Indonesia terdapat 11.312 pesantren dengan jumlah santri sebesar 2.737.805 jiwa.[3] Eksistensi dan kontribusi pesantren dengan jumlah Sumber Daya Manusia yang melimpah bisa dioptimalkan, untuk mendukung dakwan Islam berpendekatan eco pesantren.
Maka pesantren dewasa ini dituntut untuk tidak lagi berfokus pada meraih kebahagiaan akhirat saja, namun terlibat pula dalam mengembangkan dan membangun karakter kehidupan dunia yang lebih adil dan sejahtera. Pondok pesantren bukan hanya sebagai pendidikan keagamaan untuk mencetak generasi berperilaku Islami, tetapi sekaligus mampu membuktikan diri sebagai lembaga perekonomian guna menyejahterakan santri serta masyarakat luas.[4]
Dari 11.312 pesantren yang ada di Indonesia, 78 persen atau 8.829 pesantren berada di pedesaan. Sedikitnya 2.429 pesantren berlokasi di daerah pertanian dan 1.546 berada di daerah pesisir. Potensi lokasi ini bisa dimanfaatkan pesantren untuk memperkuat sektor pertanian dan perikanan, terlebih kedua sektor tersebut merupakan sektor paling potensial untuk mengatasi permasalahan ekonomi bangsa.
Aktifitas manusia dalam kehidupan sehari-hari memiliki kecenderungan merusak. Maka pesantren harus mulai memasukkan kurikulum berbasis lingkungan, termasuk dalam praktik sehari-hari. Pengetahuan dibuat di pesantren harus dirancang untuk menyelamatkan lingkungan dan bumi.
Salah satu yang bisa diterapkan adalah dengan adalah pelaksanaan pembelajaran agropreneur di ruang kelas maupun di luar kelas, misalnya sawah maupun pesisir pantai. Ruang kelas ditata sedemikian rupa sehingga peserta dapat kontak langsung dengan pengajar dan dengan sesama peserta. Pembelajaran diakhiri dengan pelatihan kewirausahaan.[5]
Pesantren melalui kurikulumnya bisa mendorong santri untuk lebih mencintai alam dengan praktik secara langsung menjadi agropreneur di pesantren. Kurikulum tersebut mencakup cara-cara bercocok tanam, pengembangan bibit unggul, cara pengolahan hasil pertanian, dan lain sebagainya. Sehingga Ketika santri tersebut lulus, mereka juga terbiasa melakukan pelestarian lingkungan di tempat tinggalnya, pun tidak berprofesi sebagai petani maupun nelayan.
Ketika pesantren sudah membiasakan santrinya untuk bercocok tanam sebagai salah satu upaya untuk melestarikan lingkungan, maka akan terkonstruk dalam benak santri bahwa melestarikan lingkungan sama pentingnya dengan dakwah dari mimbar ke mimbar. Bercocok tanam dan upaya melestarikan lingkungan adalah bagian yang tak terpisah dari inti dakwah Islam yang Rahmatan Lilalami termasuk untuk alam dan lingkungan. []
[1]https://muslima.hops.id/waspada-dosa-jariyah-dosa-yang-terus-mengalir/, https://medan.tribunnews.com/2021/03/04/hukum-wanita-pasang-foto-seksi-atau-pakaian-ketat-di-media-sosial-dosanya-mengalir-meski-meninggal, https://fajar.co.id/2020/07/07/memajang-foto-dengan-aurat-terbuka-di-media-sosial-akan-jadi-dosa-jariyah/
[2] Agnia Addini, Fenomena Gerakan Hijrah di Kalangan Pemuda Muslim Sebagai Mode Sosial, Journal of Islamic Civilization. Volume 1, Nomor 2, Oktober 2019, Hal. 118
[3] Kementerian Agama Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Education Management Information System (EMIS) http://emispendis.kemenag.go.id/, diakses tanggal 04/10/2021
[4] Ansori, “Model Pengembangan Kewirausahaan Santri Melalui Pondok Pesantren Berbasis Budaya Agrabisnis Tanaman Palawija,” Bandung: Jurnal Ilmiah STKIP Siliwangi Bandung 8 (2014).
[5] Dudi Badruzaman, Meningkatkan Kualitas Lulusan Pondok Pesantren Melalui Islamic Agropreneur School Upaya Mengurangi Pengangguran Di Indonesia, Jurnal Muslim Heritage. vol. 4 No 2, November 2019, 16.