Mubadalah.id – Di dalam diri perempuan terdapat struktur maupun siklus yang kompleks. Karena kekompleksitasan ini, tidak salah jika lahir dalam ilmu Fiqh satu tema besar tersendiri yang disebut sebagai Fiqhun Nisa’ (Fiqh (memahami) Perempuan). Salah satu konsentrasi dalam tema besar Fiqhun Nisa’ ini adalah pembahasan tentang darah atau bisa disebut sebagai Fiqh Darah Perempuan. Artikel ini akan membahas tentang belajar fiqh perempuan dari Ning Sheila Hasina.
Dalam teorinya, Fiqh Darah Perempuan banyak diulas dalam kitab-kitab seperti Ibanah wal Ifadhoh karya Sayyid Abdurahman Assegaf, Risalatul Mahidh karya KH. Masruhan Ihsan, Uyunil Masail Linnisa’ terbitan Lirboyo dan kitab-kitab lainnya. Namun dalam teorinya, Fiqh Darah Perempuan mengalami kompleksitas pembahasan masing-masing perempuan yang perlu diurai secara kasuistik tidak dipukul rata.
Mencari sumber ilmu yang konsen di bidang Fiqh Darah Perempuan bagi saya tidak mudah. Sebab dalam mempelajari Fiqh Darah Perempuan, diperlukan adanya kejelian dan perhitungan yang cukup rumit untuk memastikan jenis darah yang keluar.
Jika ilmu waris menjadi ilmu yang pertama kali akan diangkat dari muka bumi karena rumitnya pembahasan sehingga tidak ada lagi yang mau mempelajari dan mempraktikkannya, maka jangan sampai hal ini juga berlaku dalam ilmu Fiqh Darah Perempuan.
Saya beberapa kali mendapat pesan WhatsApp untuk menghitungkan siklus haid beberapa teman. Ketika saya tanyakan beberapa hal tentang durasi adat kebiasaan haid dan periode masa sucinya, mereka seringkali bingung, ujung-ujungnya, mereka akan mengeluhkan “kok rumit ya, harus ada perhitungan dari siklus sebelum-sebelumya”. Jika sudah demikian, saya menjadi merasa bersalah, jangan-jangan selama ini saya yang salah dalam memahami materi Fiqh Darah Perempuan.
Kerumitan ini tentu saya sampaikan bukan dalam rangka menakut-nakuti. Islam agama yang mudah (إن الدين يسر) dan setiap kerumitan yang kita alami akan menjadikan kita memperoleh jalan yang justru mudah (المشقة تجلب التيسير). yang perlu kita lakukan adalah berupaya untuk belajar, mencari sumber ilmu tersebut dan mempraktikannya. Selebihnya, jika benar maka Alllah berikan pahala, namun jika-pun salah, yakinlah Allah tetapkan untuk kita pahala karena kita telah berusaha.
Adalah Ning Sheila Hasina, salah seorang putri keturunan Masayikh Pondok Pesantren Lirboyo KH. Hasan Zamzami dan Nyai Hannah Zamzami, yang konsen dibidang fiqh darah perempuan. Debutnya memberikan ceramah-ceramah terkait Fiqh Darah Perempuan tidak diragukan lagi.
Salah satu kontribusi cukup besar dari Ning Sheila Hasina adalah menghidupkan grup akun “Materi Uyunul Masaail Linnisa’”(https://t.me/Materiuyun) pada media telegram. Grup ini awal mulanya diinisiasi oleh Ning Nur Amiroh yang selanjutnya dikembangkan bersama-sama dengan Ning Sheila Hasina dan beberapa “Nawaning” lainnya.
Selain menjabarkan secara definitif dengan detail darah perempuan dalam video praktis maupun catatan-catatan yang memahamkan, ada hal menarik yang juga dibahas dalam grup kajian Fiqh Darah Perempuan Ning Sheila Hasina dan Ning Nur Amiroh dalam akun telegram tersebut, yaitu tentang beberapa kesalahan pemahaman pada perempuan yang seringkali terjadi.
Ada setidaknya dua jenis kesalahan pemahaman yang dialami sebagian perempuan dalam menentukan darah haid atau darah istihadhah. Dua hal tersebut adalah:
Pertama, perhitungan masa haid dan masa istihadhah. Dalam flayer yang diunggah disebutkan, Keluar darah 6 hari, berhenti 17 hari, keluar darah 8 hari. 6 hari haid, 8 hari istihadhoh karena maksimal haid 15, minimal suci 15. Perhitungan suci dimulai dari hari ke 16 sedangkan darah 8 hari keluar sebelum suci 15.
Selanjutnya dijelaskan, hukum yang benar: KD (keluar darah) 6 hari, B (berhenti) 17 hari, KD (keluar darah) 8 hari maka haidnya 6 hari dan 8 hari (karena darah 8 hari keluar setelah minimal masa suci 15 hari) perhitungan masa suci tidak perlu menunggu 15 hari tapi langsung terhitung ketika darah berhenti.
Kedua, praktik ibadah yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan saat haid atau istihadhoh. Pemahaman yang salah: orang yang istihadhah wajib berpuasa dan wajib mengqadhanya. Dan saat puasa ketika akan shalat tetap harus menyumbat farjinya. Hukum yang benar: istihadhah sama seperti layaknya orang yang suci. Wajib puasa, shalat dan hukumnya sah sehingga puasanya tidak perlu diqadha. Dalam keadaan puasa ketika ia akan shalat tidak diperbolehkan menyumbat farjinya karena akan membatalkan puasa.
Belajar Fiqh Darah Perempuan bukan sesuatu yang perlu ditakuti. Fiqh merupakan alat bantu yang bersifat kontekstual untuk memudahkan seseorang memahami ibadah. Begitupun di dalam Fiqh Darah Perempuan, karena cakupannya yang begitu luas maka dimungkinkan adanya hal-hal yang perlu dikontekstualkan sesuai dengan kasus yang dihadapi. []