Mubadalah.id – Kalimat pembuka dari tulisan ini yakni mengapa pekerja rumah tangga (PRT) membutuhkan perlindungan hukum ? Berdasarkan sebuah survei dari International Labour Organization (ILO) dan Universitas Indonesia di tahun 2015 lalu, jumlah pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia mencapai 4,2 juta, dimana mayoritasnya adalah perempuan dan anak-anak. Menjadi seorang PRT merupakan sebuah profesi yang belum diakui oleh negara, oleh karena itu mereka tidak mendapatkan perlindungan hukum dan tidak terakomodir dalam Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan Republik Indonesia.
PRT sendiri adalah kaum pekerja yang sangat rentan, misalnya masih banyak diantara mereka yang diharuskan untuk bekerja dalam kondisi yang tidak layak, jam kerja yang tidak terbatas, waktu istirahat yang minim, tidak ada liburan, dan tidak ada jaminan sosial. Meskipun di tiap rumah tempatnya bekerja mungkin ada yang memberi lebih banyak keleluasaan. Dengan minimnya pengawasan dari pemerintah, PRT beresiko untuk terkena diskriminasi, pelecehan, penyiksaan, eksploitasi hingga kekerasan baik ekonomi, fisik, maupun psikis.
Apa itu pekerja rumah tangga anak (PRTA)? di Indonesia, defenisi anak menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan penyempurnaan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dapat didefenisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.
Pekerja rumah tangga anak dapat didefenisikan sebagai semua orang dibawah usia 18 tahun yang melakukan pekerjaan rumah tangga bagi orang lain (selain keluarganya) dengan tujuan untuk mendapatkan imbalan, baik berupa upah maupun natura (imbalan dalam bentuk barang) yang diterimanya secara langsung ataupun tidak langsung.
Lembar fakta ILO-IPEC, 2013, “Child Domestic Work: Global Estimates 2012” menyatakan bahwa sebanyak 67,1 persen semua pekerja rumah tangga anak-anak adalah anak perempuan, diperkirakan jumlah anak-anak perempuan berusia di bawah 16 tahun yang bekerja di dalam pekerjaan domestik (rumah tangga) lebih banyak dibandingkan jenis pekerjaan lain.
Menurut Konvensi ILO No.182 yang telah diratifikasi Indonesia dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2000, bahwa pekerja anak di sektor informal yaitu PRT termasuk kategori kondisi pekerjaan terburuk dan dilarang dilakukan oleh anak usia di bawah 18 tahun, karena berdampak buruk pada perkembangan anak, Kesehatan, dan kerentanan terhadap putus sekolah, kekerasan fisik, psikis hingga perdagangan manusia (human trafficking).
Bentuk-bentuk terburuk pekerjaan untuk anak terdiri dari situasi anak yang diperdagangkan untuk melakukan layanan rumah tangga, berada pada kondisi perbudakan atau serupa perbudakan, disiksa atau dieksploitasi secara seksual, atau terlibat dalam pekerjaan yang dianggap membahayakan dalam peraturan perundangan di tingkat nasional, dengan mempertimbangkan Rekomendasi ILO No.190. Segala bentuk pekerjaan terburuk bagi anak tidak dapat diterima dan harus dihapuskan. Menjadi prioritas untuk segera mengeluarkan anak-anak dari situasi semacam itu.
Anak-anak yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga tentunya mencederai masa kanak-kanak, potensi dan harga dirinya, termasuk bekerja pada pekerjaan yang tidak diperkenankan oleh undang-undang karena usia mereka yang masih muda. Kondisi fisik, mental atau moralnya terancam akibat sifat dari pekerjaan yang mereka lakukan dan kondisi pekerjaan.
Ditambah dengan kerjanya akan menghambat pendidikan mereka bersekolah, membuat mereka keluar dari sekolah terlalu dini, atau memaksa mereka mengupayakan sekolah sembari bekerja pada pekerjaan yang sangat panjang dan berat. Itulah sebabnya, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi penting. Salah satu pokok pikiran dalam RUU PPRT adalah penghapusan PRTA, dengan batas usia minimum PRT adalah 18 tahun.
Apa sebenarnya dari tujuan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) ? Indonesia merupakan negara yang menganut Sustainable Development Goals (SDG) yang dikeluarkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan prinsip tidak ada yang ditinggalkan. Dengan memberikan perlindungan bagi PRT, RUU ini bisa dilihat sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan prinsip tersebut.
Tujuan dari RUU ini diantaranya yaitu untuk mencegah segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, pelecehan, dan kekerasan terhadap PRT. Memberikan perlindungan bagi wanita dan anak-anak Indonesia dari perbudakan modern, mengatur hubungan kerja yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan. Terakhir adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (manifestasi sila kelima dari Pancasila).
Di tengah situasi masyarakat yang masih belum dapat lepas dari budaya feodal, maka keberadaan kawan-kawan PRT menjadi proses Panjang dan berliku. Kehadiran mereka dianggap selalu sebagai orang belakang dan tidak mempunyai hak untuk bersuara. PRT masih dianggap bukan sebagai profesi yang melekat hak dan kewajiban pekerja di dalamnya.
Maka, anggapan tersebut harus dipatahkan, akses berorganisasi harus diperjuangkan, dan memperbesar keanggotaan menjadi sebuah keharusan. Perjuangan masih berlanjut untuk melindungi perempuan dari kekerasan melalui beberapa undang-undang, salah satunya yaitu dengan mengesahkan RUU PPRT. Sebab profesi PRT ada pada wilayah rumah tangga (domestik) yang rentan untuk terjadinya kekerasan ketika ada relasi kuasa yang tidak setara, yaitu antara PRT dan pemberi kerja.
Adanya masalah kultural dalam cara pandang yang terkait dengan kultur feodalisme saat membicarakan tentang RUU PPRT. Belum ada kesamaan pandangan mengenai perlunya status pekerja bagi PRT serta paradigma HAM dalam isu PRT. Selain ada alasan lain seperti prioritas pada RUU yang berkaitan dengan pembangunan dan ekonomi. RUU PPRT juga dianggap tidak menguntungkan secara ekonomi dan dari sisi politik daya tawarnya yang sangat rendah.
Sistem ekonomi yang berjalan belum memiliki perspektif gender atau perempuan, sehingga tidak mengakui kekhususan perempuan, seperti siklus reproduksi hingga tidak diakui haknya. Hamil misalnya dianggap tidak produktif dan membebani ongkos produksi, demikian halnya dengan haid yang harus memiliki surat keterangan dari dokter sebagai bukti sakit sehingga diperbolehkan atau memperoleh cuti haid meskipun sudah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.
Karena sistem ekonominya berwatak patriarki (tidak berperspektif gender) dan eksploitatif maka akan terus memproduksi kekerasan baik kekerasan ekonomi, psikis, verbal, non verbal maupun fisik. Ini seiring dengan sistem sosialnya yang juga patriarki. Akibatnya kebijakan ekonomi perusahaan maupun negara tidak memperhatikan kepentingan perempuan, tidak mempunyai kepekaan kepada kebutuhan perempuan.
Hak asasi manusia melekat pada diri setiap individu, termasuk seorang pekerja rumah tangga. Oleh karena itu pekerja rumah tangga merupakan pekerja sekaligus waega negara berhak atas jaminan sosial, baik berupa jaminan kesehatan maupun jaminan ketenagakerjaan (jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, serta jaminan pensiun). Seringkali terlewatkan oleh para pemberi kerja bahwa Sebagian besar pekerja rumah tangga adalah para ibu.
Kawan-kawan PRT memiliki anak yang membutuhkan tumbuh kembang yang baik. Salah satunya dengan alasan untuk menghidupi anak itulah, para perempuan hebat ini menekuni profesi sebagai pekerja rumah tangga. Profesi yang belum diakui sebagai pekerja, yang berhak mendapatkan perlindungan dalam menjalankan pekerjaannya. Perlindungan yang menjamin para perempuan ini bekerja dengan aman dan selamat serta bahagia, dikarenakan anak-anaknya menanti di rumah atau di desa.
Hal apa saja yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat? sangat sederhana yakni dengan melakukan kampanye dan mengawal perjuangan pengorganisasian pekerja rumah tangga. Sesuai dengan 4 pilar kerja layak yaitu; penghargaan atas hak-hak dasar di tempat kerja, kesempatan kerja, dialog sosial dan perlindungan sosial. Keempat hal ini belum dimiliki oleh pekerja rumah tangga karena profesinya yang tidak diakui oleh negara.
Sebagai kesimpulan dari tulisan ini bahwa salah satu pekerjaan rumah dari upaya mewujudkan perlindungan bagi pekerja rumah tangga adalah dengan mengkampanyekan penyebutan dari pembantu rumah tangga menjadi pekerja rumah tangga. Mengubah istilah yang sudah menjadi bahasa keseharian tidaklah mudah.
Hal ini semakin berliku, ketika kemudian melalui sebuah acara televisi, muncul istilah yang akrab di telinga masyarakat karena didengungkan hampir setiap malam, yaitu asisten rumah tangga. PRT adalah pekerja, maka istilah yang tepat adalah pekerja rumah tangga bukan pembantu, atau asisten. Selamat Hari Buruh Internasional 2022 !! []