Mubadalah.id – Pernikahan di dalam ajaran Islam adalah sebuah ikatan antara laki-laki dan perempuan yang memiliki tujuan mulia.
Yaitu, menciptakan keluarga yang menghadirkan ketentraman (sakinah), dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah) bagi seluruh anggota keluarga.
Pernikahan menjadi momen yang sakral dan penuh kebahagian bagi pengantin yang baru melaksanakan akad nikah.
Akan tetapi, bagi pasangan yang baru menikah sebaiknya memperhatikan beberapa prinsip dasar pernikahan dalam Islam.
Dengan memperhatikan prinsip dasar pernikahan ini ada harapan bahwa pernikahan yang terbangun dapat benar-benar menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah.
3 Prinsip Dasar Pernikahan Menurut Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm
Berikut tiga prinsip dasar pernikahan dalam Islam seperti dikutip di dalam buku Nalar Kritis Muslimah, yang ditulis Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm.
Pertama, dalam al-Qur’an surat Ar-Rum (30): 21 menegaskan tujuan pernikahana adalah ketenangan jiwa. Sesuai dengan kedirian pasutri sebagai manusia, yakni jati diri utamanya adalah dimensi non fisik.
Jadi, perkawinan bukan hanya antara dua fisik, akan tetapi dengan dua jiwa juga. Hal ini tidak berarti kebutuhan fisik dapat terabaikan. Selama di alam fisik, tentu sandang, pangan, papan, dan kebutuhan biologis lainnya tetap penting.
Namun, semua adalah sarana dalam pernikahan. Sehingga mesti terpenuhi tanpa mengor bankan ketenangan jiwa sebagai tujuan.
Kedua, ini juga mengisyaratkan bahwa ketenangan jiwa hanya mungkin didapatkan jika dasar relasi pasutri adalah cinta-kasih keduanya, bukan kekuasaan, bukan pula kepemilikan mutlak satu pihak atas lainnya. Mawaddah wa rahmah punya arti spesifik yang menarik dan ini sejalan dengan kedirian pasutri sebagai manusia.
Mawadah adalah cinta yang memberi manfaat pada pihak yang mencintai, sedangkan rahmah adalah cinta yang memberi manfaat pada pihak yang dicintai.
Pasutri mesti sama-sama memiliki, memelihara, dan menyuburkan cinta yang memberi manfaat pada diri sendiri sekaligus suami atau istrinya.
Sakinah, mawadah, rahmah sejalan dengan kedirian pasutri sebagai manusia, yaitu sama-sama sebagai subjek penuh sistem kehidupan, baik kehidupan perkawinan, keluarga, masyarakat, negara, bahkan dunia. Keduanya sama-sama wajib ikhtiar mewujudkan kemaslahatan seluas-luasnya di muka bumi, sekaligus menikmatinya.
Ketiga, prinsip penting lainnya dari hubungan pasutri adalah berpasangan (zawaj), bukan relasi atasan dan bawahan. Berpegang teguh bahwa pernikahan sebagai janji kukuh (mitsagan ghalidzan), saling memerlakukan suami atau istri secara bermartabat (muasyarah bil ma’aruf), musyawarah, dan saling rida. (Rul)