Mubadalah.id – Menjelang gelaran pemilihan umum (pemilu) yang sejatinya akan dilaksanakan pada tahun 2024 mendatang, beberapa perdebatan mengenai sistem pemilu online mulai mencuat diperbincangkan di media. Pro-kontra mengenai sistem E-Voting dalam pemungutan suara, hingga yang terbaru adalah terkait rencana penerapan sistem informasi partai politik (Sipol) sebagai perbaruan sistem pendaftaran partai politik sebagai peserta dalam pesta demokrasi, masih menjadi perbincangan hangat.
Salah satu yang paling menarik, bagi saya, ialah usulan dari Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate terkait E-voting pemilu atau pemilu online yang disampaikannya dalam Rapat Koordinasi Digitalisasi Pemilu bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Maret 2022 lalu.
Secara sekilas, usulan tersebut tampak menjanjikan dan sangat tepat, mengingat kondisi Indonesia yang masih dilanda pandemi Covid-19. Apalagi, gagasan pemilu online juga didukung dengan argumentasi efisiensi anggaran biaya hingga terkait pencegahan akan munculnya korban jiwa seperti yang terjadi pada Pemilu tahun 2019.
Gagasan pemilu online sebenarnya patut untuk diapresiasi sebagai salah satu alternatif terhadap pelaksanaan pemilu di Indonesia. Pemilu online memang menawarkan beberapa kelebihan dibandingkan dengan pemilu offline atau manual, salah satunya ialah pengurangan anggaran biaya percetakan ataupun pendistribusian surat suara.
Selain itu, menurut Policy Paper International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA Institut: 2011), pelaksanaan pemilu secara online juga memungkinkan proses tabulasi serta perhitungan suara yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan secara manual.
Akan tetapi, apakah kemudian implementasi pemungutan suara online pada gelaran Pemilu 2024 mendatang merupakan kebijakan yang tepat?
Beberapa Persoalan Pemilu Online
Selain memiliki beberapa kelebihan seperti di atas, gagasan pemilu online juga memiliki beberapa kelemahan. Apalagi diterapkan di negara sebesar Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara demokratis terbesar di dunia yang memiliki persoalan serta tantangan pelaksanaan pemilu online yang begitu kompleks, di antaranya:
Pertama, kesenjangan digital di Indonesia masih sangat tinggi. Smith (2002) dalam Digital Corporate Citizenship, mendefinisikan kesenjangan digital (digital divide) merupakan perbedaan antara individu satu dengan lain dalam hal kepemilikan atau hak akses terhadap teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Dengan kata lain, kesenjangan digital merupakan keadaan di mana akses terhadap layanan internet yang tidak merata.
Kesenjangan digital di Indonesia masih menjadi masalah yang cukup serius, khususnya terkait kondisi infrastruktur digital di Indonesia yang tidak merata di daerah-daerah. Padahal, di lain sisi, menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII: 2021), penetrasi internet secara signifikan mengalami perkembangan dalam beberapa tahun terakhir.
Kedua, Indonesia belum memiliki pengalaman dalam mengadakan pemilu online di tingkat daerah, seperti pilkada. Padahal, pemilu 2024 merupakan pemilu yang gigantis, yang terdiri dari beberapa pemilu. Artinya, dalam pelaksanaannya, dibutuhkan persiapan yang maksimal dan juga efisien.
Dalam pemilu 2024 mendatang, beberapa pemilu akan dilangsungkan, di antaranya yaitu pemilu serentak untuk memilih Presiden dan wakil Presiden, anggota DPR pusat, daerah, hingga Pilkada serentak untuk memilih gubernur dan bupati/wali kota. Sedangkan, satu-satunya pengalaman pemilu online yang pernah dilakukan di Indonesia baru di tingkat desa, yaitu pilkades pada tahun 2019 lalu melalui sistem dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Ketiga, pemilu online memunculkan risiko peretasan yang cukup tinggi. Terdapat suatu ungkapan ‘no system is safe’ di dunia digital. Hal ini menjadi penting mengingat rentannya peretasan sistem pemilu online oleh orang dari luar, atau bahkan oleh orang dalam yang memiliki akses terhadap keamanan sistem tersebut.
Meskipun Indonesia telah memiliki Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dengan tugas keamanan siber, tetapi situs BSSN juga pernah diretas oleh hacker secara memalukan pada tahun lalu. Artinya, Indonesia belum memiliki keamanan sistem pemilu online yang efektif.
Analisis Mubadalah terkait Wacana Pemilu Online 2024 terhadap Kemaslahatan Publik
Wacana pemilu online pada 2024 mendatang harus dipertimbangkan secara maksimal dan cermat. Apabila dilihat dari perpektif mubadalah, maka setiap kebijakan publik haruslah berdasar terhadap kemaslahatan publik itu sendiri. Seperti dalam buku Qiraah Mubadalah (2019) karya Faqihudin Abdul Kodir, bahwa dalam hal kemaslahatan publik, terdapat suatu kaidah fiqh yang berbunyi “tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bil maslahah”.
Kemaslahatan publik dalam perpektif mubadalah harus benar-benar memberikan dampak positif yang besar terhadap seluruh masyarakat. Hal itu dapat dilakukan dengan memperhatikan tiga prinsip:
Pertama, memberikan perlindungan dan jaminan kemaslahatan terhadap orang-orang lemah, miskin, termarjinal, rentan, tertinggal, dan minoritas. Kedua, memastikan prinsip keadilan dengan mempertimbangkan kebutuhan khusus yang bersifat ‘qodrati’. Ketiga, partisipasi dari kaum marjinal tadi dalam perumusuan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakan supaya manfaat yang akan mereka terima benar-benar nyata.
Berangkat dari perspektif mubadalah, maka gagasan pemilu online pada gelaran pemilu 2024 masih belum siap dalam menciptakan kemaslatan publik. Masih banyaknya ‘digital divide’, minimnya pengalaman, serta resiko yang cukup tinggi merupakan persoalan yang benar-benar harus dipertimbangkan.
Lantas Bagaimana?
Berdasakan permasalahan yang sudah diuraikan secara singkat tadi, maka beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
Pertama, perlu dilakukan ujicoba terlebih dahulu terkait pelaksanaan pemilu online di lingkup daerah sebelum nanti diterapkan pada gelaran pemilu nasional. Upaya tersebut dapat dimulai di daerah yang telah memiliki ‘ekosistem digital’ cukup mapan.
Kedua, pelaksanaan pemilu online tidak perlu dilakukan di seluruh daerah secara menyeluruh. Artinya, beberapa daerah tertentu tetap melakukan pemilu secara konvensional/manual. Hal itu dilakukan dengan cara mengakomodir ‘digital divide’ yang masih terjadi di Indonesia.
Daerah perkotaan yang memiliki infrastruktur digital yang baik dan memadai, pemilu online dapat digelar bahkan menjadi pilihan utama. Namun, bagi daerah pedesaan, terpencil, atau daerah-daerah perbatasan, pelaksanaan pemilu tetap dilakukan secara manual. Hal itu dilakukan mengingat persoalannya bukan hanya terkait kesenjangan infrastruktur, melainkan juga literasi digital.
Ketiga, sebelum beranjak lebih jauh pada wacana pemilu online, hal yang paling penting sebenarnya adalah kepercayaan publik (public trust) yang harus dibangun oleh negara. Public trust merupakan hal yang mutlak dibutuhkan, mengingat pemilu online sering kali mendapat penolakan karena dinilai lemah dalam sisi transparansi serta rawannya peretasan.
Selain itu, yang tak kalah penting, negara juga harus melakukan persiapan matang terkait landasan yuridis dengan melakukan perubahan terhadap berbagai regulasi perundang-undangan yang mengatur tentang sistem kepemiluan.
Maka dari itu, menurut penulis, memulainya secara evolusioner, bertahap, merupakan langkah yang paling efektif dan rasional. Bukan dengan memaksakannya secara drastis. Penyelenggaraan pemilu yang baik bukan terkait dengan banyak tidaknya pemanfaatan teknologi digital.
Esensi pemilu yang baik terletak pada pemenuhan prinsip utama dari pemilu, yaitu bebas, jujur dan adil, serta berintegritas. Selain itu, setiap kebijakan publik harus mampu menghadirkan kemaslahatn publik. Jangan sampai dengan dipaksakannya pelaksanaan pemilu online yang digadangkan lebih praktis dan efisien, justru malah mengabaikan prinsip utama dari pemilu itu sendiri. []